Keaktoran dan Citra Politis Urang Minang Masakini di Pentas Lokal

Facebook Alami yang Non-Artistik
Beberapa minggu terakhir ini, jalan-jalan raya di semua tempat di republik ini, akan terasa semakin ramai. Tak terkecuali, dalam lingkup keseharian di ranah budaya bernama Minangkabau, yang secara administratif disebut Sumatera Barat ini. Ada banyak wajah, yang setia menghuni jalanan tersebut siang dan malam saat ini, yaitunya ‘wajah-wajah’ yang terpampang pada poster-poster caleg. Seperti jamur di musim hujan, poster-poster itu tumbuh di setiap ruas jalan, dengan berbagai ukuran, berbagai warna. Semua orang pun sudah maklum, bahwa kehadiran ‘wajah-wajah’ itu di jalan-jalan, merupakan bagian dari ‘perayaan’ atas Putusan Mahkamah Konstitusi (No.22-24/PUU-VI/2008) Desember yang lalu. Lebih jauh, adalah prakondisi menuju perhelatan pemilu 2009 yang akan datang. 

Fenomena semacam ini, sebenarnya juga lagi trend dalam dunia-siber. Lewat fasilitas web dan blog, orang mulai secara bebas memperkenalkan wajahnya kepada dunia. Tidak hanya itu, fasilitas “grup” semacam facebook, friendster, hi5, 12fren, dan lain-lain, memberikan pula kesempatan yang lebih luas untuk memperkenalkan diri sekaligus mengaktualkan diri, hanya dengan meng-upload foto wajah sendiri dan mengisi formulir pendaftaran. Dengan cara begitu, banyak orang kini sedang ketagihan untuk merayakan kepopulerannya, aktualisasi-dirinya, dengan memajang foto-foto pribadi di setiap fasilitas “grup” dan blog yang tersedia.

Pada dasarnya, poster, spanduk, pamflet dan kartu nama caleg pun tak ubahnya seperti ‘facebook alami’. Sebuah usaha untuk memperkenalkan diri, meng’aktual’kan diri, sekaligus membuktikan kepantasan dan kelayakan kepada masyarakat. Sayangnya, ‘facebook alami’ ini terkesan acak dan tak beraturan. Ukurannya yang ‘tanpa standarisasi’, pemasangannya yang ‘saling-himpit’, dan penempatan yang ‘asal ada ruang kosong’, seperti merefleksikan sebuah euforia, sekaligus ketidak-dewasaan memaknai kampanye dan demokrasi. Plesetan semacam ‘demo-crazy’ malah terlihat jadi aktual. Apalagi, mengingat bahwa setiap ‘wajah’ yang sedang diperkenalkan itu, akan menghabiskan tidak kurang dari 150 juta rupiah per wajahnya (seperti dilansir sebuah media cetak). Betapa mahalnya, biaya cetak ‘popularitas’.

Karakter Manusia Pada Foto dan Jargon; Sebuah Studi
Seorang penulis bernama Barthes tertarik untuk mempelajari foto-foto sebagai sebuah indikasi karakter manusia. (“Camera Lucida”,1949). Ia sampai pada pemahaman bahwa sebuah foto, pada dasarnya adalah sebuah paradoks abadi. Foto, membuat objeknya hidup sekaligus mati, di sini sekaligus tidak di sini, sedang terjadi sekaligus telah berlalu. Pendek kata, sebuah foto adalah kejujuran sekaligus dusta. Hal tersebut, dapat diparalelkan dengan pikiran Barthes yang lain tentang mitos (“Mythologies”,1957). Menurutnya, sebuah mitos dapat timbul dari makna yang dikonotasikan sebuah gambar maupun foto. Makna asli sebuah gambar (denotasi) seringkali digeser oleh sebuah kata atau kalimat yang diletakkan di dekatnya. Pada kenyataannya, makna tingkat pertama tersebut, seringkali ‘dikalahkan’ oleh konotasi (makna kedua) yang ditimbulkan oleh jaringan makna antara gambar dan kata yang menemaninya.

Barthes, mungkin tidak pernah membayangkan, bahwa suatu ketika kelak (hari ini), sebuah foto, tidak hanya menyimpan satu kebohongan, tetapi bisa memilikinya secara berlapis-lapis pada saat bersamaan. Melalui suatu prosedur pengeditan, kecanggihan tekhnologi komputer hari ini memungkinkan manusia untuk melakukan banyak kebohongan melalui hasil cetak fotonya. Jika sebuah foto menimbulkan ‘mitos’ tertentu, maka sebenarnya mitos tersebut sudah merupakan ‘mitos’ yang berlapis lapis. Belum lagi, jika seseorang menambahkan kata-kata pada fotonya itu, sehingga ‘mitos’ tersebut menjadi matriks dari citra gambar dan citra kata sekaligus.

