Teater Majemuk: Teater Hari Ini (Redefinisi Teater Indonesia)*


Oleh: Radhar Panca Dahana


Tentang Teater

Pada akhirnya semua kerja kultural manusia, kesenian khususnya, akan kembali pada kepentingannya yang paling asal, paling purba: manusia. Apapun hal yang berkaitan dengan kesenian –artistika, estetika, teknik, teori, filosofi dan sebagainya—semua didedikasikan pada untuk mempertahankan keberlangsungan spesies utama di bumi ini; untuk mempertahankan kemanusiaan.
Sebagian dari kita mungkin terjebak untuk mengutamakan filsafat dan teori yang mendasari sebuah karya seni. Atau mungkin pilihan bentuk (artistik dan estetik), sebagai risiko dari filsafat teori. Saya kira, jebakan itu akan membuat kita lupa, dan akhirnya teralienasi, pada motif dasar kesenian yang tersebut di paragraf awal.
Bentuk dan gaya sesungguhnya hanya implikasi dari rumusan filsafat atau teoritis yang berisi cara kita melihat diri sendiri, melihat realias mutakhir kita. Dan dengan itulah, kesenian tetap akan berada dan mendapatkan konteks pada masyarakat dan kekiniannya. Tetap merasa dekat serta terlibat dengan publik yang memilikinya. Pengingkaran terhadap hal itu hanya akan membuat sebuah karya seni, juga senimannya, menjadi angkuh, tak tersentuh; semacam arogansi klasik chairilian: “yang bukan penyair tidak ambil bagian”, yang secara silogistik juga bermakna “yang penyair di luar dunia non-syair”. Sebuah kesendirian, kesepian, yang congkak dan mubazir.
Terlebih sebuah produk artistik-kultural yang bernama teater. Yang pada dasarnya ada mimesi dari sebuah kenyataan. Betapa pun kenyataan itu ada di masa lampau bahkan di masa depan, tetap saja ia harus merefleksi, mengontemplasi dan merepresentasi kenyataan kini: hari ini. Waktu dimana teater dan publik pendukungnya berdomisili.
Maka teater-teater yang belakangan ini sibuk dengan dirinya sendiri, sibuk dengan pilihan-pilihan bentuk, dengan l’art pour l’art, art for the art sake, memberi peluang bagi publik –bahkan dirinya sendiri—untuk menjauh, tidak peduli. Inilah penjelasan bagi kecenderungan umum teater Indonesia masa kini yang muram, suram, bahkan gelap. Dimana simbol-simbol serta orkestrasi yang diciptakannya di atas panggung, membuat penonton kesulitan melakukan defamiliarisasi (identifikasi dan signikansi) atasnya. Bila kemudian penonton atau publik umum kemudian mengambil jarak dengan gedung pertunjukan, juga dengan pertunjukan teater itu sendiri, tentu saja lumrah. Teater kita tak lagi memiliki penonton, kecuali dirinya sendiri.

Kembali pada Hari Ini

Tak dapat lagi ditolak, teater dan kita –para pekerjanya—harus segera kembali pada kenyataan, pada manusia yang kita bela. Pada hari ini. Hari dimana manusia mengalami kegamangan yang kian kronis akibat perubahan-perubahan yang dengan setia memproduksi godaan, gangguan, bencana, krisis, dan artifisialisasi. Manusia yang telah sampai pada semacam neurotisme akut, dimana kepribadian lenyap, identitas menjadi komoditas, dan orientasi kabur entah kemana.
Persoalan utama dari persoalan itu adalah kian rumitnya kita merumuskan dengan tegas apa yang kita sebut dengan “hari ini”; mengonstitusi dengan adekuat kenyataan dan kemanusiaan mutakhir kita. Teori dan filsafat mungkin dapat memberikan tawaran alternatif tentang hal itu. Namun tentu saja tak dapat mengunyah mentah-mentah apa yang teori dan filsafat telah sediakan. Bukan karena umumnya ia datang dari wilayah Kontinental (Barat) yang nota bene memiliki latar, standar, kebutuhan, situasi dan persoalan yang berbeda. Tapi juga lantaran pemikiran-pemikiran belum tentu fit-in dengan kebutuhan ekspresif seni, khususnya seni teater.
Pandangan yang cukup bias, biasa menempatkan teori dan filsafat mutakhir pada kegiatan dan bentuk seni di genre apa pun. Sementara secara historik, karakteristik, juga mungkin modusnya berbeda. Kerja seni sastra atau rupa, misalnya, yang kebanyakan personal dan individualistik sangat berbeda –bahkan secara diametral—dengan seni teater yang bersifat kolektif. Walaupun seni rupa, misalnya, sudah merambah dan menembus batas-batas demarkasi antar genre artistik, tetap saja arsenal dan perlengkapan utama serta substansial keduanya sangatlah berbeda.
Medium seni rupa adalah semua perangkat yang menyajikan kerupaan dengan waktu yang diam (statis). Sementara seni teater, lewat prinsip hic et nunc misalnya, selalu bekerja dalam waktu yang berjalan. Seni rupa lebih bersifat pasif, sementara teater pasif. Seni rupa memainkan melulu benda sebagai arsenal utamanya, sementara teater menempatkan manusia sebagai subyek substansialnya. Dan lain-lain.
Maka di sini, saya coba menawarkan pemikiran tentang realitas mutakhir yang kita hadapi, serta konsekuensi-konsekuensi teatrikal yang mengiringinya.

