Teater dan Isu Perempuan; Sebuah Transkripsi Diskusi

(PUBLIC HEARING PENELITIAN)
TEMA: ISU PEREMPUAN DALAM TRILOGI “SEL DAN TULANG”, KARYA TYA SETIAWATI; SEBUAH ANALISIS MOTIF DAN REKAMAN PROSES PENCIPTAAN TEATER

Peneliti/ Pembicara 1: Dede Pramayoza
Pengamat/ Pembicara 2: Sahrul N
Moderator: Afrizal Harun
_________________________
Kamis, 13 November 2008, Ruang V2 STSI Padangpanjang

_________________________
Pengantar 1:

DEDE:
Pada dasarnya, saya berharap untuk bisa berdiskusi tentang hasil penelitian ini dengan teman-teman di Padang. Sebabnya, pertunjukan Tya yang berjudul “Dekonstruksi Perawan” mendapatkan respon cukup hangat ketika dipentaskan di sana, yang terungkap lewat diskusi pasca pertunjukan. Sebagian besar perespon di Padang, beranggapan bahwa usaha Tya untuk menggunakan dua genre pertunjukan tradisional Minangkabau, yaitu Randai dan Tupai Janjang, sebagai sesuatu yang tidak didasarkan pada suatu proses pembelajaran yang dalam. Namun, justru hal inilah yang menjadi ketertarikan saya terhadap Tya yang pertama. Yaitu, bahwa dia bukan orang Minangkabau, tapi kemudian menggunakan idiom-idiom pertunjukan Minangkabau. Dan, pertunjukan tersebut mendapat respon, di mana Tya dianggap subjektif menafsirkannya.

Yang kedua, berkenaan dengan Trilogi “Sel dan Tulang” ini sendiri, adalah ruang penciptaannya, yaitunya sebuah kelompok diskusi bernama “Perempuan Pekerja Teater”. Saya tertarik, sebab ada sekelompok perempuan, yang sering kumpul-kumpul dan diskusi secara reguler. Menarik bagi saya, sebab tiba-tiba ada sekelompok perempuan yang punya kesadaran berorganisasi, berdiskusi menegenai isu-isu perempuan, dan akhirnya menggarap satu pertunjukan yang disutradarai Tya, berjudul “Dekonstruksi Perawan”. Sebuah pertunjukan yang berangkat dari naskah yang di tulis Tya. Menarik bagi saya, bahwa material-material dalam pertunjukan tersebut merupakan hasil elaborasi kelompok.
Kemudian, Tya diundang ke WPIC di Jakarta. Untuk kebutuhan itu Tya memfragmentasikan “Dekonstruksi Perawan” hingga menjadi pertunjukan berjudul “Bumi Perempuan”. Dalam amatan saya, teks-teks pada pertunjukan kedua ini sama dengan yang pertama. Hanya saja terjadi pengurangan pemain, yang besar kemungkinan menimbulkan polemik dalam kelompok. Barangkali dilakukan untuk mensiasati budget. Pertunjukan ini pentas dengan bendera Perempuan Pekerja Teater.
Sepulang dari sana, “Dekonstruksi Perawan” digarap lagi, dengan mendapatkan hibah inovatif Yayasan Kelola. Proses ini terjadi sangat cepat dan agak tegang, yang mungkin adalah semacam uforia dari WPIC. Satu bulan proses, “Dekonstruksi Perawan” 2 ini pentas di Padangpanjang dan di Padang. Pemainnya ada yang diganti, dan proses berlansung dengan sedikit tegang. Pertunjukan ini pentas dengan bendera Teater Sakata, yang secara tidak lansung memundurkan Pepetea. Di sinilah Tya mendapatkan respons hangat dari penonton di Padang. Pertunjukan yang ketiga, adalah “Ketika Sel dan Tulang Bekerja” yang berproses dalam kerangka Empowering Woman Artist. Teks pertunjukan ini agak berbeda dengan dua pertunjukan sebelumnya. Yang menarik dari pertunjukan in, adalah keterlibatan pemain laki-laki, sementara di dua pertunjukan sebelumnya, seluruh pemainnya perempuan. Pertunjukan ini berbendera Teater sakata.
Hal ketiga, yang menjadi perhatian saya dalam penelitian ini, adalah usaha Tya, untuk keluar dari tradisi penyutradaraannya. Biasanya, Tya cenderung untuk menyutradarai naskah-nahkah bergenre realis yang ditulis orang lain. Saya, tertarik untuk mencari tahu motif dari keputusan Tya untuk keluar dari kebiasaannya tersebut. Dari wawancara saya dengan Tya, terungkap bahwa alasan di balik itu, yaitu keinginannya untuk bicara tentang hal-hal yang lebih dekat dengannya. Terutama sekali, kodratnya sebagai perempuan, yang dirasakannya sering kali membatasi ruang gerak kreatifnya. Tya merasa bahwa naskah-naskah yang disutradarainya kurang banyak membantunya untuk bicara hal tersebut. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk menulis naskah sendiri. Pada saat yang bersamaan, ia juga keluar dari kebiasaannya menyutradari.
Jadi mungkin itu, hal-hal yang saya amati dari Tya dan “Trilogi Sel dan Tulang”. Dimulai dengan sebuah kelompok diskusi, yang kemudian menjadi lebih ‘dalam’ pembicaraannya, atau semacam diskusi tematik dengan kehadiran berbagai orang di luar kelompok, dan menjadi motif penciptaan teater.
_________________________
Pengantar 2:

SAHRUL N:
Pada dasarnya saya juga ikut mengamati proses penciptaan “Trilogi Sel dan Tulang” ini. Namun, pada kesempatan ini saya tidak akan membahasnya dari sudut pandang estetika ‘perempuan’-nya. Saya ingin melihat efek yang ditimbulkan dari logika produksi terhadap estetika pertunjukan Tya secara umum. Saya membahasakannya sebagai efek dari ‘keterlibatan funding’. Pada konteks Tya, saya memiliki beberapa catatan perihal pertunjukan yang saya melihatnya sebagai capaian pra-funding dan pasca-funding.
Saya juga mengikuti pertunjukan-pertunjukan Tya, saat ia bergelut dengan kesenian dalam masa-masa pra-funding. Dalam hemat saya, jangkauan estetikanya bisa lebih jauh dan objektif. Ketika funding kemudian terlibat dalam produksi Tya, salah satu konsekuensinya dalam pandangan saya, adalah Tya terpaksa mengikuti pola yang digariskan funding. Menurut saya, hal tersebut berdampak terhadap estetika pertunjukannya. Tya, menjadi terdesak oleh permintaan terhadap ‘isu’ tersebut, mau bicara apa lagi soal perempuan. Ia mengalami semacam kesulitan untuk mengolah isu yang sama menjadi tiga pertunjukan berbeda dalam waktu yang terbatas. Saya menilai, semakin ke sini, Tya semakin kesulitan untuk menyampaikan keinginan-keingainan estetiknya.
Ini salah satu resiko, dalam pandangan saya, yang harus dialami jika kesenian di support oleh funding. Mekanisme di dalam lembaga funding sendiri, terutama yang berkenaan dengan pelaksanaan program, memberi desakkan tersendiri kepada seniman untuk menyelesaikan karyanya pada deadline yang telah ditentukan. Besar kemungkinan, banyak capaian-capaian artistik, dan kemungkinan-kemungkinan estetik yang tidak sempat terolah dan tereksplor karena keterbatasan waktu yang ada.
Kendati demikian, funding juga berdampak positif tentu saja. Apalagi pada konteks teater, yang biasanya mengalami kesulitan untuk membiayai produksinya. Adanya funding, memungkinkan terselesaikannya soal-soal logistik dalam ssebuah produksi. Satu persoalan, yang seringkali juga menghambat proses produksi teater selama ini. Hanya saja, mungkin saya memandang tidak terlalu penting bagi funding mencampuri hal-hal yang berkenaan dengan estetika. Misalnya, dengan mengirimkan tim, yang kemudian ikut mempengaruhi proses penciptaan. Bagi saya, hal semacam ini mengarah pada ‘penyeragaman’.
Hal kedua, yang saya catat dari proses penciptaan yang dilakukan oleh kelompok yang di ‘ketua’-i oleh Tya, adalah Manajemen Isu. Batapapun, tya diundang ke berbagai event pada waktu itu, karena karyanya bicara tentang isu yang pada waktu itu sedang hangat dibicarakan, yaitu soal-soal perempuan; feminisme, gender, dan estetika perempuan secara umum. Kecerdasan semacam ini, kiranya dapat menjadi inspirasi bagi pekerja teater yang kain. Yaitunya, bagaimana menciptakan karya yang aktual, yang bicara soal-soal kemanusiaan terkini.
_________________________
Tanggapan (Termin 1)