Si Barthes, mungkin pernah berfikir bahwa ‘mitos’ yang ditimbulkan sebuah foto dapat menjadi bentuk propaganda. Tapi mungkin ia tidak pernah menduga bahwa ‘mitos’ muthakhir yang berusaha ia singkap itu, pada suatu ketika akan digunakan tidak saja untuk melanggengkan kekuasaan suatu bangsa atas bangsa lain (propaganda kolonial), atau untuk mempertahankan hegemoni suatu negara. Saat ini, foto bahkan telah digunakan untuk menciptakan ‘mitos’ perseorangan, seperti yang dilakukan dengan poster-poster kampanye yang telah disinggung sebelumnya. Betapapun, pemasangan ‘foto wajah’ tersebut di banyak tempat, dimaksudkan untuk menimbulkan ‘citra-an’ tertentu. Dan sebuah citra menurut Yasraf Amir Piliang (Hipersemiotika, 2003), pada dasarnya adalah kesan saja, yang tanpa substansi (isi).

Citra dan foto ‘Urang Minang’ dalam Sejarah Republik
Citra-an yang ditimbulkan sebuah foto ‘Urang Minang’, sebenarnya telah ada sejak lama, apalagi dalam pentas politik. Sejak Republik ini masih sebuah ‘cita-cita’, ‘Urang Minang’ sudah dikenal sebagai politisi-politisi handal. Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir adalah tiga nama yang paling atas, yang dapat diajukan sebagai representasi ‘Urang Minang’ dalam dramatika politik zaman pra kemerdekaan. Ketiganya, memiliki pilihan ideologi yang berbeda, yang berpengaruh pada metode perjuangan, pun juga pada karakter pribadinya. Perbedaan, yang merupakan pantulan dari ‘berfikir merdeka’ ala budaya Minangkabau. Budaya, yang juga kemudian melahirkan Hamka, seorang pemikir, ulama, dan sastrawan yang dipandang ‘revolusioner’ terhadap tradisi keulamaan.

Foto dan citra yang melekat pada ‘tokoh-tokoh Minang’ yang di sebutkan di atas, mungkin dapat dilihat pada beberapa buku-buku sejarah. Sekedar contoh, untuk Tan Malaka, fotonya yang paling diingat banyak orang, barangkali adalah foto yang kemudian juga dipajang pada sampul buku berjudul “Tan Malaka: Dihujat dan Dilupakan” (Harry A. Poeze, 2007). Sementara wajah Sjahrir dan Hatta, dapat dilihat pada buku masing-masing: “Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia” (Rudolf Mrazek, 1996), dan buku Deliar Noer berjudul “Mohammad Hatta, Biografi Politik” (1990). Sedangkan Hamka, dapat dilihat pada buku “Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka” (1978), atau pada halaman bukunya sendiri.

Mengamati foto-foto tersebut, akan ditemukan suatu ‘gaya’ berpakaian dan berpenampilan, yang khas dari para tokoh tersebut. Tan Malaka, berfoto mengenakan kemeja lengan pendek warna abu-abu, dengan rambut lurus dan tebal yang disisir kebelakang, bermata dalam dan seperti tengah melihat jauh. Hatta, mengenakan jas warna krem, kemeja putih dan dasi krem, berkacamata, berdahi lebar, dengan bibir yang membentuk seulas senyum, dan mata yang memperhatikan dengan seksama. Syahrir, difoto sedang mengenakan jas warna hitam bergaris, kemaja putih, dasi hitam, berkulit gelap, rambut ikal yang disisir ke belakang, matanya memandang ke bawah, dan bibir yang seperti hendak mengucapkan sesuatu. Sementara Hamka, difoto dengan mengenakan peci hitam, tengah tertawa dengan mata yang ramah, berjenggot putih, dan kain sorban yang terlilit di leher dan bahunya.

Tak bisa tidak, hal tersebut kemudian membangun pula suatu ‘pencitraan’ yang tersimpan dalam ingatan banyak orang. Citra semacam, Tan yang visioner, Hatta yang cermat, Sjahrir yang serius, dan Hamka yang ikhlas. Dan yang paling penting dicatat, foto-foto yang membangun ‘citra’ masing-masing tokoh tersebut, diambil dalam sebuah konteks peristiwa. Tan dalam petualangannya, Hatta dan Sjahrir dalam perundingan untuk Indonesia Merdeka, dan Hamka dalam dakwahnya. Artinya, foto-foto tersebut besar kemungkinan ‘tidak disadari’ oleh sang tokoh. Mereka tidak mempersiapkan ‘pose’ tertentu, agar orang menilai mereka melalui foto itu. Mereka hanya sedang menjalankan tugas kesejarahan masing-masing, dan pada saat itu mereka diabadikan oleh para juru foto. Dengan kata lain, ‘citra’ yang ditimbulkan tersebut adalah hasil karya para juru foto.

