Feature | Rabu, 12/11/2008 13:14 WIB
Oleh: Romi Mardela
Masyarakat belum berani menyampaikan kritik terhadap diri mereka sendiri, hal inilah yang membuatnya lambat maju. Seperti yang disampaikan Dede Pramayoza, Sutradara dalam pertunjukan teater kontemporer dengan judul "ovulum dan segumpal tanah" di Taman Budaya, Padang.
Kritik atas ketidakberanian masyarakat dalam mengkritik dirinya sendiri itu baru disampaikan sebelum penutupan pertunjukkan. Seakan ingin menyampaikan kepada penonton agar persoalan tersebut di jawab sendiri. Seperti halnya dengan konsep yang ia tawarkan yang diangkat dari tambo Minangkabau tersebut, ia tidak ingin tampil frontal dengan lagsung mengkritik masyarakat. Karena menurutnya, masyarakat (penonton) sudah cerdas untuk memanai sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. "Begitulah pesannya, si Ibu meneriakkan bahwa ia menderita kista sebelum lampu padam petanda pertunjukkan usai," ujarnya. Kista merupakan salah satu penyakit yang sangat memalukan bagi seseorang pengidapnya. Bahkan untuk masyarakat Minangkabau sendiri penyakit tersebut menjadi aib, dan terkadang lebih ekstrem, penderitanya dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat.
Teater yang dipertunjukan melalui kerjasam STSI Padangpanjang dengan Taman Budaya Sumatera Barat ini, mengawali pertunjukkan melalui tambo Minang. Pada perjalanan ceritanya, ditampilka sebuah 'percakapan' bakal anak di dalam rahim. Ada tiga orang anak yang berbicara tentang asal-usul, serta perjalanan mereka selama di dalam rahim. Siklus biologis proses kelahiran seorang anak manusia dipadu dengan tambo, yang melahirkan sebuah monolog yang luar biasa tajamnya. Bahkan terkadang dalam monol0g tersebut mereka menyampaikan keperihan, kesakitan, dan ketakutan. Hal itu mereka tunjukkan dengan terkekangnya tubuh mereka dalam balutan lendir (atau plastik sebagai properti yang diibaratkan menjadi lendir). Seperti memperdebatkan tentang sesuatu tentang penciptaan manusia yang tidak pernah disadari.
Lalu si ibu menarik perutnya yang tengah bunting itu. Seperti mencabik-cabik dan melawan kehendak ia terus saja berteriak lantang, sembari tangannya menarik lendir dari perutnya yang bunting. Hal ini diikuti oleh ketiga anak yang masih dibungkus lendir-lendir dalam rahim tersebut. Dengan pergulatan panjang, sang anak baru daat melepaskan diri dari jeratan lendir itu. Lalu dengan sigap ia pun segera membersihkan orok yang dibawa serta bayi tersebut. Selanjutnya si ibu kembali menghilang yang diikuti dengan teriakan ketiga anaknya. "Amak, Amai, Mandeh," ketiganya menyebutkan ibu dengan cara yang berbeda. Tidak hanya di dalam rahim mereka berteriak menantang untuk bertanya. Bahkan setelah mereka bebas pun, masih tetap mempertanyakan eksistensi kehadiran mereka di atas bumi. Apakah kehadiran mereka di atas bumi dikehendaki? Kenapa mereka tidak dilahirkan di istana ataupun di dekat daerah di perkampungan mereka? Lalu kenapa namanya tidak menggunakan nama sangsakerta? Semua pertanyaan itu mereka lontarkan tanpa mendapat jawaban sama sekali.
"Ini yang saya sebut kritik terhadap diri sendiri. Apakah saya yang orang Minang ini benar-benar orang Minang? Lihatlah orang jaman sekarang, apa yang sebenarnya menjadi identitas bahwa ia dapat dikatakan orang Minang? Itu yang saya rasa, saya tidak menemukannya, lalu melalui pengkajian tambo saya ingin menafsir ulang kembali untuk mendapatkan identitas yang sebenarnya." katanya. Menurutnya orang yang kehidupannya dapat melaju dengan pesat adalah orang-orang yang mengakui kesalahan dan kekuranganya. Dan kista yang diibaratkannya dengan penyakit masyarakat merupakan suatu hal yang tidak perlu ditutupi namun harus diobati atau diperbaiki. "Apa susahnya menjadi orang yang mengakui kelemahan dan kekurangannya. Jawabnya ada pada diri masing-masing," tutup dosen bidang Dramaturgi ini.
Sumber: Portal Padang Media