Realitas yang Berlapis

Kemajuan teknologi mutakhir, yang ditandai dengan terutama oleh teknologi informasi dan komunikasi, mesti diakui telah memberi pengaruh yang tidak kecil dalam cara kita melihat dan mengonstitusi kenyataan kita hari ini, baik secara esensial maupun virtual. Media massa maupun perangkat informasi lainnya, mulai dari video hingga telepon selular, televisi hingga internet, menyajikan tiada henti kenyataan-kenyataan manusia dari berbagai sudut dunia. Sebuah keadaan yang memaksa kita untuk menerima konstitusi pertama kenyataan fana atas bumi: kita, 6,5 milyar manusia ini, ada dalam satu kesatuan dimensi, ada dalam satu state of faith, satu nasib bersama.
Tapi cobalah perhatikanlah semua kenyataan yang tersaji secara teknologis itu. Kita akan mendapatkan bagaimana sebuah peristiwa yang sama mendapatkan apresiasi dan tanggapan yang sangat berbeda. Tergantung pada latar sosial, politik, ekonomi, budaya atau karakter tiap bangsa/manusia. Apa yang terjadi di Irak, Palestina atau mungkin di Bukit Tinggi, bukanlah merupakan kenyataan yang dipahami sama oleh manusia/bangsa lain.
Hal kedua, apa pun dan bagaimana pun sebuah realitas ditampilkan dan direpresentasi oleh media massa dan perangkat teknologis lainnya, selalu menyimpan –bahkan menyembunyikan—beberapa fakta lainnya. Beberapa fakta yang kebanyakan justru menjadi esensi, motif dasar, bahkan makna otentik dari sebuah peristiwa/realitas. Apakah, misalnya, berita seperti “Daerah X berhasil Memilih Pemimpin Baru”, atau “Fundamental Ekonomi Kita Cukup Kuat dalam Menghadapi Krisis”, atau “Mahfud MD menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi Baru”, atau “Artis Z Selingkuh dengan Pejabat M”, atau “Korupsi di ABRI Terbongkar”, dan banyak lainnya, memang mewakili realitas (sesungguhnya) seperti tergambar dalam judul-judul itu?
Tentu saja tidak. Banyak kejadian, misteri, data tersembunyi, yang berhimpit di balik semua berita. Selain karena ideologi atau kepentingan politik pragmatis dari redaksinya, sebuah media memang takkan mampu memuat semua fakta dari sebuah peristiwa yang sesungguhnya sangat kompleks dalam data maupun hubungan-hubungan yang ada di dalamnya.
Berita tentang “pemimpin baru hasil pilkada” tentu saja tidaklah sesederhana kesimpulan yang ada di dalamnya. Berbagai persoalan menguntit di dalamnya, yang antara lain menciptakan ketidakpuasan, protes bahkan bentroka khalayak di sekitarnya. Kabar tentang “fundamental ekonomi yang kuat” tentu saja hanyalah sebuah retorika ideologis, ketika kenyataan berikutnya ternyata membuat bursa saham anjlog 47% (terbesar di dunia dan sepanjang sejarah), atau malah menciptakan krisis berat seperti pada masa Suharto di tahun 1997.
Realitas yang muncul di hadapan kita, bahkan yang langsung ada di layar depan pandangan kita, tidak lagi merupakan realitas yang sesungguhnya. Tapi realitas yang didesain, yang menyembunyikan fakta, bahkan artifisial. Terlebih ketika moda-moda komunikasi, khususnya yang virtual, turut menyajikan pula realitas idealistis bahkan obsesif, yang dalam banyak kasus berhasil menipu kesadaran kita –sebagaimana realitas internet, film Hollywood, atau sinetron lokal—maka realitas yang tersaji itu pun hanya sebuah layer yang rapuh dan tidak permanen.
Di balik itu ada realitas lain yang memberitahu kita data lain, bahkan rahasia kenyataan yang lebih dekat dengan kenyataan yang sebenarnya. Di balik itu? Ternyata kita masih akan menemukan realitas lain lagi, layer berikut. Begitulah terus, berturut-turut. Realitas hari ini adalah sebuah kue lapis, yang di baliknya menyimpan banyak lapisan realitas lainnya, yang sangat boleh jadi adalah realitas yang lebih “benar” ketimbang realitas sebelumnya.
Kita hidup, ternyata, tidak dalam satu realitas. Tinggal kemudian, kita memilih dan berpihak, pada realitas yang mana. Semakin tinggi maqam kemanusiaan kita, tentu semakin dalam kita menyelam dalam realitas, semakin banyak lapisan kenyataan kita kuliti (discover), semakin paham kita akan diri kita dan hari ini yang sebenarnya.
Bagaimana kemudian teater harus menyikapi dan bertindak dalam situasi itu?