FADLI (Laki-laki, 27 Thn, Aktor, Komunitas Rumah Teduh):
Kami sempat diskusi tentang pertunjukan Tya, setelah pertunjukan “Dekonstruksi Perawan”. Beberapa hal yang banyak disorot teman-teman penonton, adalah: pertama term dekonstruksi yang digunakan Tya dalam judul karyanya. Kira-kira, konsep dekonstruksi mana yang diacu Tya, Derrida kah? Lalu apa yang dia maksud dengan dekonstruksi ‘Perawan’. Lalu, kita sempat diskusi juga bahwa soal perempuan di Sumatera Barat, adalah soal yang berbeda. Betapapun garis matrilenal cukup mempengaruhi. Misalnya, dalam amatan kami, perempuan di Sumatera Barat tidak mengalami hal-hal yang digambarkan Tya dalam pertunjukannya.
Demikian pula halnya dengan tekhnis pementasannya. Randai sebagai spirit misalnya, kenapa malah ada hal-hal yang dilemahkan. Misalnya, tentang legaran yang digunakan Tya, malah terlihat seperti salah satu tekhnik Wayang Wong. Pun juga, dengan properti: sekam, ketiding, dll. Keberadaan benda-benda tersebut di atas panggung, yang sepertinya bereferensi pada kehidupan tradisional, dalam pandangan kami malah menjadi ‘asing’. Sebab, dalam konteks kehidupan sehari-hari ‘perempuan’ Minangkabau, benda-benda tersebut tidak digunakan dalam konteks budaya dan peristiwa, seperti yang digambarkan pertunjukan Tya.
Mengamati perjalanan pengkaryaan Tya, saya membayangkannya seperti perjalanan Stella Adler, yang membawa cara Stanislavsky ke Amerika. Stella Adler mencoba untuk menyesuaikannya dengan kondisi Amerika. Bedanya, bagi saya, usaha itu tidak dilakukan oleh Tya. Misalnya ketika ia bertemu Yudi Tajudin, ia tidak melakukan penyesuaian dengan lingkungan penciptaannya. Usaha untuk menyerap beberapa pengaruh (order) yang dibawa oleh Tya dari pertemuannya dengan berbagai pekerja seni di tempat lain, serta merta diterapkannya pada penciptannnya. Dalam keadaan demikian, para aktor cenderung menjadi tidak melakukan kritik terhadap proses.
Sebelum Tya, sebenarnya Sumatera Barat memiliki beberapa sutradara perempuan juga, misalnya, Lilik dari teater Noktah. Mereka juga bicara soal perempuan. Dalam hemat saya, seringkali, para sutradara perempuan ini terperangkap dalam pilihan tema dan subjektifitasnya. Seolah-olah, jika perempuan bicara perempuan, itu adalah hal yang absah dan bebas nilai.
Lalu, tentang keterlibatan funding dalam usaha mencari sesuatu yang ‘baru’ bagi teater Indonesia, yang dalam pandangan saya, seringkali mendorong seniman untuk menjadi boombastis dan sensasional. Seringkali, untuk mengejar funding, seniman menjadi tergoda untuk hanya memikirkan capaian estetika yang ‘aneh’, ketimbang keinginan untuk benar-benar memperhatikan realitas dan menyikapinya.

DIDIN (Laki-laki, 29 Thn, Sutradara, Ex. Teater SAKATA):
Saya mengamati materi penelitian Dede, dan merasa bahwa mungkin ada beberapa segmentasi amatan yang perlu ditambahkan dalam laporan. Misalnya, soal pengaruh dari berkurangnya peran dari perempuan-perempuan pekerja teater yang terlibat di Pepetea, di luar Tya. Apakah ada pengaruhnya terhadap pencapaian estetika. Bisa diukur atau tidak, seberapa jauh pengaruhnya. Soalnya, dalam amatan saya, pertunjukan terlihat kurang berhasil mencapai apa yang ditargetkannya, ketika beberapa orang yang tadinya terlibat aktif dalam proses penciptaan, kemudian tidak lagi dilibatkan.
Lalu bagaimana pula hubungannya dengan kedatangan tim ‘peninjau’ yang ditugaskan funding ke sini, seperti yang dikatakan oleh Sahrul N tadi. Misalnya, apakah kedatangan para ‘peninjau’ itu ke mari, ternyata membuat totalitas pengolahan menjadi berkurang., yang tentu saja akan memberikan pengaruh tertentu terhadap kualitas keseluruhan pertunjukan.
_________________________
Ulasan 1

