Drama Penerimaan CPNS; Nasib Manusia, Mitos dan Ritual Muthakir



Oleh: Dede Pramayoza

Membaca Formasi; Sebuah Eksposisi
Ada suatu fenomena menarik yang hampir bisa kita saksikan setiap tahun akhir-akhir ini, yaitunya ketika pengumuman formasi penerimaan pegawai negeri di publikasikan di media massa. Ribuan orang (rata-rata sarjana) secara serempak di berbagai tempat berburu media cetak (biasanya koran harian) untuk memperoleh informasi tersebut. Bahkan, jika mereka tidak mendapatkannya karena kehabisan persediaan, mereka akan rela mengeluarkan beberapa ribu rupiah untuk membeli fotokopiannya di copycentre-¬ copycentre¬ (yang secara sporadis juga mulai melirik bundel fotokopian tersebut sebagai pemasukan ekstra). Yang jelas, mereka (ribuan orang itu) merasa harus mendapatkan informasi tersebut, dengan cara apa saja.
Mereka yang telah mendapatkan koran yang memuat pengumuman tersebut, atau memperoleh fotokopiannya (selanjutnya disebut ‘pembaca’), biasanya membacanya langsung tanpa menunggu sampai di rumah. Sebagian besar dari mereka, bahkan menjadi tidak lagi menyadari di mana ia berada. Seringkali dapat disaksikan, para ‘pembaca’ ini berjalan tanpa memperhatikan lingkungannya, atau bahkan lupa bahwa ia sedang berada di tengah keramaian, atau sedang duduk di boncengan kendaraan bermotor. Untuk beberapa saat, mereka teralinasi dari lingkungan fisiknya dan seolah-olah terbang meninggalkan jasad kasarnya masing-masing. Pikiran mereka, memasuki suatu spektrum harapan, yaitunya harapan memperoleh pekerjaan sebagai PNS. Sebuah harapan, yang di negeri ini terlanjur dianggap koheren dengan harapan kehidupan.
Menggerakkan jari telunjuk mengikuti urutan daftar formasi (dari kanan ke kiri, lalu ke bawah, lalu dari kanan ke kiri lagi, dst), dengan bola mata fokus mengikuti jari pada tabel-tabel yang menyajikan kesempatan pekerjaan tersebut, menjadi tingkah-laku yang khusus pada hari itu. Selanjutnya, seulas senyum sambil melipat baik-baik lembar koran (atau fotokopian), atau menarik nafas panjang dengan wajah murung, sambil melipat sembarangan (atau juga membuat menjadi gulungan) segera memberi informasi tentang nasib para pembaca ini. ‘Laku’ yang pertama, rata-rata adalah bentuk ungkapan kegembiraan, yang memantulkan harapan, sedang yang ‘laku’ kedua adalah ungkapan kekecewaan, yang memantulkan kebuntuan.
Bisa ditebak, bahwa ‘laku’ yang di tunjukkan oleh ‘pembaca’ seperti di atas, menandakan bahwa si ‘pembaca’ pertama menemukan apa yang di carinya, sedang ‘pembaca’ yang kedua tidak. Jika ditanya tentang ‘apa’ yang dicari, agaknya semua orang bisa memberikan jawaban. Tentu saja adalah peluang pekerjaan sebagai PNS, di mana formasi yang dicari (yang diumumkan dalam koran tersebut) cocok dengan bidang ilmu atau keahlian para ‘pembaca’ ini. Adapun keahlian dan kemampuan tersebut sudah tentu pula merujuk pada selembar ijazah yang mereka miliki.
