Yasman-Yasmin atawa Saman-Samin

TENTANG PEMENTASAN:
Yasman dan Yasman atawa Samin dan Samin merupakan judul pertunjukan yang berpentas di: Teater Tertutup, Taman Budaya Sumatera Barat, Padang, pada Kamis, 27 November 2008 ini. Penulis Teks Dramatik dan Sutradaranya: Pandu Birowo. Naskah ini dimainkan oleh Aktor: Pandu Birowo, Wendy HS dengan respon Musik: Dian. Berperan sebagai Lighting-man: Dedi Darmadi, Jufri HBR, dengan dibantu oleh
Kru Artistik : Andi Jagger, Ari Tulang, dan Susandro. Pementasan ini dipentaskan dengan durasi 40 menit.

TENTANG PROSES (Catatan Singkat):
Semula, Naskah "Yasman dan Yasman atawa Samin dan Samin" (YaS) ditulis Pandu Birowo karena terinspirasi beberapa kisah cinta (Novel "Saman" dan "Larung": Ayu Utami, di antaranya. Naskah ini, sejak awal barangkali serupa prosa atawa esai yang ditulis Pandu tentang cinta dalam pegertian yang Jamak. Semacam usahanya untuk menjawab sendiri banyak pertanyaan eksistensial yang timbul dalam kepalanya, tentang cinta, tentang hakikat mencintai.

Betapapun, cinta adalah tema klasik yang tetap saja hadir setiap waktu dengan Estetika yang berbeda-beda. Dan cinta, oleh dan kepada siapapun, senantiasa berpotensi secara dasariah untuk menggugah dan mengerkah hati manusia. Cinta adalah paradoks abadi, selalu adalah harapan dan kecemasan yang mengada bersama, obat dan sekaligus penyakit.

Barulah, ketika ia mendapatkan kesempatan untuk pentas dalam rangkaian kegiatan Kerjasama Jurusan Teater STSI Padangpanjang (STSI-PP) dan TBSB, ia terfikir untuk memainkan naskah ini sekaligus menyutradarainya.
Awalnya, ia mengajak Rahmat Fitrah, untuk bermain bersama. Namun karena suatu alasan, Rahmat tidak bisa melanjutkan Proses. Kemudian, Wendy HS menjadi tandem yang pas bagi Pandu, di sekitar 2 bulan menjelang pementasan (seingat saya, mereka bermain bersama terakhir tahun 1999). Wendy, sejatinya sudah terlibat sebagai pengamat sejak awal proses, ketika Pandu bermain bersama Rahmat. Sehingga, tidak terlalu susah untuk memahami 'konteks' dan 'masuk'ke dalam proses.

Sejak awal, Mereka berdua sudah sepakat untuk mengalirkan teks ini secara 'realistik' saja. terutama karena potensi naskahnya sendiri memang lebih dominan ke arah itu. Secara umum, tahapan prosesnya mengikuti kronologi konvensional. Dimulai dengan membaca, menghapalkan dan menyambungkan dalam peristiwa. Namun proses ini sebenarnya lebih merupakan 'ruang' dialog tentang tema-tema cinta di antara pemain. Terlebih, dalam konteks hari ini. Misalnya, masih relevankah 'spiritualisme' menjadi 'pengukur' dalam soal cinta?

Sepanjang proses penyutradaraan nyaris tidak dimaknai sebagai 'out-sider' yang menilai pementasan. Mereka berdua, berdiskusi tentang 'kenyamanan' masing-masing dalam merespon. Juga tentang 'kelogisan' respons tersebut. Penyutradaraan, dipraktikan dengan cara: seolah-olah mereka memproyeksikan diri tengah berada di panggung (untuk melakukan dan merasakan, dan pada saat yang samadi luar panggung (untuk mempertimbangkan).

Dialog-dialog yang ditulis pandu, cenderung 'puitis', sebagai konsekuensi dari abstraksi kisa cinta yang jamak. Seperti yang ia tulis sendiri di pengantar pertunjukannya bahwa: "Pertunjukan ini hanya sebuah kilatan atas efek-efek cinta. Tak lebih dan tak kurang,".