Catatan atas Festifal “Baciloteh Caro Lapau” (Teater Gaya Lapau)
di Taman Budaya Sumatera Barat, Padang, 14-16 November 2008
Oleh: Dede Pramayoza
Lapau; Sebuah Refleksi Budaya
Memasuki lapau, adalah seperti memasuki ’mesin waktu’. Kita akan melompat-lompat, menembus ruang dan waktu, dari satu konteks ke konteks yang lain. Dari sawah yang diserang hama tikus, ke ruang debat presiden Amerika Serikat, ke ruang kerja Gamawan Fauzi, lalu ke sekolah Sincan, ke Balairuang Sari, ke Mars, kemudian kembali lagi ke Nagari. Kita dibawa melintasi teks-teks yang berbeda-beda. Teks yang ’silam’, teks yang ’kini di sini’, dan teks yang ’nanti’. Dari tambo, ke berita koran, hingga ke ramalan-ramalan. Lapau menjadi tempat pertemuan dari berbagai cerita dengan dimensi berbeda-beda pada satu waktu dan ruang, yaitu ruang waktu lapau. Demikianlah gambaran, jika kita memasuki sebuah lapau dalam konteks masyarakat Minangkabau hari ini. Entah dalam pengertian sebagai orang yang datang untuk pertama kali, maupun sebagai orang yang memang sudah menjadi pengunjung tetap.
Lapau, adalah kata dalam bahasa Minangkabau. Ia mungkin dapat secara bebas di alih bahasakan menjadi kedai dan warung dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, lapau sesungguhnya bukan saja bermakna tempat transaksi jual beli ekonomis (seperti arti yang dibawa oleh ’kedai’ dan ’warung’), di mana orang mendapatkan sabun mandi, rokok, kopi bubuk, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Lebih dari itu, di lapau seseorang juga melakukan transaksi nilai budaya antropologis, yang jelas tidak di dapatkannya di mini market dan kios kelontong. Karena itu, lapau menjadi terminologi yang khas dari budaya Minangkabau, dan mungkin tidak tepat untuk menggantikannya dengan kata lain (seperti kedai atau warung), atau bahkan bahkan meng-Indonesia-kannya (secara semena-mena) menjadi ’lepau’, yang akan membuatnya kehilangan sebagian makna yang diacunya ketika ia diucapkan dalam konteks budaya Minangkabau.
Sebuah lapau, pada dasarnya merupakan tempat kehidupan sehari-hari ’dipantulkan’. Dari aktifitas di sawah dan di ladang, para pengunjung lapau berpindah ke sebuah situasi, di mana ia bisa duduk beberapa jam, memesan lalu menikmati minuman dan makanan, sambil berbagi cerita dan mendapatkan komentar atas kehidupannya sendiri. Baik komentar yang datang dari orang lain, maupun juga komentar dari dirinya sendiri. Berbagai soal yang ia temukan dari kesehariannya, mendapatkan kritik dan oto-kritik di lapau. Kritik-otokritik tersebut di sampaikan dengan meminjam berbagai cerita lain, yang kemudian membuat sebuah alur cerita tersendiri, dan sekaligus membuat cerita tersebut berpindah-pindah konteks dan teks, selama rentang waktu penceritaannya di lapau.
Kendati terkesan tidak konsistens (karena lompatan-lompatan cerita), atau bahkan tidak ada ’poin’ (karena jarang mengerucut menjadi solusi apalagi konklusi), cerita di lapau tetap dapat dilihat sebagai suatu pantulan budaya konstruktif. Selain hal yang telah di gambarkan di atas, pada pembicaraan di lapau tercermin pula budaya mahota (berbicara). Sebuah budaya, untuk memantulkan diri sendiri sebagai sebuah cerita, mendengarkan cerita orang lain, memberi dan menerima komentar, memperbandingkannya, membuat kontestasi nilai, untuk kemudian mengambil nilai yang dianggap berguna bagi kehidupan. Karenanya, cerita di lapau adalah juga pendidikan untuk menyatakan pendapat, berargumentasi, beretorika, serta memberikan kritik. Sebaliknya, lapau juga menjadi tempat untuk mentransformasikan nilai saling menghormati (egaliter), kesadaran terhadap kebebasan berpendapat (demokratis), serta kemampuan untuk menerima komentar (kritis).
Namun dari itu semua, lapau adalah budaya yang ’laki-laki’ (patriarkhi?). Adalah jarang ditemukan ada orang perempuan yang terlibat intens dalam lingkaran mahota di lapau. Kalau pun ada, paling-paling Urang Lapau (si pemilik lapau). Sepintas, mungkin akan terasa kontradiktif dengan ’matrilineal’ Minangkabau. Namun sesungguhnya, budaya lapau adalah ’anak kandung’ dari matrilineal itu sendiri. Tinggal di rumah mintuo (orang tua istri), seorang lelaki Minangkabau akan memiliki semacam ’keengganan’ (karena dianggap tabu) untuk ikut menonton sinetron dengan anak istri dan iparnya. Karenanya ia akan keluar rumah dan berkumpul dengan sesama sumando (lelaki di rumah istri) yang lain. Lapau menjadi pilihan ’tongkrongan’, memesan segelas minuman, mahota hingga kantuk datang, lalu pulang dan tidur.
Karenanya, budaya lapau juga budaya yang ’malam hari’, yakni saat-saat sebelum tidur. Oleh sebab itu pula, maka cerita di lapau adalah cerita yang ’ringan’ dan beratmosfir hiburan dan ’re-kreasi’. Ia adalah cerita yang tidak direncanakan sebelumnya, mengalir dan sangat lentur. Sifat-sifat cerita tersebut kemudian menjadi spirit yang mewarnai sebuah budaya lapau, dan menjadi medium bagi transformasi nilai, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Karena itu, di samping Surau dan Rumah Gadang, Lapau dapat di pandang sebagai institusi budaya non formal dalam dinamika masyarakat Minangkabau, dahulu dan hari ini, serta tidak mustahil di masa depan. Tentu saja, dengan berbagai catatan tentang bahaya laten yang dimilikinya, yang pantas pula diwaspadai (tempat berjudi, sirkulasi minuman keras, produksi desas-desus, dll).
Adakah Drama dan Teater Pada Sebuah Lapau?
Oleh sebab-sebab di atas, sejatinya memang ada kemungkinan dramatika di lapau. Drama yang dipertunjukkan, maupun drama yang diceritakan. Sebuah drama, pada dasarnya adalah pengungkapan kembali ”kisah manusia”, dengan memilih bagian khas dari padanya, untuk tujuan yang khas pula, yaitu mengambil pelajaran (didaktik). Jika sebuah cerita biasa mendeskripsikan kisah tersebut, sehingga si tokoh menjadi ’silam’ dan ter-objek-kan, maka sebuah drama meng-hidup-kan si tokoh, agar menjadi subjek yang bicara (artikulatif) pada saat’kini-di sini’.
Seseorang (misalkan si A) yang memasuki lapau, membawa serta cerita dari kehidupannya ke dalam lingkaran mahota. Bisa saja dimulai dengan hama yang mengganggu tanamannya. Ketika bercerita, (tanpa sadar) ia pantulkan persoalannya itu ke luar dirinya, agar menjadi objek pengamatan bersama dari kolektif mahota. Kemudian ia akan mendapatkan berbagai komentar atas persoalannya tersebut. Komentar-komentar yang tentu saja sangat variatif, yang justru mendorongnya untuk berfikir dialektis, dan mengaplikasikan adagium “alam takambang jadi guru”. Saat mahota,si A dan kolektifnya dapat melihat kehidupannya sebagai sebuah kenyataan (tesis) yang memperoleh komentar (antitesis) dan akhirnya bisa ia lihat sebagai suatu kemungkinan penyikapan (sintesis/tesis baru).