Namun, mungkin sedikit orang saja yang memperhatikan bahwa aktifitas para ‘pembaca’ tersebut, bukan sekedar ‘laku’ untuk menemukan peluang Pekerjaan. Pada dasarnya, ‘laku’ tersebut adalah bentuk ritus, di mana para ‘pembaca’ tersebut sedang berhubungan dengan yang transedental, yang ‘ilahiah’. Dengan menatap nanar jejeran formasi pekerjaan pada lembar koran tersebut, para ‘pembaca’ itu tengah menawar nasibnya. Koran (yang memuat pengumuman pekerjaan) tersebut, sesaat menjadi penghubung antara manusia yang ‘membaca’ itu dengan ‘sesuatu’ yang diimaninya sebagai “Yang menguasai” kehidupannya. Tidak aneh, jika mereka yang seumur-umur tidak menjalankan ‘syariah’ agamanya pun, akan memulai membaca dengan menyebut nama Tuhan. Sebuah usaha invokatif, yaitu memohon pertolongan kepada kekuatan di luar dirinya.
Karena itu, aktifitas-aktifitas mereka yang membaca pengumuman ini juga dramatik. Ia memantulkan berbagai emosi yang memperlihatkan sisi ‘manusia’ terdalam dari diri masing-masing ‘pembaca’ tersebut. Kegembiraan, harapan, kekecewaan, kebuntuan, kesedihan dan emosi lainnya, tanpa sadar menjadi suatu motivasi performatif, yang menjadi impuls bagi suatu ‘perilaku’ tubuh yang khas. Betapa tidak, sebab selama ‘membaca’ pengumuman itu, para pembaca terlibat dalam sebuah ‘ketegangan’ yang semakin meningkat seiring dengan semakin sedikitnya daftar yang akan di baca, sementara apa yang dicari belum juga ditemukan. Di samping itu, mereka yang ‘membaca’ tersebut juga menemukan ‘kejutan’ ketika menemukan apa yang mereka cari, dan sebaliknya mengalami khatarsis (pemahaman akan realitas) ketika tidak menemukannya.
‘Laku’ tubuh dari para ‘pembaca’ ini, tidak saja mengungkapkan perasaan tertentu, melainkan juga menjadi aspek dari sebuah ritus muthakhir. Sebagai sebuah ritus, tingkah laku dari para ‘pembaca’ tersebut sebenarnya, momentum dan repetitif sifatnya. Momentum, sebab tidak setiap hari para ‘pembaca’ tersebut khusuk dengan aktifitasnya ‘membaca’ tersebut. Bahkan, bukan tidak mungkin, para ‘pembaca’ ini sehari-harinya tidak membeli dan membaca koran. Kekhusukan semacam yang digambarkan di atas, hanya mereka lakukan pada momen khusus, yaitunya momen ketika formasi penerimaan CPNS diumumkan. Sedangkan repetitif, sebab kegiatan yang sama sebenarnya dilakukan berulang setiap tahunnya. Bahkan, kegiatan itu diulangi langsung hari itu juga di tempat yang sama (tidak harus menunggu waktu setahun atau menunggu pengumuman musim selanjutnya). Terutama, bagi mereka yang tidak menemukan apa yang mereka cari, akan mengulanginya sekali lagi dengan lebih khusuk, dan berharap bahwa ada yang terlewatkan. Harapannya, pada pembacaan yang kedua mereka akan menemukan apa yang mereka cari.
Demikianlah, ‘membaca’ formasi penerimaan CPNS menjadi ritual baru dalam kehidupan muthakhir kita. Sebuah aktifitas, yang bukan sekedar ‘membaca’ dalam pengertian harfiah, yaitu menyerap arti kata dari sebuah pengumuman, tapi lebih dari itu, adalah juga ‘membaca’ nasib, membaca kualitas hubungan manusia (mikro-kosmos) dengan ‘tangan tak-terlihat’ (makro-kosmos) yang menguasai kehidupannya. Sebuah aktifitas yang menjadi kekhusukan tersendiri bagi para ‘pembaca’-nya setiap tahun, yang sekaligus merefleksikan sebuah ironi tentang sedikitnya peluang kerja di negeri ini.