DEDE:
Saya juga melihat, bahwa ketidak terlibatan beberapa teman-teman yang tadinya terlibat pada ‘Perempuan Pekerja Teater pada proses lanjutan memberi pengaruh pada capaian estetis. Salah satunya adalah bahwa Isu Perempuan dalam proses penciptaan tersebut menjadi semakin personal Tya. Dari wawancara saya dengan para pemain, saya menemukan bahwa para pemain merasa bahwa mereka tidak lagi memiliki teks-teks pertunjukan pada proses lanjutan. Mereka merasa hanya menjadi peraga, dari pikiran-pikiran Tya. Hal tersebut, berbeda dengan proses awal, di mana mereka turut serta dalam proses penciptaan maupun pemilihan material pertunjukan.
Sementara itu, sejauh amatan saya, terdapat semacam nervous yang dialami Tya, ketika dia berhadapan dengan satu tingkatan pergaulan kesenian. Ini persoalan mental untuk merasa lebih ‘kecil’ dibanding teman-teman yang dari Jakarta atau Yogyakarta yang cenderung dianggap lebih ‘besar’. Efeknya, Tya menjadi lebih ‘tegang’ terhadap para pemainnya, yang menimbulkan efek tertentu.
Bisa juga, ini persoalan komunikasi antara Tya dengan para instruktur. Misalnya, dari wawancara saya dengan para pemain, saya memperoleh tanggapan bahwa mereka merasakan mendapatkan ‘sesuatu’ dari Workshop pemeranan dengan Yudi Ahmad Tajudin. Namun mereka merasa tidak mendapatkan ruang untuk menerapkannya dalam penciptaan pertunjukan. Alhasil, workshop tidak memberi efek yang cukup signifikan terhadap pertunjukan, sebab Tya sudah menggariskan outline yang tidak mungkin ditawar oleh pemain. Demikian pula halnya dengan diskusi tematik, ketika akses informasi semakin terbuka, pemain merasa semakin tidak punya keseempatan untuk ikut mengelaborasi tema-tema ‘perempuan. Akses tersebut, hanya memberi manfaat terhadap Tya secara personal.
_________________________
Tanggapan (Termin 2)

RIMA (Perempuan, 23 Thn, Aktris, Ex. Pepetea):
Saya ingin bercerita tentang awal berdirinya “Perempuan Pekerja Teater”. Awalnya, beberapa orang yang dipimpin oleh Fitta Yuliza mau bikin Hapening Art untuk memperingati hari ibu. Setelah sering-sering ngumpul dan diskusi tentang “Ibu”. Kemudian Tya masuk dalam kelompok dan mendorong kelompok ini untuk jadi kelompok, yang akhirnya namanya Pepete tersebut. Dari sana, ada keinginan untuk membuat sebuah organisasi yang bisa jadi wadah mengekpresikan ide-ide kita, terutama teater.
Pertunjukan pertama, yaitu “Dekonstruksi Perawan” itu lahir dari workshop yang diberikan Tya. Awalnya kami tidak tau pasti apa yang dimaui Tya sebagai sutradara, misalnya, apa konsepnya. Kemudian, Tya disuntikkan soal-soal perempuan, yang salah satunya adalah soal KDRT. Lalu, beberapa orang merasa bahwa idiom-idiom pertunjukan tradisional “Minangkabau”, tidak cocok untuk bicara soal-soal perempuan.
Penolakan dari anggota kelompok mulai ada, sebab merasa bahwa hal yang demikian itu tidak ada dalam budaya kita. Terutama, karena sebagian merasa menjadi robot yang melaksanakan pikiran Tya. Karena itu, beberapa orang mulai keluar dari PPT, karena dianggap tidak memiliki tubuh yang cocok untuk proses tersebut.
Lalu, kalau boleh berpendapat, saya kira menarik keberanian Tya untuk menghadirkan laki-laki pada pertunjukan “Ketika Sel dan Tulang Bekerja”. Tapi, laki-laki di sana dibuat seperti perempuan. Sesuatu yang menurut saya adalah usaha Tya untuk membuat laki-laki, merasakan menjadi perempuan. Ini adalah bentuk emosional dan egoisme dari Tya, yang saya kira kurang bijak untuk ditawarkan kepada orang banyak.
_________________________
Ulasan 2