Persoalan awal yang di bawa si A, mungkin hanya sebuah pengantar, yang dalam pembahasannya, dapat saja dilihat sebagai akibat dari teks lain: kebijakan politik yang tidak menguntungkan petani, misalnya. Dari sana, mungkin kebijakan tersebut akan dilihat pula kaitannya dengan teks lain. Krisis global, kampanye presiden AS, bencana global, kurang berfungsinya KAN, dll. Pada saat cerita berkembang, melompat-lompat, para ‘pahota’ melakukan kritik dan otokritik terhadap cerita. Hal tersebut cenderung untuk disampaikan dalam bentuk yang terkias, baik berupa perbandingan maupun berupa perumpamaan.
Di sinilah potensi dramatik dari ‘mahota’ di lapau. Urutan cerita perbandingan dan perumpamaan tersebut kemudian mengalirkan sebuah alur sendiri, yaitu alur ‘ota’. Di sepanjang alur tersebut, manusia yang diceritakan akan melahirkan penokohan, dan sekaligus konflik. Pada dasarnya, konflik yang menghidupkan sebuah ‘ota’, menyangkut ‘tegangan’ antara manusia dengan alam, manusia dengan kemanusiaan, manusia dengan manusia lain dan manusia dengan nasibnya. Karena itu, pantulan kehidupan tersebut, melahirkan pula ketegangan (suspence) dan memberi kejutan-kejutan (surprise) kepada para ‘pahota’ maupun pendengar cerita lapau. Dilihat dari sudut ini, ‘ota’ tersebut memang memenuhi ‘ukuran-ukuran’ sebuah drama.
Ketika melakukan perbandingan dan pemisalan ini pula, seringkali para ‘pahota’ mencontohkan dan memperagakan tokoh cerita. Dengan cara itu, subjek cerita kini tidak saja bicara (artikulatif) tapi juga bertindak (gestikulatif) kini dan di sini. Pada saat inilah ‘mahota’ di lapau memiliki potensi pertunjukan dan tontonan. Oleh karena itu, lapau memang dapat saja dipandang sebagai teater. Teater, sebagai sebuah tempat dan ruang, di mana penonton dan tontonan bertemu. Teater, sebagai sebuah peristiwa, di mana manusia-manusia bertemu untuk mendialogkan kemanusiaannya. Dialog tersebut terjadi, peragaan atas ‘tindakan’ manusia, untuk selanjutnya dikomentari dan dinilai.
Di sinilah potensi teateral dari sebuah lapau. Potensi yang membedakannya dengan surau di satu sisi, dan dengan rumah gadang di sisi lain. Jika sebuah surau lebih berpotensi menjadi ruang ritual di mana dialog terjadi antara makhluk dengan khaliknya, maka lapau berpotensi menjadi ruang teateral di mana dialog terjadi antara manusia dengan manusia. Di sisi lain, jika rumah gadang menjadi ruang seremonial kaum, di mana pembicaraan terjadi dengan suatu ‘adat’ pembicaraan tertentu, maka lapau menjadi ruang performational, di mana setiap orang berhak memantulkan dirinya secara bebas.
Namun demikian, tidak berarti pula bahwa lapau sepenuhnya sekuler dan ‘tak beradat’. Pembicaraan di lapau, pada dasarnya tetap dilandaskan pada konsep keimanan dan kesadaran ‘adat’. Seringkali, berbagai cerita referensial justru di ambil para ‘pahota’ lapau dari kisah-kisah Al-Quran dan Tambo Adat Minangkabau. Akan tetapi, hal tersebut tidak ditujukan sebagai bagian dari ibadah maupun tindakan ‘adat’, melainkan terjadi secara ‘bawah sadar’, sebagai refleksi ideologis. Betapapun juga, dua hal tersebut tetap tertanam kuat dalam setiap pribadi ‘pahota’ yang terlibat dalam interaksi dan transaksi lapau, meski (mungkin saja) mereka tidak pernah lagi melaksanakannya secara benar.
Teater; Mungkinkah ber’Gaya’ Lapau?
Secara tak terelakkan, teater adalah sebuah gaya. Gaya bercerita, maupun gaya menonton. Peristiwa kemanusiaan yang di ceritakan dan dipertunjukkan kembali (di-representasi-kan), dalam sebuah peristiwa teateral, di pantulkan dan dicerap dengan gaya tertentu. Para pelaku, dapat memantulkan sebuah cerita dengan cara objektif, di mana ia membiarkan dirinya menjadi objek cerita dan menyodorkan cerita secara apa adanya. Atau dapat pula secara subjektif, di mana ia mengambil jarak dengan cerita itu dan bertindak sebagai subjek yang memberikan tanggapan pribadinya terhadap cerita.
Sejatinya, cara memantulkan cerita inilah yang menimbulkan sebuah gaya dalam drama dan teater, yaitu gaya bercerita dan atau gaya mempertunjukkan. Gaya yang dilahirkan dari cara bercerita objektif, adalah gaya presentasional (menghadirkan), di mana pelaku berusaha ‘menjadi’ tokoh cerita, dan pada saat itu mengajak penonton untuk setuju dengannya. Sedangkan cara bercerita subjektif, akan menghasilkan gaya re-presentasional. Pada gaya yang kedua ini, pelaku hanya ‘memperagakan’ si tokoh, memberikan tanggapan pribadinya, dan membiarkan penonton untuk ikut menilai sendiri. Jika pada gaya presentasional, kehidupan dipantulkan dengan ‘ketepatan’ (akurasi), maka gaya re-presentasional cenderung memantulkannya dengan ‘melebih-lebihkannya’ (stilisasi).
Dengan demikian, terdapat pula gaya menonton sebuah peristiwa teater sebagai implikasi dari cara mempertunjukan atau me’laku’kan seperti yang dijelaskan di atas. Penonton dapat mencerap dan mencari makna dari peristiwa yang dipertunjukkan tersebut melalui suatu cara tertentu. Dia bisa memperoleh makna dengan cara terlibat secara emosi dengan cerita, ataupun justru dengan mengambil jarak terhadap cerita. Cara yang pertama akan melahirkan gaya menonton ‘pasif’, di mana si penonton membiarkan dirinya terbawa oleh alur cerita, sedang cara kedua akan melahirkan gaya menonton ‘aktif’, yaitu menonton sembari memberi komentar terhadap cerita.
Meski demikian, jika pun ada penonton yang awalnya terbawa oleh alur (pasif) dan kemudian juga memberikan komentar (aktif), dia tidak dapat dipandang sebagai penonton secara aktif-pasif sekaligus. Kesadaran untuk memberi memberikan komentar (meski pada awalnya terbawa emosi), tetap saja membuat penonton tersebut menjadi bersikap ‘aktif’ terhadap pertunjukan. Sedang mereka yang memberikan komentar di luar konteks pertunjukan, atau setelah pertunjukan selesai, harus dipandang sebagai penonton pasif. Sebab sebenarnya ia tidak memberikan komentar terhadap pertunjukan, sebab sang pertunjukan telah berakhir. Sebaliknya, ia memberikan komentar terhadap ingatannya tentang pertunjukan tersebut.
Karena sebab-sebab tersebut, peristiwa dan cerita yang terdapat di lapau pada dasarnya diproyeksikan dan dicerap dengan sebuah gaya pula. Tujuannya sudah pasti, adalah memberikan penekanan-penekanan (empasis) tertentu terhadap cerita dan pertunjukan tersebut. Sudah jelas, bahwa terdapat ’tindakan’ manusia di Lapau, baik yang dicontohkan dan diperagakan maupun yang sekedar diceritakan, yang membuatnya berpotensi dramatik sekaligus teateral. Dan karena itu, terdapat pula gaya bercerita, gaya mempertunjukan dan gaya menonton dalam ‘mahota’ di lapau tersebut.