Mendaftarkan diri; dan Konflik Dimulai
Beruntunglah para ‘pembaca’ yang telah menemukan apa yang mereka cari dalam pengumuman tersebut. Mereka bisa memasuki satu tahapan selanjutnya, yaitu menyiapkan bahan-bahan pendaftaran, seperti yang biasanya langsung tertera pada pengumuman itu. Sementara ‘pembaca’ yang tidak menemukan apa yang ia cari, harus berhadapan dengan ‘tembok’ kenyataan, bahwa ia sudah kalah bahkan sebelum pertandingan di mulai. Sebuah keadaan dramatik, di mana manusia menemukan paradoks kehidupan, menemukan kenyataan yang bertolak belakang dengan proyeksi positifis yang ia bangun sendiri dalam kepalanya. Sudah dapat dipastikan, bahwa para ‘pembaca’ (rata-rata sarjana) ini, semasa kuliah telah membayangkan bahwa ia akan (dengan mudah) memperoleh pekerjaan begitu ia menyelesaikan studinya di perguruan tinggi.
Proyeksi positifis itu gugur sebagai premis, ketika ritus ‘membaca’ pengumuman itu tidak mengantarkan sebagian ‘pembaca’ tersebut pada kesejajaran antara harapan dan kenyataan, yaitu ketika ia tak menemukan apa yang ia cari. Jadi sejatinya, seleksi sudah terjadi sejak awal, yaitu ketika formasi penerimaan CPNS diumumkan. Mereka yang tidak menemukan formasi yang cocok dengan bidang ilmu atau keahlian yang mereka kuasai (seperti yang dilegitimasi ijazahnya) pada pengumuman dalam koran tersebut segera tersingkir dari pentas pada babak lanjutan, yaitu “Pendaftaran seleksi CPNS”. Malangnya, para ‘pembaca’ yang tersingkir ini, bahkan tidak pernah memiliki akses untuk turut menentukan formasi tersebut. Mereka sekali lagi, harus menggantungkan nasibnya, pada ‘tangan tak-terlihat’, yang menggerakkan hati dan pikiran para pembuat kebijakan, yang menentukan formasi penerimaan itu. Tidak ada pilihan lain, selain membangun harapan baru, yang sekaligus sebuah persiapan untuk melaksanakan ritus ‘membaca’ pada musim pengumuman selanjutnya.
Sementara itu, para ‘pembaca’ yang beruntung (selanjutnya disebut ‘pendaftar’) melangkah ke babak “Pendaftaran seleksi CPNS”, yang pada dasarnya adalah suatu ritus inisiasi tersendiri. Pada bagian ini, para ‘pendaftar’ dengan sadar memasuki sebuah persaingan, sebuah pertarungan nasib. Betapa tidak, lowongan pekerjaan yang tersedia, sudah barang tentu tidak sebanding dengan jumlah ‘pendaftar’ yang menginginkan pekerjaan tersebut. Dengan begitu, ditunjukkan sebagai sebuah kesadaran atau berusaha untuk terlihat seolah-olah tidak disadari, para ‘pendaftar’ sejatinya tengah mempersiapkan dirinya untuk merebut kesempatan pekerjaan tersebut. Dengan kata lain, ia tidak punya pilihan, selain menggugurkan kesempatan orang lain, untuk menjamin kesempatan kehidupannya. Sebuah konflik kemanusiaan yang laten, sesungguhnya sedang mulai didramatisasikan dalam prosesi “pendaftaran” tersebut, yaitu persaingan untuk memperoleh kesempatan hidup.
