Tari sebagai Media Komunikasi

Oleh: Okty Budiati


Melalui bahasa tubuh (gerak), seni tari merupakan media komunikasi. Tari menjadi simbol pencerahan. Melalui perayaan ritual maupun hiburan, di dalamnya terkandung spirit akan identitas yang merupakan perwujudan dari suatu filosofi, nilai dan bentukan sejarah, serta tradisi dan budaya tertentu. Seni tari merupakan salah satu wahana ekspresi, sebuah proses harmonisasi tubuh dan pikiran melalui gerakan.Persoalan hidup manusia selalu terjadi dalam jalan panjang kehidupan. Kemiskinan dan pendidikan sering kali muncul mengiringi berbagai masalah tersebut. Kompleksitas ini pada akhirnya menjadi pangkal ketidakmampuan pikiran dalam membaca ruang masyarakat yang telah membentuk karakter menjadi suatu komponen dalam relasi sosial. Tubuh pun beralih fungsi menjadi mekanik yang akan terus menciptakan kloning-kloning tubuh sesuai perkembangan jamannya. Sementara tubuh sebagai bahasa tidak lagi menjadi jujur pada saaat mengamati dan memaknai gerak dalam keseharian, sekaligus memahami kehidupan yang terjadi dengan membaca psikologi sosial yang sedang terjadi dari kacamata ruang-waktu.

Tari yang telah hadir menjadi sebuah simbol ekspresi manusia akan keindahan dari masa ke masa semakin kehilangan arahnya. Begitu pula yang terjadi pada sebuah pertunjukan tari saat ini. Sedikit sekali sebuah pertunjukan tari yang mengekspresikan persoalan hidup manusia. Tari pun beralih fungsi menjadi sebuah hiburan yang lebih mengutamakan selera bagi kelompok masyarakat. Bahkan esensi tubuh dalam seni tari menjadi kehilangan arah dengan masuknya material yang ditempelkan bagai sebuah kolase gerak. Tari dengan pemahaman akan sebuah kompleksitas sosial saat ini seakan harus membaur bersama produk yang dibingkaikan untuk sebuah politik-sosial-ekonomi.

Artinya, akan menjadi sulit jika kita berharap seni tari akan mampu menjadi media komunikasi atas permasalahan sosial, politik, sejarah, ekonomi, agama, hingga budaya. Terkecuali apabila para pelaku tari itu sendiri mau mencoba meluangkan waktu dan melihat kembali sejarah kemunculan tari. Pada saat bahasa kata belum ada, tari sebagai komunikasi yang dikemas ke dalam sebuah pertunjukan memiliki maksud dan tujuan akan peradaban yang ada. Namun tanpa meniadakan fungsinya sebagai satu tahap perenungan/pencerahan. Tari ini terwujud dalam, antara lain, upacara, ritual, perayaan dan hiburan.

Di Indonesia sendiri, seni tari telah mengalami masa peralihan dalam peta peradaban sejak masyarakat agraris dan pesisir. Contohnya tari Barong Brutuk dari Bali yang mengandung spirit ritual akan harmonisasi hubungan manusia dengan alam, baik secara fisik maupun spiritual. Pada perjalanannya, tari berkembang secara konstruktif ke dalam satu pemahaman akan disiplin militer pada masa era penjajahan, di mana tari telah mengambil bentuknya secara matematis dalam pola koreografi, contoh; tari Bedhaya dari Jawa. Hingga di sekitar tahun 1966, tari secara konsep menetapkan diri sebagai sebuah identitas akan keberadaan sebuah negara baru, dengan munculnya Bagong Kussudiardja melalui konsep Nusantara dalam komposisi koreografinya. Kemudian dilanjutkan oleh Sardono W Kusuma dengan mengangkat tema permasalahan konflik sosial antara manusia dengan alam. Lalu kini muncullah Fitri Setyaningsih yang mengusung tema tubuh material dalam masyarakat modern, dan masih banyak contoh lainnya. Namun apakah kita akan tetap mengacu pada seni enam-enam di saat informasi dan globalisasi terbuka lebar di depan mata kita? Apakah kita akan terus membicarakan sebuah indentitas yang tertanam dalam kotak geografis?

Sebaliknya, keberagaman kita harusnya mampu menciptakan sebuah ide pengkaryaan dalam seni tari yang dapat membuat kita memahami esensi tari itu sendiri. Di mana tari bermuara dari gerakan tubuh dengan komposisi koreografi yang mampu memberikan satu pemahaman akan spiritual proses kehidupan manusia (baca: masyarakat).
Dengan mengutip satu pemahaman akan politik tubuh dari Michel Foucault terhadap tubuh yang mengambil bentuk penghancuran tubuh dan langsung menyentuh tubuh secara langsung, justru membuat tubuh menjadi ambigu. Karena itulah, tari seharusnya tidak meniadakan jejak sejarah tari itu sendiri, melainkan mengemasnya menjadi sebuah komposisi koreografi yang lebih plural (secara tubuh). Di saat inilah, tari dengan gerak tubuhnya yang semakin terpojok oleh identitas geografis, undang-undang, dan paham moralis/agamis seharusnya berani melakukan eksplorasi terhadap tubuh yang terpenjara. Bukan menutupi tubuh dengan material yang sedang menjadi tren. Melainkan membiarkan tubuh itu bicara dengan bahasanya, dengan memperkenalkan spirit dalam tari yang lebih mendalam dan serius mengenai persoalan sosial dan seni menuju tercapainya perluasan dan penerangan konseptual dalam panggung tari.

Dengan pemahaman tentang satu esensi dari peran tari, ada baiknya keberadaan para pelaku dan pencipta tari saat ini memiliki keberanian untuk mereformasi sebuah sudut pandang pertunjukan-pertunjukan tari pada satu bentuk penciptaan dengan melakukan eksperimen-eksperimen, pencarian, dan pengolahan gagasan tanpa meninggalkan spirit tubuh sebagai esensi dari seni tari. Bukan lagi terpaku pada pembuatan kolase teknik dalam membangun imaji yang akan dihasilkan di sebuah pertunjukan tari dengan meninggalkan fungsinya bagi masyarakat luas.

Begitulah tari sebagai salah satu seni pertunjukan menjadi sebuah tontonan yang layak dibaca dan membaca. Seperti halnya pada seni-seni yang lain. Semoga para pelaku dan pencipta tari saat ini menjadi lebih lebih kritis dalam membaca ruang dan masyarakat agar panggungnya tidak lagi kering dan kosong untuk dibaca oleh masyarakat. Selamat menari!

Penulis adalah praktisi tari.


Sinar Harapan I Sabtu, 07 Februari 2009