Namun harus diperhatikan, bahwa tindakan dengan potensi dramatik dan teateral itu, pada dasarnya sama seperti hampir semua interaksi manusia di setiap tempat dan suasana dalam kehidupan. Potensi yang sama juga terdapat dalam proses belajar-mengajar di sekolah, proses jual-beli di pasar, proses bergunjing di arisan ibu-ibu, dan lain sebagainya. Sehingga sebenarnya, konteks lapau tidak dapat dipandang sebagai hal khusus, yang melahirkan potensi tersebut. Kalaupun ada yang yang khas dari sebuah lapau, hal itu adalah suasananya seperti yang digambarkan di awal tulisan ini. Sebuah suasana yang terbangun dari sifat-sifat khas masyarakat Minangkabau.
Harus dicatat pula, bahwa ’pelaku’ tindakan dalam peristiwa lapau ini tidak berpretensi untuk ’mempertontonkan’ sesuatu ataupun diri mereka. Sebaliknya, mereka yang menonton tidak pernah menanggapinya (secara sadar) sebagai sebuah ‘tontonan’, meski sesungguhnya mereka mendapatkannya di Lapau. Karena itu, mungkin mereka tidak tepat di katakan sebagai aktor atau ’pemain’. Hal ini, membuat peristiwa lapau tetap saja harus dipandang berada dalam keadaan “berpotensi teateral” dan tidak pernah menjadi “teater” dalam pengertian tontonan sesungguhnya. Dan potensi ini jelas tidak cukup untuk menjadi suatu gaya pertunjukan teater tersendiri. Sama halnya, dengan tidak mungkin membuat teater ‘gaya pasar’, teater ‘gaya arisan’, dan teater ‘gaya sekolah’.
Lebih jauh, agaknya cara bercerita dan cara memperagakan yang digunakan para ‘pelaku’ peristiwa lapau, tidak pula menghasilkan gaya selain gaya yang disebutkan di atas, yaitu presentasional dan re-presentasional. Artinya, konteks lapau juga tidak mendorong terciptanya suatu gaya (katakanlah) ‘pemeranan’ tertentu. Seberapapun juga khasnya kondisi lapau, cerita (ota) yang disampaikan di dalamnya, tetap saja di lakukan dengan ‘menjadi’ si tokoh cerita, atau ‘seolah-olah’ adalah tokoh cerita. Atau paling-paling, melakukan keduanya secara bergantian. Dan jika awalnya ‘menjadi’ si tokoh cerita, lalu kemudian bersikap ‘seolah-olah’, interupsi (pemutusan) karakter yang dilakukan, tetap saja memberikan hasil akhir yang ‘seolah-olah’.
Pada kenyataannya, para ‘pahota’ lapau lebih cenderung untuk bersikap ‘seolah-olah’ terhadap karakter yang mereka ceritakan dan peragakan. Kalaupun Sebab umumnya, cerita yang mereka sampaikan tersebut lebih bertujuan sebagai sebagai ‘garah’ (kelakar) dan ‘cimeeh’ (cemooh), ketimbang sebagai empati. Jika pun mereka harus bersimpati terhadap sebuah cerita, para pahota ini sekedar bersimpati dan menjadikannya bahan perenungan dan introspeksi diri. Dengan begitu, cerita selalu di letakkan sebagai objek yang diamati dan dinilai, bukan ikut dirasakan. Dan hal ini, sekaligus membuktikan bahwa konteks lapau adalah refleksi antropologis dari masyarakat Minangkabau, tapi bukan suatu gaya teater tersendiri.
Kemungkinan Dramaturgial: Teater ‘Ala’ Lapau atau Teater Ber‘latar’ Lapau
Teater adalah media komunikasi dan publikasi pikiran (idealisme) memang. Oleh sebab itu, teater harus memiliki kemampuan untuk menciptakan ruang-ruang publik bagi proses komunikasi dan publikasi tersebut. Festifal “Baciloteh Caro Lapau” (Teater ‘Gaya’ Lapau) yang digelar di Taman Budaya Sumatera Barat, Padang, pada 14-16 November 2008 yang lalu dapat dipandang sebagai sebuah bentuk upaya publikasi ide teater tersebut. Landasan pikirannya, sudah tentu ‘mencari-cari’ formulasi baru bagi teater di Sumatera Barat. Sebuah usaha, yang tentu patut di apresiasi, sekaligus karenanya perlu dikritisi.
Memperhatikan keseluruhan peserta yang tampil pada even tersebut, sebenarnya tidak terlalu jelas mana yang disebut sebagai ‘gaya’ lapau pada pertunjukan. Barangkali, karena lapau hanya dipahami sebagai latar tempat dari sebuah peristiwa drama dan teater. Sehingga, dengan mendekor tempat pertunjukan menjadi ‘seperti’ lapau, semua pertunjukan yang dipentaskan di situ telah dianggap mewakili ‘gaya’ lapau. Faktanya, pertunjukan-pertunjukan tersebut tetap saja dipentaskan dengan logika ‘realisme’ yang kental, dengan penokohan yang konsisten, alur yang linear, dan penyelesaian yang logis. Atau bahkan, cenderung ditafsirkan sebagai kitcs semacam lenong dan ketoprak, di mana ‘gelak tawa’ diprovokasi oleh lawakan fisikal.
Terlebih, karena pra-festifal juga tidak ada pengantar dramaturgial yang cukup memadai. Para peserta, berangkat ke festifal dengan tafsirnya masing-masing tentang teater ‘gaya’ lapau tersebut. Barangkali, hal ini hanya bentuk lanjutan dari tradisi untuk melempar wacana, dan membiarkan banyak orang memberi tafsir, lalu merumuskan defenisi dari tafsir yang beragam itu. Sah-sah saja memang, namun terasa kurang bertanggung-jawab, baik secara akademik, maupun secara moral. Bayangkan, jika semua orang kemudian melemparkan wacana pula tentang teater ‘gaya’ macam-macam. Tentunya, teater di Sumatera Barat, kembali terseret ke dalam perdebatan kusir, tapi tak punya praktik terukur dan metode operasional.
Setidaknya, ‘suasana’ lapau jika hendak ditransformasikan (juga) menjadi suatu dasar peristiwa teater, dapat diterapkan dalam tiga hal. Pertama, Logika Pemeranan: yaitu cara berfikir tertentu tentang peran yang digunakan dalam suatu pertunjukan teater. Telah diuraikan sebelumnya bahwa pada konteks lapau, cerita yang disampaikan selalu berada pada suatu jarak dengan para penceritanya. Sehingga dapat di pahami bahwa logika yang diterapkan para pahota lapau terhadap peran dalam ceritanya adalah pendekatan re-presentasional dengan sedikit pendekatan presentasional, yaitu pada cerita yang mereka bersimpati terhadapnya. Sehingga, istilah pemain dan pemeran dapat digunakan secara bersamaan dan saling bergantian, namun para pahota tersebut lebih dominan bersikap sebagai pemain yang ‘seolah-olah’ adalah tokoh yang diceritakan.
Jika hendak dikategorikan (juga), dalam konteks ‘ota’ lapau umumnya, ada ‘tukang tongek’, ‘tukang uduah’, ‘tukang tarimo‘, dan ‘tukang panangahi’. ‘Tukang tongek’, biasanya berperan memberi umpan dan pancingan untuk menggulirkan sebuah cerita. ‘Tukang uduah’ akan membahasnya secara parodial dan komikal dan biasanya ‘tukang tarimo’-lah yang jadi semacam objek penderita. Biasanya, yang dikomentari adalah tabiat seseorang, atau sekelompok orang, yang dibuat seolah-olah adalah tabiat si ‘tukang tarimo’. Tapi sering juga, ‘tukang tarimo’ ini adalah tokoh ‘fiksi’ yang tidak berada di lapau tersebut pada saat ‘ota’ berlangsung. Setelah itu, ‘tukang panangahi’-lah yang akan memberikan pembahasan sesungguhnya, untuk diambil pelajaran. Sepanjang ‘ota’, para ‘pahota’ akan bergantian saja mengambil peran-peran itu secara acak. Jika ia tidak mengambil satu peranpun, pada sebuah interfal cerita, maka saat itu lah ia (sementara) menjadi penonton.