Ritus yang baru pun kemudian dialami selama pra-proses pendaftaran, di mana para ‘pendaftar’ berlomba dengan waktu untuk melengkapi syarat-syarat pendaftarannya. Para ‘pendaftar’, seperti tengah menyiapkan syarat-syarat ritualnya, untuk selanjutnya mengantarkannya atau mengirimkannya sebagai sebuah ‘persembahan’ kepada medan nasib. Sesaat, berkas-berkas persyaratan pendaftaran tersebut, berubah menjadi simbol dari perjuangan manusia (para ‘pendaftar’) bagi kehidupannya. Tentu saja, dengan diiringi permintaan kepada Tuhan (invokasi ke-2), agar mereka lolos pada seleksi ‘administatif ini.
Jika hasil seleksi administrasi diumumkan, drama di lanjutkan bersama meningkatnya ketegangan dan menajamnya ‘konflik’, yaitu konflik untuk meraih kesempatan pekerjaan. Beberapa ‘pendaftar’ akan gugur dalam seleksi ini (oleh beberapa sebab yang mereka juga tidak akan pernah tahu dengan pasti), dan menjadi ‘penunggu’ bagi musim selanjutnya. Sementara mereka yang lolos, tentu saja akan melanjutkan dengan fase yang baru, yaitunya ritus ujian tertulis. Para ‘pendaftar’ kini menjadi ‘peserta’ dari sebuah kompetisi terbuka. Jika sebelumnya, mereka tidak mengetahui dengan pasti siapa rivalnya, kini mereka akan duduk bersama dalam sebuah ruangan, untuk berpacu menjawab dan menyelesaikan soal-soal tes dengan benar.
Para ‘peserta’ inilah, yang akan berada bersama dalam sebuah ‘altar’, yaitunya sebuah ruang tes yang telah ditetapkan panitia. Fase ini, adalah parade para ‘pencari kerja’, yang memantulkan wajah asli negeri ini. Di sini, ritus dilanjutkan dengan menjawab soal demi soal (berjumlah kurang lebih 100 buah), di mana para ‘peserta’ membuktikan kelayakannya masing-masing untuk mengisi formasi pekerjaan yang dimaksud. Di ruangan ini, para ‘peserta’ berhadapan langsung dengan medan nasibnya. Mereka menawarnya dengan ketekunan membaca soal demi soal, lalu dengan tekun membuat bulatan-bulatan hitam pada lembar jawaban, seperti merangkai sebuah jalan nasib. Atau bahkan, pada saat mengerjakan soal-soal tes tersebut, para ‘peserta’ tengah ‘berdialog’ langsung dengan ‘Yang Ilahiah’. Sebuah usaha invokatif (ke-3) dilakukan lagi, yakni berdoa memohon pertolongan agar ia bisa menjawab soal-soal tersebut dengan benar. Malam hari sebelum pelaksanaan tes, sebagian dari para ‘peserta’ ini, menjalankan ritualnya masing-masing. Membaca soal-soal (dari buku-buku try-out tes CPNS, atau dari kumpulan soal tahun sebelumnya), lalu melanjutkannya dengan sebuah doa panjang (shalat malam bagi mereka yang muslim, misalnya).
Lalu, akan datang sebuah masa interfal, saat para ‘peserta’ menunggu nasibnya. Yaitu, masa ketika lembar jawaban tes dikirim ke ‘pusat’, untuk diperiksa dan dinilai oleh ‘orang-orang’ yang menjadi perpanjangan tangan dari ‘Tangan tak Terlihat’. ‘Orang-orang’ inilah yang akan menentukan nasib para ‘peserta’. Selama interfal ini, doa-doa bertarung dan keberuntungan nasib diuji. Hingga akhirnya, hasil tes tertulis tersebut diumumkan, beberapa orang terpilih untuk melanjutkan drama ini, dan sisanya, akan tersingkir pula dari pentas babak lanjutan, yaitu babak wawancara.