Teater Majemuk

Tentu saja jelas pada kita, sebuah teater di hari ini, tidak lagi hanya bisa menyodorkan sebuah realitas yang bersifat tunggal. Bukan saja ia akan terjebak dalam romantisme tapi juga ia akan membawa publiknya pada kepalsuan atau kebohongan. Menggiring publik pada (realitas yang) ideologis atau diidealisir; realitas yang cenderung melakukan artifisialisasi faktor-faktor pendukung sebuah kehidupan.
Posisi seperti itu setali tiga uang dengan kongruen dengan apa yang disajikan oleh film Hollywood, sinetron atau media-media massa yang angkuh dan konservatif. Yang lebih akut lagi akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan apresiasi serta signifikansi antara satu golongan, satu bangsa, satu kepentingan dengan yang lainnya. Sebuah keadaan yang menciptakan potensi-potensi cukup matang untuk melahirkan konflik, bahkan tidak berkesudahan ketika kesenjangan itu bukannya menyempit malah kian melebar karena reproduksi kebohongan dan artifisialisasi di atas.
Sebagai risikonya, naskah-naskah yang menonjolkan monotoni dalam plot, karakter, peristiwa, perangkat panggung dan sebagainya, bukan lagi ketinggalan zaman –atau tidak “hari ini”—bahkan berpotensi melakukan penggelapan kenyataan. Apa yang selama ini kita agungkan, dari Shakespeare, Homerus hingga Jean Genet atau bahkan Rendra, tentunya tidak lagi sesuai dengan teater masa kini.
Begitupun dramaturgi dan mise en scene yang kini semua menjadi klasik, mulai dari Aristoteles hingga Artaud, dari Moliere hingga Stanislavsky, dari Beckett hingga Putu Wijaya, tidak lagi memadai untuk mengangkut kebutuhan-kebutuhan panggung dan teatrikalitas saat ini.
Dibutuhkan sebuah kondisi dan karakter baru teater yang bersifat majemuk. Dalam arti, misalnya naskah dan dramaturgi, yang tidak hanya menyodorkan satu realitas saja di atas panggung. Sebagaimana hidup “hari ini”, panggung mesti menyajikan realitas yang berlapis atau ganda, dimana signifikansinya diserahkan mutlak pada penonton untuk kebutuhan personal atau peer groupnya; yakni mereka yang sudah terbiasa berdiam dan mengambil makna di dalam kehidupan yang selalu hilir mudik antara kepalsuan, kebohongan, esensi maupun misteri.
Secara praktis, panggung tidak akan lagi berisi satu plot, satu ruang, satu waktu, atau satu relasi karakter tertentu, sebagaimana teater tradisional (modern maupun tradisi) saat ini. Tapi pecahan-pecahan, kemajemukan dalam semua elemen panggung itu, yang bisa saja berkaitan bisa pula tak berhubungan sama sekali. Hubungan itu akan terjadi dengan sendirinya dalam mekanisme dan metabolisme apresiatif pada diri penonton yang ada di dalam gedung.
Hal ini mau tak mau membutuhkan tidak hanya penghayatan yang dalam, tapi juga kecerdasan atau sekurang kemampuan intelektual yang lebih dari standar tradisional selama ini. Pekerja teater yang memiliki semangat rapuh dan manja dalam menggali kematangan rasional ini, sesungguhnya tengah menggali kuburan karirnya sendiri. Atau setidaknya menjadi zombi. Karena ia merasa hidup di hari ini, pada sebenarnya ia sudah mati dan berdiam di masa lalu.
Mampukah kita menjawab tantangan ini. Sejarah kreatif kita, bangsa kepulauan di nusantara ini, membuktikan sudah dua milenia, bagaimana ia bertahan karena begitu cerdas dan fleksibelnya ia beradaptasi dan mengadopsi realitas baru yang beruntun masuk bahkan hingga ke ruang tidurnya. Sebuah teater baru Indonesia? Mengapa harus sungkan untuk mengatakannya.

pamulang, oktober 12, 2008

* prasaran untuk seminar teater di padang panjang, sumbar