Kedua, Logika Pertunjukan: yaitu cara utama tertentu yang digunakan sebagai pembangun peristiwa dalam sebuah pertunjukan teater. Antonin Artaud membandingkannya (secara tidak lansung membaginya), menjadi teater modern Barat (occidental theatre) sebagai teater kata-kata, dengan bahasa (teks linguistik) sebagai alat ekspresi utama, sementara teater tradisional timur (oriental theatre), teater sebagai ‘teater’ sesungguhnya dengan totalitas gerak tubuh (teks performatif) sebagai alat ekspresi utama. Hal yang sama, disinyalir Umar Yunus, ketika ia memperbandingkan kecendrungan ‘teater Sumatera’ di satu sisi (dengan Wisran Hadi sebagai contoh) dan ‘teater Jawa-Bali’ di sisi yang lain (Rendra, Putu Wijaya, dll). Yunus juga mengistilahkannya sebagai ‘teater kata-kata’ di satu sisi dan ‘teater gerak’ di sisi lain.
Jika dilihat pada konteks lapau, kata-kata tentu lebih dominan dalam ‘ota’, dan menjadi medium utama penyampai cerita. Peran, seringkali hanya diekspresikan oleh tubuh terbatas, karena para ‘pahota’ cenderung duduk dalam menyampaikan ceritanya. Dengan begitu, mimik wajah dan gerak tangan lebih banyak digunakan untuk mengekspresikan cerita. Meski demikian, tidak jarang pula mereka berdiri, memperagakan peran tertentu dan kemudian duduk lagi. Bahkan terkadang, mereka berpindah tempat untuk mencari tempat yang lebih lapang, tapi tetap saja kembali mengambil tempat duduk begitu perannya berakhir.
Yang perlu dicatat, para ‘pahota’ tidak pernah membuat rencana tentang tema cerita, apalagi menggariskan alur ‘ota’ itu. Seorang ‘pahota’, rata-rata menguasai banyak bahan, banyak teks cerita. Bisa kehidupan aktual, bisa bayangannnya tentang kehidupan tokoh-tokoh kaba dan tambo, suatu momen sejarah, atau bahkan proyeksi tentang kehidupan masa depan. Selama ‘ota’ berlansung, mereka dapat saja merangkaikannya secara bebas dalam alur cerita, tanpa melakukan modulasi atau menyambungkan cerita yang tidak tepat dengan konteks pembicaraan. Selama itu pula, mereka punya kemampuan untuk mengekpresikannya dengan suara dan tubuh. Tentu saja, hal ini merefleksikan pula sebuah budaya yang cerdas, paling tidak kecerdasan bercerita dan memperagakan.
Dan Ketiga, Logika Pentas: yaitu sudut pandang tertentu yang menentukan pencerapan sebuah pertunjukan teater oleh penontonnya. Secara umum, kajian pertunjukan mengenal panggung prosenium (proscenium stage), panggung terbuka (thrust stage/ open stage), dan pentas arena (arena theatre). Panggung prosenium menimbulkan sudut pandang frontal antara penonton dengan tontonan, sehingga yang ditimbulkan tontonan tanpa jarak. Pada keadaan tersebut, penonton terbawa memasuki ‘dunia lain’, yang dicerapnya sebagai kehidupan sesungguhnya dan kehilangan kekritisan terhadap tontonannya. Sedangkan pentas arena dan panggung terbuka, akan menimbulkan jarak itu. Penonton akan sangat menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan sebuah ‘tontonan’, sehingga ia bebas ber-komentar terhadapnya.
Konteks teater bersuasana lapau, mungkin akan menghasilkan sebuah logika pentas yang lebih ekstrim di banding pentas arena dan panggung terbuka. Agaknya, tidak harus jelas pembagian wilayah panggung dan penontonnya. Pemisahan antara tontonan dan penontonnya bukan lagi soal posisi pada tempat, tapi lebih pada persoalan posisi terhadap teks cerita. Dengan demikian pula, pada konteks lapau tidak pernah harus jelas siapa ‘pemain’ dan siapa penontonnya. Jika hendak diaplikasikan, semua yang terlibat adalah ‘pahota’, yang bertemu pada sebuah ruang yang disepakati sebagai ruang lapau. Tentu saja juga tidak penting, untuk mengambil tempat sebuah lapau sesungguhnya, atau bahkan bersusah-payah membuat dekorasi lapau, selama suasana lapau terciptakan pada peristiwa itu.
Mungkin, teater ‘ala’ lapau bisa dipraktikkan dengan menyepakati sebuah tempat saja, di mana peristiwa lapau akan di re-konstruksi. Para pengunjung, datang ke tempat itu dengan kesiapan sebagai ‘pahota’. Ia harus siap dengan berbagai teks cerita, juga siap mengekpresikannya sesuai kebutuhan, dan menjadikannya sebagai respon terhadap ‘ota’ yang akan berlansung. Yang lebih penting, peristiwa ini harus dipandang sebagai media diskusi dan latihan mengasah kecerdasan ‘bercerita’. Sesuatu, yang bersumber dari keikhlasan mengamati detil kehidupan manusia, dan kesadaran untuk memantulkannya kembali sebagai bahan amatan, kajian dan (selanjutnya) pembelajaran. Barulah dengan begitu, lapau menjadi refleksi budaya Minangkabau yang khas, dan transformasinya menjadi pertunjukan teater memberi manfaat bagi kemanusiaan, sebagaimana sebuah pertunjukan teater pada hakikatnya ditujukan.
Catatan Akhir
Hal-hal di atas, pada dasarnya adalah satu tawaran saja, tentang bagaimana wacana teater ‘ala’ lapau (mungkin) dapat diaplikasikan sebagai sebuah praktik. Sudah tentu, hal ini pun mensyaratkan suatu proses ‘trial and error’ yang panjang untuk menemukan suatu formulasi yang tepat untuk mentransformasikan lapau sebagai sebuah basik penciptaan peristiwa teater. Jika tidak, teatar ber’suasana’ lapau, atau teater ‘ala’ lapau hanya akan menambah gelap ‘hutan-belantara’ peristilahan teater. Pada praktiknya, pertunjukan teater tersebut hanya meminjam lapau sebagai sebuah latar pertunjukan. Lapau menjadi sama pengertiannya dengan kedai nasi, kios rokok kaki lima, atau bahkan mall dan plaza. Ia hanya akan menjadi nama tempat, di mana peristiwa kemanusiaan yang dipertunjukan itu terjadi, dan gagal menjadi sebuah suasana yang khas.
Jika itu terjadi, maka menggunakan kata lapau dalam sebuah istilah bersama kata ‘teater’, hanya sebuah ‘kenakalan’ atau bahkan ‘kegenitan’ saja. Sebuah godaan untuk memproklamirkan lokal genius Minangkabau dan memaksakannya masuk dalam ranah diskursus pertunjukan. Sebuah usaha, yang hanya akan terlihat sebagai kompensasi terhadap gagalnya usaha mewacanakan teater ‘gaya’ randai atau teater ‘gaya’ antah berantah lainnya. Sangat disayangkan, wacana tersebut terlanjur dilemparkan ke ruang publik. Padahal praktiknya, jika melihat mayoritas peserta festifal “Baciloteh Caro Lapau” (Teater ‘Gaya’ Lapau) di Taman Budaya Sumatera Barat (Padang, 14-16 November 2008) yang lalu, lapau tidak pernah benar-benar ter’suasana’kan dalam pertunjukan. Jika tetap demikian, festival serupa hanya akan membuat teater ‘gaya’ lapau terlihat sebagai praktik yang ‘kegaya-gayaan’ atau bahkan terasa terlalu tendensius !