Pada fase wawancara, para ‘peserta’ yang lolos dari tes tertulis (‘terwawancara’), akan menghadapi para ‘pewawancara’, yang akan memutuskan apakah mereka layak untuk mengisi jabatan pekerjaan tersebut atau tidak. Pada wawancara tertutup inilah, ‘terwawancara’ menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, yang sekaligus adalah ritus terakhir yang harus dialami, dalam drama penerimaan CPNS ini. Hasilnya peristiwa ini nanti, tentu saja menjadi penanda bagi kualitas hubungan para ‘terwawancara’ ini dengan sang ‘Tangan Tak Terlihat’. Melalui suatu interfal lagi (di mana doa-doa kembali bertarung pada invokasi ke-4), dari para ‘terwawancara’ (biasanya 3 hingga 5 orang) akan tersisa satu orang ‘calon’ PNS, yang akan menjadi pemenang (atau mungkin turut dikalahkan) dalam kompetisi dramatik ini. Demikianlah, drama panjang penerimaan CPNS yang terdiri dari ritus-ritus muthakhir itu diakhiri.

Perihal Nasib dan Mitos ‘Amplop’; Suatu Klimaks
Setidaknya, ada tiga mitos yang bermain dalam drama penerimaan CPNS, yang menjadi sumbu ‘pertegangan’ dalam peristiwa kemanusiaan tersebut. Mitos-mitos tersebut adalah: (1) mitos PNS, (2) mitos Tes CPNS, dan (3) mitos ‘Amplop’. Matrik dari ketiga mitos inilah yang menjadikan peristiwa tersebut dramatik dan sekaligus menjadikannya sebagai aksi ritual dalam pengertian yang ‘baru’. Efek psikologis yang ditimbulkan oleh mitos-mitos tersebut, membuat peristiwa ini berlangsung menegangkan dan mendorong para ‘peserta’ yang terlibat di dalamnya untuk memandangnya sebagai bentuk peristiwa transendental. Pemaknaan terhadap hasil akhir peristiwa ini, dipandang sebagai sesuatu yang berkenaan dengan hal-hal ilahiah atau peristiwa yang memiliki unsur takdir yang melampaui batas-batas ruang dan waktu, di samping sebagai peristiwa yang berhubungan dengan campur tangan manusia (horizontal).
Mitos PNS yang di maksud, adalah suatu anggapan kasar (warisan ideologi positifistik ORBA) yang berkembang di masyarakat dan umumnya masih dipercayai. Yaitunya, anggapan bahwa hidup sebagai PNS (di republik ini) merupakan salah satu (dari sedikit) pekerjaan paling terhormat. Oleh sebab itu, meraih kesempatan untuk menjadi PNS, umumnya masih dianggap sebagai cita-cita mulia. Anggapan tersebut kemudian (masih) menjadi motivasi sebagian besar orang tua dalam menyekolahkan anaknya, dan tentu saja juga menjadi orientasi sebagian besar peserta pendidikan di negeri ini.
Tentu saja, adalah tidak salah dengan keinginan untuk menjadi PNS, tetapi memandang pekerjaan ini lebih baik dan terhormat dibanding pekerjaan lainnya (bertani, atau menjadi pedagang) jelas adalah sebuah kekeliruan. Jika dilihat dari faktanya, kualitas kehidupan PNS tidaklah lebih baik dari kehidupan manusia dengan pekerjaan lainnya. Kehidupan PNS saat ini di negeri ini, harus dipandang sebagai garis ‘biasa’ (standar) saja dalam peri kehidupan muthakir bangsa, dan bukan sesuatu yang istimewa. Dengan demikian, anggapan kasar tentang ‘kehidupan PNS’ itu jelas telah berubah menjadi sebuah mitos, sebab adalah cerita yang tanpa fakta lagi (di masa lalu mungkin anggapan itu memiliki fakta). Hebatnya, mitos tersebut masih saja merubah (secara kontra produktif) orientasi sebuah pembelajaran, yaitunya penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, mitos tersebut telah merubah pula motivasi orang tua dalam memperjuangkan pendidikan bagi anaknya, yaitunya untuk memperbaiki kualitas kehidupan, yang masih saja diidentifikasikan sebagai ‘menjadi PNS’.