SAHRUL:
Mengenai isu perempuan, saya pernah berdiskusi dengan Tya perihal ini. Misalnya, saya pernah menanyakan tentang wilayah dekonstruksi yang hendak dilakukan Tya. Saya mengusulkan untuk tidak menggunakan kata itu, sebab menjadi susah di tafsirkan. Apakah pengertian “perawan” dalam judul itu dimaksudkan didekonstruksi dalam pengertian linguistik. Lalu apa relevansinya dengan pertunjukan teater.
Terlebih, jika hendak bicara wilayah budaya Minangkabau. Dalam hemat saya, mungkin matrilineal merupakan salah satu hal yang dapat dijadikan sebagai contoh dari penerapan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Bahkan mungkin, di Minangkabau, orang laki-laki yang harus berjuang bagi hak-haknya. Hanya saja, harus diingat bahwa tetap terdapat perimbangan dalam sistem matrilineal Minangkabau. Kaum perempuan bertindak sebagai pembuat kebijakan (legislatif) dan laki-laki tetap berperan sebagai pengambil keputusan (eksekutif).
Kembali pada Tya, sebenarnya, menurut saya, padatnya jadwal merupakan soal paling dasar pada kasus penciptaannya. Di mana, proses penciptaan mengalami keterdesakan waktu, yang terasa sedikit jadi soal dan membuat proses berlansung secara lebih cepat dan cenderung tidak maksimal. Pengaruhnya, tentu saja pada capaian-capaian estetika. Ini adalah resiko dari batasan waktu yang digariskan funding. Terkadang pertunjukan yang berkaitan sebenarnya belum layak pentas, tapi karena deadlinenya sudah datang, ia dipaksakan tampil.
Jika dilihat dari segi isu, saya pikir, tidak ada masalah bila hendak bicara ‘perempuan’ dalam konteks Minangkabau. Asalkan berimbang dan memuat nilai-nilai yang universal. Hanya saja, mungkin jika kita kembali pada desakan waktu, saya kira yang sedikit mengecewakan adalah persoalan proses yang cenderung menjadi tidak makasimal. Jadi yang penting, adalah terjaganya proses. Di lain hal, mungkin hal yang biasa, jika sebuah organisasi menjadi pecah karena persoalan kesejahteraan yang tidak transparan.
_________________________
Tanggapan (Termin 3)

FADLI:
Saya Cuma menyayangkan, bahwa selama ini, dalam pandangan saya, pertunjukan-pertunjukan Tya, seolah-olah bicara bahwa perempuan lah yang paling menderita, perempuan lah yang paling dirugikan. Tapi dia berangkat dari data yang mana? Ini persoalannya. Apalagi di Sumatera Barat, misalnya, di mana terkadang orang Sumando (laki-laki) terkadang juga malah mengalami ketidak adilan. Misalnya ketika mereka tidak bekerja, mereka terbuang dari keluarga istrinya. Ini juga masalah gender. Dan harus menjadi bahan kajian juga.

WENDY HS (Laki-laki, 30 Thn, Aktor, Sutradara, LPPT Tambologi) :
Menurut saya, kita tidak usah bicara terlalu jauh soal gender apalagi ‘feminisme’. Bagi saya, justu persoalannya adalah: apa yang menarik dari proses Tya. Apa yang membedakakannya dengan metode penciptaan yang lain, yang membuat dia lebih menarik sebagai objek penelitian. Apa yang bisa dikritik sehubungan oleh proses penelitian ini, terhadap proses penciptaan Tya. Apa yang membedakannya dengan perempuan-perempuan lain yang juga melakukan penciptaan di tempat lain, juga dengan isu perempuan.
_________________________
Ulasan 3