dimuat di www.padang today edisi Senin, 05/01/2009 17:25 WIB
di Taman Budaya Sumatera Barat, Padang, 14-16 November 2008
Oleh: Dede Pramayoza
Lapau; Sebuah Refleksi Budaya
Memasuki lapau, adalah seperti memasuki ’mesin waktu’. Kita akan melompat-lompat, menembus ruang dan waktu, dari satu konteks ke konteks yang lain. Dari sawah yang diserang hama tikus, ke ruang debat presiden Amerika Serikat, ke ruang kerja Gamawan Fauzi, lalu ke sekolah Sincan, ke Balairuang Sari, ke Mars, kemudian kembali lagi ke Nagari. Kita dibawa melintasi teks-teks yang berbeda-beda. Teks yang ’silam’, teks yang ’kini di sini’, dan teks yang ’nanti’. Dari tambo, ke berita koran, hingga ke ramalan-ramalan. Lapau menjadi tempat pertemuan dari berbagai cerita dengan dimensi berbeda-beda pada satu waktu dan ruang, yaitu ruang waktu lapau. Demikianlah gambaran, jika kita memasuki sebuah lapau dalam konteks masyarakat Minangkabau hari ini. Entah dalam pengertian sebagai orang yang datang untuk pertama kali, maupun sebagai orang yang memang sudah menjadi pengunjung tetap.
Lapau, adalah kata dalam bahasa Minangkabau. Ia mungkin dapat secara bebas di alih bahasakan menjadi kedai dan warung dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, lapau sesungguhnya bukan saja bermakna tempat transaksi jual beli ekonomis (seperti arti yang dibawa oleh ’kedai’ dan ’warung’), di mana orang mendapatkan sabun mandi, rokok, kopi bubuk, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Lebih dari itu, di lapau seseorang juga melakukan transaksi nilai budaya antropologis, yang jelas tidak di dapatkannya di mini market dan kios kelontong. Karena itu, lapau menjadi terminologi yang khas dari budaya Minangkabau, dan mungkin tidak tepat untuk menggantikannya dengan kata lain (seperti kedai atau warung), atau bahkan bahkan meng-Indonesia-kannya (secara semena-mena) menjadi ’lepau’, yang akan membuatnya kehilangan sebagian makna yang diacunya ketika ia diucapkan dalam konteks budaya Minangkabau.
Sebuah lapau, pada dasarnya merupakan tempat kehidupan sehari-hari ’dipantulkan’. Dari aktifitas di sawah dan di ladang, para pengunjung lapau berpindah ke sebuah situasi, di mana ia bisa duduk beberapa jam, memesan lalu menikmati minuman dan makanan, sambil berbagi cerita dan mendapatkan komentar atas kehidupannya sendiri. Baik komentar yang datang dari orang lain, maupun juga komentar dari dirinya sendiri. Berbagai soal yang ia temukan dari kesehariannya, mendapatkan kritik dan oto-kritik di lapau. Kritik-otokritik tersebut di sampaikan dengan meminjam berbagai cerita lain, yang kemudian membuat sebuah alur cerita tersendiri, dan sekaligus membuat cerita tersebut berpindah-pindah konteks dan teks, selama rentang waktu penceritaannya di lapau.
Kendati terkesan tidak konsistens (karena lompatan-lompatan cerita), atau bahkan tidak ada ’poin’ (karena jarang mengerucut menjadi solusi apalagi konklusi), cerita di lapau tetap dapat dilihat sebagai suatu pantulan budaya konstruktif. Selain hal yang telah di gambarkan di atas, pada pembicaraan di lapau tercermin pula budaya mahota (berbicara). Sebuah budaya, untuk memantulkan diri sendiri sebagai sebuah cerita, mendengarkan cerita orang lain, memberi dan menerima komentar, memperbandingkannya, membuat kontestasi nilai, untuk kemudian mengambil nilai yang dianggap berguna bagi kehidupan. Karenanya, cerita di lapau adalah juga pendidikan untuk menyatakan pendapat, berargumentasi, beretorika, serta memberikan kritik. Sebaliknya, lapau juga menjadi tempat untuk mentransformasikan nilai saling menghormati (egaliter), kesadaran terhadap kebebasan berpendapat (demokratis), serta kemampuan untuk menerima komentar (kritis).
Namun dari itu semua, lapau adalah budaya yang ’laki-laki’ (patriarkhi?). Adalah jarang ditemukan ada orang perempuan yang terlibat intens dalam lingkaran mahota di lapau. Kalau pun ada, paling-paling Urang Lapau (si pemilik lapau). Sepintas, mungkin akan terasa kontradiktif dengan ’matrilineal’ Minangkabau. Namun sesungguhnya, budaya lapau adalah ’anak kandung’ dari matrilineal itu sendiri. Tinggal di rumah mintuo (orang tua istri), seorang lelaki Minangkabau akan memiliki semacam ’keengganan’ (karena dianggap tabu) untuk ikut menonton sinetron dengan anak istri dan iparnya. Karenanya ia akan keluar rumah dan berkumpul dengan sesama sumando (lelaki di rumah istri) yang lain. Lapau menjadi pilihan ’tongkrongan’, memesan segelas minuman, mahota hingga kantuk datang, lalu pulang dan tidur.
Karenanya, budaya lapau juga budaya yang ’malam hari’, yakni saat-saat sebelum tidur. Oleh sebab itu pula, maka cerita di lapau adalah cerita yang ’ringan’ dan beratmosfir hiburan dan ’re-kreasi’. Ia adalah cerita yang tidak direncanakan sebelumnya, mengalir dan sangat lentur. Sifat-sifat cerita tersebut kemudian menjadi spirit yang mewarnai sebuah budaya lapau, dan menjadi medium bagi transformasi nilai, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Karena itu, di samping Surau dan Rumah Gadang, Lapau dapat di pandang sebagai institusi budaya non formal dalam dinamika masyarakat Minangkabau, dahulu dan hari ini, serta tidak mustahil di masa depan. Tentu saja, dengan berbagai catatan tentang bahaya laten yang dimilikinya, yang pantas pula diwaspadai (tempat berjudi, sirkulasi minuman keras, produksi desas-desus, dll).
Adakah Drama dan Teater Pada Sebuah Lapau?
Oleh sebab-sebab di atas, sejatinya memang ada kemungkinan dramatika di lapau. Drama yang dipertunjukkan, maupun drama yang diceritakan. Sebuah drama, pada dasarnya adalah pengungkapan kembali ”kisah manusia”, dengan memilih bagian khas dari padanya, untuk tujuan yang khas pula, yaitu mengambil pelajaran (didaktik). Jika sebuah cerita biasa mendeskripsikan kisah tersebut, sehingga si tokoh menjadi ’silam’ dan ter-objek-kan, maka sebuah drama meng-hidup-kan si tokoh, agar menjadi subjek yang bicara (artikulatif) pada saat’kini-di sini’.
Seseorang (misalkan si A) yang memasuki lapau, membawa serta cerita dari kehidupannya ke dalam lingkaran mahota. Bisa saja dimulai dengan hama yang mengganggu tanamannya. Ketika bercerita, (tanpa sadar) ia pantulkan persoalannya itu ke luar dirinya, agar menjadi objek pengamatan bersama dari kolektif mahota. Kemudian ia akan mendapatkan berbagai komentar atas persoalannya tersebut. Komentar-komentar yang tentu saja sangat variatif, yang justru mendorongnya untuk berfikir dialektis, dan mengaplikasikan adagium “alam takambang jadi guru”. Saat mahota,si A dan kolektifnya dapat melihat kehidupannya sebagai sebuah kenyataan (tesis) yang memperoleh komentar (antitesis) dan akhirnya bisa ia lihat sebagai suatu kemungkinan penyikapan (sintesis/tesis baru).