Kedua, mitos Tes CPNS, yaitunya anggapan yang terlanjur dipercaya, bahwa tes yang dilalui untuk lolos sebagai CPNS, adalah tes yang demikian ‘berat’ dan ketat. Prosedur pendaftaran, persyaratan yang harus dipenuhi dengan jalur birokrasi yang tidak sederhana, serta mekanisme pelaksaanaan tes, membangun ‘suasana’ bagi berkembangnya mitos ini. Belum lagi, jika ditambah dengan ‘cerita-cerita’ tentang beberapa orang yang telah berulang kali gagal tes, yang semakin membuat para ‘peserta’ tes ini memiliki beban mental (mistis) tersendiri ketika mengikutinya.
Sebagai implikasinya, pemaknaan proses pelaksanaan tes CPNS ini bagi para ‘peserta’nya sendiri mengalami pergeseran. Tes yang seharusnya menjadi proses pembuktian kualifikasi diri terhadap ilmu pengetahuan, bergeser menjadi sekedar proses pembuktian ketelitian dan kecermatan mengisi lembar jawaban tes. Apalagi, tekhnis pemeriksaan lembar jawaban tersebut, yang melewati proses komputerisasi, semakin memistifikasikan hasil tes. Para ‘peserta’ tes cenderung pasif menerima hasilnya, tanpa melakukan kritik, seperti misalnya mengukur sendiri tingkat keberhasilannya menjawab soal-soal tes tersebut. Sebuah kegagalan, cenderung dihubungkan dengan kesalahan tekhnis mengisi lembar jawaban tersebut, dan dikembalikan ‘bulat-bulat’ pada konsep ‘nasib’.
Namun dibanding dua mitos di atas, yang paling berpengaruh dalam membangun pola ritus dan sekaligus menjadi klimaks dari rentang drama penerimaan CPNS, adalah mitos ‘Amplop’. Yaitunya, sebuah ‘rahasia umum’ yang bersumber dari anggapan kasar, bahwa semua proses penerimaan PNS melibatkan satu ‘persyaratan’ ritus berupa ‘amplop’. Adalah lumrah terjadi di berbagai tempat, bahwa jika seseorang lolos tes PNS, ia akan ditanyakan tentang “berapa”, meski tidak ada bukti bahwa ia telah memberikan “berapa” itu untuk memperoleh pekerjaan tersebut.
Mitos ‘Amplop’, yang merupakan ketiga yang berperan dalam drama penerimaan CPNS ini, bersumber dari beberapa kasus, tentang ‘amplop’ yang diberikan seseorang kepada ‘pembuat kebijakan’, demi memperoleh pekerjaan sebagai PNS. Kasus-kasus tersebut kemudian menimbulkan generalisasi bahwa semua proses penerimaan PNS melibatkan ‘amplop’ tersebut. Generalisasi ini, kemudian membayangi dan sekaligus memberi ketakutan tersendiri kepada para ‘terwawancara’ dalam drama penerimaan CPNS. Sebab diyakini, bahwa proses wawancara merupakan ‘medan’ tempat ‘amplop’ tersebut di negosiasikan.
Generalisasi ini kemudian, selain di transformasikan melalui tradisi ‘lisan’, juga turut ditentukan oleh reproduksi ‘khabar’ yang dilakukan media massa. Berangkat dari perannya sebagai ‘penyampai fakta’, media massa juga terkadang tergoda untuk menyampaikan ‘khabar burung’ tanpa bukti. Namun pembaca berita seringkali tidak lagi membedakan antara ‘berita’ dengan ‘kabar’. Keduanya terlanjur dianggap sebagai indikasi faktual, yang tentu saja memberi kesan psikologis tersendiri ketika membacanya, apalagi bagi yang kebetulan sedang atau akan menjadi ‘terwawancara’ dalam sebuah drama CPNS tertentu.