DEDE:
Mungkin, pada dasarnya metode yang dilakukan Tya dalam proses penciptaannya adalah hal yang tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh banyak perempuan pencipta lain. Kendati demikian, bagi saya ini adalah hal yang tetap saja menarik, terutama di awal proses penciptaannya. Di awal proses, ada kesadaran di dalam kelompok, bahwa mereka akan saling berbagi pengetahuan. Sejauh amatan saya, Tya melakukan fragmentasi terhadap improvisasi yang dilakukan para pemainnya. Tya menyodorkan teks, yang kemudian disikapi dan sekaligus ditawar dengan bebas oleh para pemain. Hal ini menarik bagi saya, sebab ini berarti Tya meninggalkan tekhnik penyutradaraan yang konvensional, dan memasuki satu metode yang lebih demokratik. Ini hal, yang saya pandang sebagai hal yang ‘baru’, dalam konteks penyutradaraan Tya.
Namun, hal tersebut hanya terjadi di awal proses. Selanjutnya, dia langsung memberi satu outline penyutradaraan. Para pemain, kembali menjadi objek yang menjalankan order Tya belaka. Dari wawancara saya, para pemain mengaku mereka tidak lagi memahami teks-teks yang mereka mainkan pada proses “Ketika Sel dan Tulang Bekerja”. Sesuatu yang mereka pandang berbeda dengan proses awal, di mana mereka merasa ikut memiliki teks pertunjukan.
_________________________
Tanggapan (Termin 4)

DIDIN:
Mungkin saya bisa memberi informasi yang berharga perihal hal tersebut. Di awal proses, saya ikut memberi impuls bagi pertunjukan. Dia juga membuka diri terhadap berbagai elemen pertunjukan yang lain, seperti tari dan seni rupa. Hanya saja, di akhir-akhir proses, dia mulai menolak setiap ide yang disodorkan kepadanya. Tya akhirnya memikirkan sendiri semua elemen pertunjukannya. Hal ini kemudian mungkin bisa menjadi pembelajaran, bahwa sebaiknya kita memepercayai orang lain untuk memikirkan dan mengerjakan hal-hal yang tidak kita kuasai.
_________________________
Ulasan 4

DEDE:
Barangkali, hal ini yang kemudian saya maksudkan sebagai lebih “kering”. Sebab di awal proses kepemilikan terhadap teks dimiliki bersama, yang saya sebut sebagai lebih “kaya”. Kaya, karna merupakan hasil pikiran banyak orang. Sementara di akhir-akhir prosesnya, Tya memikirkannya sendiri, yang mungkin adalah konsekuensi dari desakan waktu proses.
_________________________
Tanggapan (Termin 5)

TINTUN (Perempuan, 28 Thn, Sutradara, Komunitas Seni Hitam-Putih):
Dari hasil riset ini, saya melihat dua hal yang perlu dicatat. Yaitunya konsep produksi yang berimbas pada konsep penyutradaraan. Saya mengamati bahwa proses “Dekonstruksi Perawan” (Proses I) belum terdapat muatan lokal yang diletakkan dalam pertunjukan. Lebih terasa sebagai endapan pribadi. Pada “Bumi Perempuan” malah lebih memperlihatkan itu, tapi dialognya tidak lagi terlalu banyak bercerita tentang itu. Saya tidak tahu, apakah hal tersebut terjadi karena Tya menyadari bahwa ia tengah berhadapan dengan penonton dan pekerja teater dunia, sehingga ia merasa bahwa muatan lokal adalah hal yang bisa dikemas. Sementara pada pementasan “Dekonstruksi Perawan” (Proses 2) yang dipentaskan di Padang, pertunjukan terasa berjarak dengan penonton. Hal itu terjadi, karena penonton Padang merasa bahwa, Tya menggunakan teks-teks pertunjukan tradisional Minangkabau, sementara konsep budaya Minangkabau tidak bicara tentang ketertindasan perempuan. Sebaliknya, konsep budaya ini, justru melaetakkan perem,puan dalam posisi yang terhormat.
Hal yang ingin saya tanyakan, sejauh pengamatan penelitian ini, apakah Tya hanya menempelkan saja teks-teks pertunjukan Minangkabau belaka, tanpa memahami konsep budaya Minangkabau itu sendiri. Ataukah Tya berangkat dari sebuah pengamatan, dan mendapatkan kasus-kasus tertentu dalam konteks budaya Minangkabau. Sebab barangkali, dalam pengertian yang berbeda, perempuan Minangkabau juga mengalami ketertindasan. Hal ini lah yang barangkali coba dia artikulasikan Tya dan para pemain dalam pertunjukannya. Oleh sebab itu, dia juga menggunakan teks-teks pertunjukan Minangkabau, yang selain dia sadari sebagai sebuah Genius Lokal yang bernilai, juga karena dia memang mau bicara tentang perempuan Minangkabau. Jadi mungkin, di sinilah persoalannya, yaitu ketika ide tersebut ditransformasikan dalam estetika pertunjukan yang kurang tepat, yang barangkali di tunjukan oleh kontroversi yang ditimbulkan tersebut.
_________________________
Ulasan 5