Persoalan awal yang di bawa si A, mungkin hanya sebuah pengantar, yang dalam pembahasannya, dapat saja dilihat sebagai akibat dari teks lain: kebijakan politik yang tidak menguntungkan petani, misalnya. Dari sana, mungkin kebijakan tersebut akan dilihat pula kaitannya dengan teks lain. Krisis global, kampanye presiden AS, bencana global, kurang berfungsinya KAN, dll. Pada saat cerita berkembang, melompat-lompat, para ‘pahota’ melakukan kritik dan otokritik terhadap cerita. Hal tersebut cenderung untuk disampaikan dalam bentuk yang terkias, baik berupa perbandingan maupun berupa perumpamaan.
Di sinilah potensi dramatik dari ‘mahota’ di lapau. Urutan cerita perbandingan dan perumpamaan tersebut kemudian mengalirkan sebuah alur sendiri, yaitu alur ‘ota’. Di sepanjang alur tersebut, manusia yang diceritakan akan melahirkan penokohan, dan sekaligus konflik. Pada dasarnya, konflik yang menghidupkan sebuah ‘ota’, menyangkut ‘tegangan’ antara manusia dengan alam, manusia dengan kemanusiaan, manusia dengan manusia lain dan manusia dengan nasibnya. Karena itu, pantulan kehidupan tersebut, melahirkan pula ketegangan (suspence) dan memberi kejutan-kejutan (surprise) kepada para ‘pahota’ maupun pendengar cerita lapau. Dilihat dari sudut ini, ‘ota’ tersebut memang memenuhi ‘ukuran-ukuran’ sebuah drama.
Ketika melakukan perbandingan dan pemisalan ini pula, seringkali para ‘pahota’ mencontohkan dan memperagakan tokoh cerita. Dengan cara itu, subjek cerita kini tidak saja bicara (artikulatif) tapi juga bertindak (gestikulatif) kini dan di sini. Pada saat inilah ‘mahota’ di lapau memiliki potensi pertunjukan dan tontonan. Oleh karena itu, lapau memang dapat saja dipandang sebagai teater. Teater, sebagai sebuah tempat dan ruang, di mana penonton dan tontonan bertemu. Teater, sebagai sebuah peristiwa, di mana manusia-manusia bertemu untuk mendialogkan kemanusiaannya. Dialog tersebut terjadi, peragaan atas ‘tindakan’ manusia, untuk selanjutnya dikomentari dan dinilai.
Di sinilah potensi teateral dari sebuah lapau. Potensi yang membedakannya dengan surau di satu sisi, dan dengan rumah gadang di sisi lain. Jika sebuah surau lebih berpotensi menjadi ruang ritual di mana dialog terjadi antara makhluk dengan khaliknya, maka lapau berpotensi menjadi ruang teateral di mana dialog terjadi antara manusia dengan manusia. Di sisi lain, jika rumah gadang menjadi ruang seremonial kaum, di mana pembicaraan terjadi dengan suatu ‘adat’ pembicaraan tertentu, maka lapau menjadi ruang performational, di mana setiap orang berhak memantulkan dirinya secara bebas.
Namun demikian, tidak berarti pula bahwa lapau sepenuhnya sekuler dan ‘tak beradat’. Pembicaraan di lapau, pada dasarnya tetap dilandaskan pada konsep keimanan dan kesadaran ‘adat’. Seringkali, berbagai cerita referensial justru di ambil para ‘pahota’ lapau dari kisah-kisah Al-Quran dan Tambo Adat Minangkabau. Akan tetapi, hal tersebut tidak ditujukan sebagai bagian dari ibadah maupun tindakan ‘adat’, melainkan terjadi secara ‘bawah sadar’, sebagai refleksi ideologis. Betapapun juga, dua hal tersebut tetap tertanam kuat dalam setiap pribadi ‘pahota’ yang terlibat dalam interaksi dan transaksi lapau, meski (mungkin saja) mereka tidak pernah lagi melaksanakannya secara benar.
Teater; Mungkinkah ber’Gaya’ Lapau?
Secara tak terelakkan, teater adalah sebuah gaya. Gaya bercerita, maupun gaya menonton. Peristiwa kemanusiaan yang di ceritakan dan dipertunjukkan kembali (di-representasi-kan), dalam sebuah peristiwa teateral, di pantulkan dan dicerap dengan gaya tertentu. Para pelaku, dapat memantulkan sebuah cerita dengan cara objektif, di mana ia membiarkan dirinya menjadi objek cerita dan menyodorkan cerita secara apa adanya. Atau dapat pula secara subjektif, di mana ia mengambil jarak dengan cerita itu dan bertindak sebagai subjek yang memberikan tanggapan pribadinya terhadap cerita.
Sejatinya, cara memantulkan cerita inilah yang menimbulkan sebuah gaya dalam drama dan teater, yaitu gaya bercerita dan atau gaya mempertunjukkan. Gaya yang dilahirkan dari cara bercerita objektif, adalah gaya presentasional (menghadirkan), di mana pelaku berusaha ‘menjadi’ tokoh cerita, dan pada saat itu mengajak penonton untuk setuju dengannya. Sedangkan cara bercerita subjektif, akan menghasilkan gaya re-presentasional. Pada gaya yang kedua ini, pelaku hanya ‘memperagakan’ si tokoh, memberikan tanggapan pribadinya, dan membiarkan penonton untuk ikut menilai sendiri. Jika pada gaya presentasional, kehidupan dipantulkan dengan ‘ketepatan’ (akurasi), maka gaya re-presentasional cenderung memantulkannya dengan ‘melebih-lebihkannya’ (stilisasi).
Dengan demikian, terdapat pula gaya menonton sebuah peristiwa teater sebagai implikasi dari cara mempertunjukan atau me’laku’kan seperti yang dijelaskan di atas. Penonton dapat mencerap dan mencari makna dari peristiwa yang dipertunjukkan tersebut melalui suatu cara tertentu. Dia bisa memperoleh makna dengan cara terlibat secara emosi dengan cerita, ataupun justru dengan mengambil jarak terhadap cerita. Cara yang pertama akan melahirkan gaya menonton ‘pasif’, di mana si penonton membiarkan dirinya terbawa oleh alur cerita, sedang cara kedua akan melahirkan gaya menonton ‘aktif’, yaitu menonton sembari memberi komentar terhadap cerita.
Meski demikian, jika pun ada penonton yang awalnya terbawa oleh alur (pasif) dan kemudian juga memberikan komentar (aktif), dia tidak dapat dipandang sebagai penonton secara aktif-pasif sekaligus. Kesadaran untuk memberi memberikan komentar (meski pada awalnya terbawa emosi), tetap saja membuat penonton tersebut menjadi bersikap ‘aktif’ terhadap pertunjukan. Sedang mereka yang memberikan komentar di luar konteks pertunjukan, atau setelah pertunjukan selesai, harus dipandang sebagai penonton pasif. Sebab sebenarnya ia tidak memberikan komentar terhadap pertunjukan, sebab sang pertunjukan telah berakhir. Sebaliknya, ia memberikan komentar terhadap ingatannya tentang pertunjukan tersebut.
Karena sebab-sebab tersebut, peristiwa dan cerita yang terdapat di lapau pada dasarnya diproyeksikan dan dicerap dengan sebuah gaya pula. Tujuannya sudah pasti, adalah memberikan penekanan-penekanan (empasis) tertentu terhadap cerita dan pertunjukan tersebut. Sudah jelas, bahwa terdapat ’tindakan’ manusia di Lapau, baik yang dicontohkan dan diperagakan maupun yang sekedar diceritakan, yang membuatnya berpotensi dramatik sekaligus teateral. Dan karena itu, terdapat pula gaya bercerita, gaya mempertunjukan dan gaya menonton dalam ‘mahota’ di lapau tersebut.