Apalagi, jika melihat bahwa indikasi keterlibatan ‘amplop’ dalam sebuah Drama CPNS (di setting tertentu), tidak pernah memperoleh klarifikasi yang berimbang. Pihak yang disinyalir melakukannya (misalnya sebuah lembaga), jarang bahkan tidak melakukan sama sekali usaha klarifikasi, atau bahkan (seharusnya) melakukan somasi (terhadap media massa yang ‘menuduhnya”). Sementara itu, lembaga ‘pemeriksa’ juga tidak pernah melakukan ‘pengusutan’ atas sinyalemen tersebut. Sehingga, kabar tentang ‘amplop’ tersebut semakin menguat sebagai sebuah mitos.
Padahal, mitos ‘amplop’ ini bermain pada tahapan terakhir dari drama penerimaan CPNS, di mana ‘nasib’ akhirnya di tentukan. Perjuangan dari manusia-manusia yang berperan dalam drama ini, mencapai puncak ketegangannya pada bagian ini. Ketegangan tersebut semakin puncak sebab para ‘terwawancara’ telah diliputi bayangan bahwa ‘nasib’ pada akhirnya akan ditentukan lewat pertarungan ‘amplop’. Bayangkan, bahwa ritus-ritus yang telah dijalani, yang diyakini sebagai sebuah dialog antara makhluk dan khalik perihal ‘nasib’, pada akhirnya akan dihentikan oleh negosiasi antar manusia.

Antiklimaks Sebuah Drama; Nasib Manusia sebagai Pengangguran Intelektual
Pelaksanaan pergelaran drama CPNS ini, berlansung selama lebih kurang satu bulan, sejak pengumuman formasi, hingga akhirnya pengumuman ‘pemenang’ yang akan mengisi formasi tersebut. Selama rentang waktu tersebut, ritus-ritus muthakhir manusia digelar dengan khidmad. Selama itu pula, manusia-manusia yang berperan di dalamnya terlibat dengan kesadaran dramatik. Kesadaran ber’laku’ dan ber’peran’ di pertunjukan, dengan menggunakan pakaian (kostum) yang sesuai dengan latar (seting) kejadian drama ini. Tiba-tiba saja, terdapat konsensus tentang pakaian yang ‘pantas’ untuk peristiwa ini (kemeja dan celana kain, misalnya). Tiba-tiba pula, manusia yang terlibat di dalamnya menyadari rias (make-up) wajah yang ‘sesuai’. Wajah-wajah simpatik dan tanpa dosa akan dengan mudah di dapatkan dalam parade ini.
Lebih dari itu semua, drama ini telah pula merubah makna ritus dalam kehidupan muthakir. Nasib manusia, yang tadinya dipercaya sepenuhnya dari “Tangan Tak Terlihat” itu, dipertaruhkan, diperjuangkan, dan pada saat yang sama diper’main’kan. Betapa tidak, ketika mitos ‘amplop’ dan mitos lainnya mempengaruhi jalannya drama, campur tangan manusia atas nasib manusia lain, sesungguhnya lebih banyak. Namun hasil akhir dari drama ini tetap saja dipandang dalam makna ritus, yaitu makna hubungan manusia dengan “Sang Transedental”.
Dan dapat diduga, apa hasil akhir dari drama ini. Ketika sang ‘pemenang’ diumumkan, yang tersisa adalah kebahagian (kecil) bagi segelintir orang yang memenangkannya, dan di sisi yang lain, satu antrian panjang ‘pengangguran intelektual’ yang menunggu pergelaran drama selanjutnya. Tentunya, hasil yang kedua ini, terasa lebih kentara. Kentara sebagai wajah negeri ini, juga kentara sebagai ‘nasib’ manusia yang masiff. ‘Nasib’ mayoritas manusia di Indonesia.

Dimuat di harian SINGGALANG, Minggu 4 Januari 2009