DEDE:
Di awal proses, memang ada usaha Tya untuk mengakrabi dua genre pertunjukan tradisional Minangkabau, yaitu Randai dan Tupai Janjang. Namun hal tersebut tidak ia lakukan sendiri. Dia sangat dibantu oleh para pemain, sebab para pemain lebih akrab dengan kedua genre pertunjukan. Barangkali saya juga sepakat bahwa Tya menyadari bahwa dengan menggunakan genre pertunjukan tradisional, pertunjukannnya akan terlihat lebih eksotik dan punya nilai jual.
Setelah mendapat ‘kecaman’ di Padang, Tya sebenarnya mengalami refleksi yang berpengaruh pada pertunjukan. Pada pertunjukan ketiga, “Ketika Sel dan Tulang Bekerja”, dua genre pertunjukan tradisional Minangkabau tersebut bahkan tidak digunakan sama sekali. Tya tidak lagi berusaha mencangkokkannya pada pertunjukan. Bukan hanya itu, bahkan isu perempuannya menjadi lebih domestik, yaitu perempuan dalam konteks rumah tangga. Barangkali Tya mulai menyadari dan menghindari untuk bicara tentang hal yang lebih dekat, dan tidak memaksakan diri untuk bicara soal-soal yang global.
Celakanya, dalam amatan saya, pilihan ini justru membuat para pemain pada pertunjukan ketiga ini merasa semakin berjarak dengan teks pertunjukan. Sejauh amatan saya, hal ini teerjadi karena konteks perempuan di rumah tangga tersebut, menjadi semakin personal Tya, dan para pemain tidak memiliki empiris yang cukup memadai tentang hal tersebut. Jadi di sisi lain, refleksi tersebut malah membuat proses semakin personal Tya, dan para pemain menjadi merasa tidak terlibat dengan persoalan yang diartikulasikan oleh pertunjukan.
Hal lain, yang saya juga penting dibicarakan, adalah soal manajemen kelompok, yang membuat proses menjadi sedikit tidak kondusif. Hanya saja memang saya belum sempat membahasakan hal tersebut dalam laporan penelitian saya. Mungkin pada kesempatan yang lain.
_________________________
Tanggapan (Termin 6)

PANDU (Laki-Laki, 29 Thn, Sutradara, Balai Drama):
Saya cuma mau memberi saran terhadap Dede, sehubungan dengan penelitian ini. Saya rasa, menarik untuk bicara bagaimana isu menjadi motif terhadap satu proses penciptaan, yang dapat dianalisis melalui suatu rekaman proses. Dalam hal ini, Perempuan sebagai isu, bisa menjadi Isu global yang terjadi pada dua nomor pertama pada pertunjukan Tya. Setelah mendapatkan masukan lewat sesi diskusi, isu itu kemudian ditarik menjadi isu perempuan yang lebih domestik, yang terlihat pada pertunjukan yang ketiga.
Usul saya, mungkin lebih menarik, jika penelitian ini lebih banyak bicara tentang bagaimana isu tersebut kemudian mempengaruhi motif dan proses pemeranan dan penyutradaraannya. Misalnya, mengukur, sejauh mana sebuah isu tersebut memberi efek terhadap tokoh-tokoh yang lahir dalam pertunjukan. Jadi mungkin itu lebih objektif, kita lebih jauh membahas karyanya, dan mengurangi pembicaraan yang terlalu jauh tentang Tyanya.
_________________________

Catatan:
• Diskusi ini menindak lanjuti hasil penelitian yang di danai oleh Yayasan GARASI
• Durasi Diskusi: 110 Menit (15.00 s.d 16.50 WIB)
• Jumlah Peserta: 42 Orang; 23 orang laki-laki, 19 orang perempuan