Namun harus diperhatikan, bahwa tindakan dengan potensi dramatik dan teateral itu, pada dasarnya sama seperti hampir semua interaksi manusia di setiap tempat dan suasana dalam kehidupan. Potensi yang sama juga terdapat dalam proses belajar-mengajar di sekolah, proses jual-beli di pasar, proses bergunjing di arisan ibu-ibu, dan lain sebagainya. Sehingga sebenarnya, konteks lapau tidak dapat dipandang sebagai hal khusus, yang melahirkan potensi tersebut. Kalaupun ada yang yang khas dari sebuah lapau, hal itu adalah suasananya seperti yang digambarkan di awal tulisan ini. Sebuah suasana yang terbangun dari sifat-sifat khas masyarakat Minangkabau.
Harus dicatat pula, bahwa ’pelaku’ tindakan dalam peristiwa lapau ini tidak berpretensi untuk ’mempertontonkan’ sesuatu ataupun diri mereka. Sebaliknya, mereka yang menonton tidak pernah menanggapinya (secara sadar) sebagai sebuah ‘tontonan’, meski sesungguhnya mereka mendapatkannya di Lapau. Karena itu, mungkin mereka tidak tepat di katakan sebagai aktor atau ’pemain’. Hal ini, membuat peristiwa lapau tetap saja harus dipandang berada dalam keadaan “berpotensi teateral” dan tidak pernah menjadi “teater” dalam pengertian tontonan sesungguhnya. Dan potensi ini jelas tidak cukup untuk menjadi suatu gaya pertunjukan teater tersendiri. Sama halnya, dengan tidak mungkin membuat teater ‘gaya pasar’, teater ‘gaya arisan’, dan teater ‘gaya sekolah’.
Lebih jauh, agaknya cara bercerita dan cara memperagakan yang digunakan para ‘pelaku’ peristiwa lapau, tidak pula menghasilkan gaya selain gaya yang disebutkan di atas, yaitu presentasional dan re-presentasional. Artinya, konteks lapau juga tidak mendorong terciptanya suatu gaya (katakanlah) ‘pemeranan’ tertentu. Seberapapun juga khasnya kondisi lapau, cerita (ota) yang disampaikan di dalamnya, tetap saja di lakukan dengan ‘menjadi’ si tokoh cerita, atau ‘seolah-olah’ adalah tokoh cerita. Atau paling-paling, melakukan keduanya secara bergantian. Dan jika awalnya ‘menjadi’ si tokoh cerita, lalu kemudian bersikap ‘seolah-olah’, interupsi (pemutusan) karakter yang dilakukan, tetap saja memberikan hasil akhir yang ‘seolah-olah’.
Pada kenyataannya, para ‘pahota’ lapau lebih cenderung untuk bersikap ‘seolah-olah’ terhadap karakter yang mereka ceritakan dan peragakan. Kalaupun Sebab umumnya, cerita yang mereka sampaikan tersebut lebih bertujuan sebagai sebagai ‘garah’ (kelakar) dan ‘cimeeh’ (cemooh), ketimbang sebagai empati. Jika pun mereka harus bersimpati terhadap sebuah cerita, para pahota ini sekedar bersimpati dan menjadikannya bahan perenungan dan introspeksi diri. Dengan begitu, cerita selalu di letakkan sebagai objek yang diamati dan dinilai, bukan ikut dirasakan. Dan hal ini, sekaligus membuktikan bahwa konteks lapau adalah refleksi antropologis dari masyarakat Minangkabau, tapi bukan suatu gaya teater tersendiri.
Kemungkinan Dramaturgial: Teater ‘Ala’ Lapau atau Teater Ber‘latar’ Lapau
Teater adalah media komunikasi dan publikasi pikiran (idealisme) memang. Oleh sebab itu, teater harus memiliki kemampuan untuk menciptakan ruang-ruang publik bagi proses komunikasi dan publikasi tersebut. Festifal “Baciloteh Caro Lapau” (Teater ‘Gaya’ Lapau) yang digelar di Taman Budaya Sumatera Barat, Padang, pada 14-16 November 2008 yang lalu dapat dipandang sebagai sebuah bentuk upaya publikasi ide teater tersebut. Landasan pikirannya, sudah tentu ‘mencari-cari’ formulasi baru bagi teater di Sumatera Barat. Sebuah usaha, yang tentu patut di apresiasi, sekaligus karenanya perlu dikritisi.
Memperhatikan keseluruhan peserta yang tampil pada even tersebut, sebenarnya tidak terlalu jelas mana yang disebut sebagai ‘gaya’ lapau pada pertunjukan. Barangkali, karena lapau hanya dipahami sebagai latar tempat dari sebuah peristiwa drama dan teater. Sehingga, dengan mendekor tempat pertunjukan menjadi ‘seperti’ lapau, semua pertunjukan yang dipentaskan di situ telah dianggap mewakili ‘gaya’ lapau. Faktanya, pertunjukan-pertunjukan tersebut tetap saja dipentaskan dengan logika ‘realisme’ yang kental, dengan penokohan yang konsisten, alur yang linear, dan penyelesaian yang logis. Atau bahkan, cenderung ditafsirkan sebagai kitcs semacam lenong dan ketoprak, di mana ‘gelak tawa’ diprovokasi oleh lawakan fisikal.
Terlebih, karena pra-festifal juga tidak ada pengantar dramaturgial yang cukup memadai. Para peserta, berangkat ke festifal dengan tafsirnya masing-masing tentang teater ‘gaya’ lapau tersebut. Barangkali, hal ini hanya bentuk lanjutan dari tradisi untuk melempar wacana, dan membiarkan banyak orang memberi tafsir, lalu merumuskan defenisi dari tafsir yang beragam itu. Sah-sah saja memang, namun terasa kurang bertanggung-jawab, baik secara akademik, maupun secara moral. Bayangkan, jika semua orang kemudian melemparkan wacana pula tentang teater ‘gaya’ macam-macam. Tentunya, teater di Sumatera Barat, kembali terseret ke dalam perdebatan kusir, tapi tak punya praktik terukur dan metode operasional.
Setidaknya, ‘suasana’ lapau jika hendak ditransformasikan (juga) menjadi suatu dasar peristiwa teater, dapat diterapkan dalam tiga hal. Pertama, Logika Pemeranan: yaitu cara berfikir tertentu tentang peran yang digunakan dalam suatu pertunjukan teater. Telah diuraikan sebelumnya bahwa pada konteks lapau, cerita yang disampaikan selalu berada pada suatu jarak dengan para penceritanya. Sehingga dapat di pahami bahwa logika yang diterapkan para pahota lapau terhadap peran dalam ceritanya adalah pendekatan re-presentasional dengan sedikit pendekatan presentasional, yaitu pada cerita yang mereka bersimpati terhadapnya. Sehingga, istilah pemain dan pemeran dapat digunakan secara bersamaan dan saling bergantian, namun para pahota tersebut lebih dominan bersikap sebagai pemain yang ‘seolah-olah’ adalah tokoh yang diceritakan.
Jika hendak dikategorikan (juga), dalam konteks ‘ota’ lapau umumnya, ada ‘tukang tongek’, ‘tukang uduah’, ‘tukang tarimo‘, dan ‘tukang panangahi’. ‘Tukang tongek’, biasanya berperan memberi umpan dan pancingan untuk menggulirkan sebuah cerita. ‘Tukang uduah’ akan membahasnya secara parodial dan komikal dan biasanya ‘tukang tarimo’-lah yang jadi semacam objek penderita. Biasanya, yang dikomentari adalah tabiat seseorang, atau sekelompok orang, yang dibuat seolah-olah adalah tabiat si ‘tukang tarimo’. Tapi sering juga, ‘tukang tarimo’ ini adalah tokoh ‘fiksi’ yang tidak berada di lapau tersebut pada saat ‘ota’ berlangsung. Setelah itu, ‘tukang panangahi’-lah yang akan memberikan pembahasan sesungguhnya, untuk diambil pelajaran. Sepanjang ‘ota’, para ‘pahota’ akan bergantian saja mengambil peran-peran itu secara acak. Jika ia tidak mengambil satu peranpun, pada sebuah interfal cerita, maka saat itu lah ia (sementara) menjadi penonton.
Kedua, Logika Pertunjukan: yaitu cara utama tertentu yang digunakan sebagai pembangun peristiwa dalam sebuah pertunjukan teater. Antonin Artaud membandingkannya (secara tidak lansung membaginya), menjadi teater modern Barat (occidental theatre) sebagai teater kata-kata, dengan bahasa (teks linguistik) sebagai alat ekspresi utama, sementara teater tradisional timur (oriental theatre), teater sebagai ‘teater’ sesungguhnya dengan totalitas gerak tubuh (teks performatif) sebagai alat ekspresi utama. Hal yang sama, disinyalir Umar Yunus, ketika ia memperbandingkan kecendrungan ‘teater Sumatera’ di satu sisi (dengan Wisran Hadi sebagai contoh) dan ‘teater Jawa-Bali’ di sisi yang lain (Rendra, Putu Wijaya, dll). Yunus juga mengistilahkannya sebagai ‘teater kata-kata’ di satu sisi dan ‘teater gerak’ di sisi lain.
Jika dilihat pada konteks lapau, kata-kata tentu lebih dominan dalam ‘ota’, dan menjadi medium utama penyampai cerita. Peran, seringkali hanya diekspresikan oleh tubuh terbatas, karena para ‘pahota’ cenderung duduk dalam menyampaikan ceritanya. Dengan begitu, mimik wajah dan gerak tangan lebih banyak digunakan untuk mengekspresikan cerita. Meski demikian, tidak jarang pula mereka berdiri, memperagakan peran tertentu dan kemudian duduk lagi. Bahkan terkadang, mereka berpindah tempat untuk mencari tempat yang lebih lapang, tapi tetap saja kembali mengambil tempat duduk begitu perannya berakhir.
Yang perlu dicatat, para ‘pahota’ tidak pernah membuat rencana tentang tema cerita, apalagi menggariskan alur ‘ota’ itu. Seorang ‘pahota’, rata-rata menguasai banyak bahan, banyak teks cerita. Bisa kehidupan aktual, bisa bayangannnya tentang kehidupan tokoh-tokoh kaba dan tambo, suatu momen sejarah, atau bahkan proyeksi tentang kehidupan masa depan. Selama ‘ota’ berlansung, mereka dapat saja merangkaikannya secara bebas dalam alur cerita, tanpa melakukan modulasi atau menyambungkan cerita yang tidak tepat dengan konteks pembicaraan. Selama itu pula, mereka punya kemampuan untuk mengekpresikannya dengan suara dan tubuh. Tentu saja, hal ini merefleksikan pula sebuah budaya yang cerdas, paling tidak kecerdasan bercerita dan memperagakan.
Dan Ketiga, Logika Pentas: yaitu sudut pandang tertentu yang menentukan pencerapan sebuah pertunjukan teater oleh penontonnya. Secara umum, kajian pertunjukan mengenal panggung prosenium (proscenium stage), panggung terbuka (thrust stage/ open stage), dan pentas arena (arena theatre). Panggung prosenium menimbulkan sudut pandang frontal antara penonton dengan tontonan, sehingga yang ditimbulkan tontonan tanpa jarak. Pada keadaan tersebut, penonton terbawa memasuki ‘dunia lain’, yang dicerapnya sebagai kehidupan sesungguhnya dan kehilangan kekritisan terhadap tontonannya. Sedangkan pentas arena dan panggung terbuka, akan menimbulkan jarak itu. Penonton akan sangat menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan sebuah ‘tontonan’, sehingga ia bebas ber-komentar terhadapnya.
Konteks teater bersuasana lapau, mungkin akan menghasilkan sebuah logika pentas yang lebih ekstrim di banding pentas arena dan panggung terbuka. Agaknya, tidak harus jelas pembagian wilayah panggung dan penontonnya. Pemisahan antara tontonan dan penontonnya bukan lagi soal posisi pada tempat, tapi lebih pada persoalan posisi terhadap teks cerita. Dengan demikian pula, pada konteks lapau tidak pernah harus jelas siapa ‘pemain’ dan siapa penontonnya. Jika hendak diaplikasikan, semua yang terlibat adalah ‘pahota’, yang bertemu pada sebuah ruang yang disepakati sebagai ruang lapau. Tentu saja juga tidak penting, untuk mengambil tempat sebuah lapau sesungguhnya, atau bahkan bersusah-payah membuat dekorasi lapau, selama suasana lapau terciptakan pada peristiwa itu.
Mungkin, teater ‘ala’ lapau bisa dipraktikkan dengan menyepakati sebuah tempat saja, di mana peristiwa lapau akan di re-konstruksi. Para pengunjung, datang ke tempat itu dengan kesiapan sebagai ‘pahota’. Ia harus siap dengan berbagai teks cerita, juga siap mengekpresikannya sesuai kebutuhan, dan menjadikannya sebagai respon terhadap ‘ota’ yang akan berlansung. Yang lebih penting, peristiwa ini harus dipandang sebagai media diskusi dan latihan mengasah kecerdasan ‘bercerita’. Sesuatu, yang bersumber dari keikhlasan mengamati detil kehidupan manusia, dan kesadaran untuk memantulkannya kembali sebagai bahan amatan, kajian dan (selanjutnya) pembelajaran. Barulah dengan begitu, lapau menjadi refleksi budaya Minangkabau yang khas, dan transformasinya menjadi pertunjukan teater memberi manfaat bagi kemanusiaan, sebagaimana sebuah pertunjukan teater pada hakikatnya ditujukan.
Catatan Akhir
Hal-hal di atas, pada dasarnya adalah satu tawaran saja, tentang bagaimana wacana teater ‘ala’ lapau (mungkin) dapat diaplikasikan sebagai sebuah praktik. Sudah tentu, hal ini pun mensyaratkan suatu proses ‘trial and error’ yang panjang untuk menemukan suatu formulasi yang tepat untuk mentransformasikan lapau sebagai sebuah basik penciptaan peristiwa teater. Jika tidak, teatar ber’suasana’ lapau, atau teater ‘ala’ lapau hanya akan menambah gelap ‘hutan-belantara’ peristilahan teater. Pada praktiknya, pertunjukan teater tersebut hanya meminjam lapau sebagai sebuah latar pertunjukan. Lapau menjadi sama pengertiannya dengan kedai nasi, kios rokok kaki lima, atau bahkan mall dan plaza. Ia hanya akan menjadi nama tempat, di mana peristiwa kemanusiaan yang dipertunjukan itu terjadi, dan gagal menjadi sebuah suasana yang khas.
Jika itu terjadi, maka menggunakan kata lapau dalam sebuah istilah bersama kata ‘teater’, hanya sebuah ‘kenakalan’ atau bahkan ‘kegenitan’ saja. Sebuah godaan untuk memproklamirkan lokal genius Minangkabau dan memaksakannya masuk dalam ranah diskursus pertunjukan. Sebuah usaha, yang hanya akan terlihat sebagai kompensasi terhadap gagalnya usaha mewacanakan teater ‘gaya’ randai atau teater ‘gaya’ antah berantah lainnya. Sangat disayangkan, wacana tersebut terlanjur dilemparkan ke ruang publik. Padahal praktiknya, jika melihat mayoritas peserta festifal “Baciloteh Caro Lapau” (Teater ‘Gaya’ Lapau) di Taman Budaya Sumatera Barat (Padang, 14-16 November 2008) yang lalu, lapau tidak pernah benar-benar ter’suasana’kan dalam pertunjukan. Jika tetap demikian, festival serupa hanya akan membuat teater ‘gaya’ lapau terlihat sebagai praktik yang ‘kegaya-gayaan’ atau bahkan terasa terlalu tendensius !
dimuat di www.padang today edisi Senin, 05/01/2009 17:25 WIB