Selain dari foto-foto tersebut, ‘citra’ masing-masing ‘Tokoh Minang’ yang disebutkan di atas, juga terpantul dari ucapan mereka. Berikut ini adalah beberapa contohnya. Pertama, Jargon Tan Malaka, berbunyi: “Kemerdekaan, kebudayaan dan kebahagiaan bagi semua rakyat di dunia”. Kedua, ucapan Sjahrir, bahwa: "Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan". Ketiga, cita-cita Hatta, berbunyi: "Menjadi tuan di negeri sendiri dan kemandirian dalam ekonomi". Dan keempat, pernyataan Hamka, yaitu: “Saya adalah pemberi maaf, dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit. Cuma rasa hati sanubari itu tidaklah dapat saya menjualnya”.

Berdasarkan itu, dapat dilihat sikap ‘personal’, yang terpantul dari diksi (pilihan kata) masing-masing tokoh tersebut. Malaka misalnya, memilih kata kebudayaan, ketimbang misalnya kemajuan. Ia juga memilih kata rakyat, ketimbang memilih masyarakat, atau penduduk, atau warga sipil. Demikian halnya dengan Sjahrir, yang memilih kata mendidik, ketimbang mengajari, memetakan, dibanding mengusahakan, dan seterusnya. Hatta, lebih memilih menggunakan frase ‘menjadi tuan di negeri sendiri’, dibandingkan kata kemerdekaan yang digunakan Sjahrir dan Malaka. Sementara Hamka, memilih frase ‘pemberi maaf’ dan ‘hati sanubari’, yang lansung memantulkan ideologi dakwahnya.

Demikianlah, ‘citra’ diri ‘Urang Minang’ masa lalu tersebut, terkonstruksi dalam pikiran banyak orang sebagai matrik (jejaring) antara ‘foto-wajah’ dan perkataan mereka. Pencitraan, yang dapat dibandingkan dengan ‘citra’ pemimpin lain pada zaman itu. Ambil contoh, Soekarno misalnya (tanpa mengurangi rasa ‘hormat’ terhadapnya), yang foto-fotonya, dengan ditopang perkataannya, memberi kesan elegan, priyayi, dan hegemonik. Citraan keempat ‘tokoh Minang’ tersebut di atas memantulkan kesederhanaan, egalitarian (pengakuan terhadap kesetaraan derajat manusia), dan cita-cita demokratis. Namun sekali lagi, citraan tersebut timbul sebagai ‘akibat’ di belakang hari, bukan sesuatu yang diproyeksikan sejak awal. Dengan kata lain, mereka bukan ‘aktor’ yang mengusahakan ‘citraan’ tersebut.

Keaktoran ‘Urang Minang’ Masakini; di ‘Pentas politik’ lokal (dan di Belakangnya)
Teori dramaturgi (Goffman, 1959) melihat, bahwa manusia pada dasarnya adalah ‘aktor’ dalam kehidupannya. Manusia, selalu menyadari kehidupan sosialnya sebagai panggung, dan kehidupan pribadinya sebagai ‘belakang pentas’ (behind the stage). Seturut pendapat tersebut, maka poster caleg, dapat dipandang sebagai bentuk kesadaran panggung dari manusia-manusia pemilik ‘wajah-wajah’ tersebut. Pada dasarnya, ada suatu ‘pose’ yang dipandang sebagai ‘pencitraan’ diri yang baik, yang coba dibuat oleh si pemilik ‘wajah’ pada poster itu. ‘Pose’ tersebut dapat dipandang sebagai ‘laku buatan’ (akting) sehingga si pelaku pada saat itu, ketika ia di depan kamera, secara tak sengaja adalah ‘aktor’ yang sedang memerankan sisi lain dari dirinya sendiri.

Secara umum, ‘wajah-wajah’ yang terpampang pada poster screenprinting tersebut, adalah wajah protagonis (tokoh ‘baik’), yang seolah-olah adalah Cinduo Mato muthakhir, atau juga Sabai nan Aluih. Tidak ada, wajah Imbang Jayo, Rajo Angek Garang, atau bahkan Intan Korong sekalipun. Jika jalanan itu adalah panggung dari drama kampanye, maka sebenarnya sudah tidak ada konflik di dalamnya. Sudah tidak ada antagonis (tokoh ‘jahat’), bahkan juga tidak deutragonis (tokoh ‘penghubung’). Semua tokoh telah bergerak menuju keinginan yang sama, yaitu membangun sebuah dunia yang ideal, dunia yang ‘lebih baik’ (baca: berjanji lebih baik) tentu saja.

Jika diperhatikan, secara umum ‘citraan’ yang (ingin) diciptakan dengan ‘foto wajah’ tersebut adalah: (1) Intelektual, (2) Muslim, dan (3) ‘Urang Minang’. Ketiga hal ini, barangkali dianggap sebagai kriteria yang dicari para pemilih di Sumatera Barat, yang sudah tentu mayoritasnya adalah ‘Urang Minang’ pula. Barangkali pula, kriteria tersebut, mencoba men’citra’kan semacam perpaduan dari citra ‘Urang Minang’ masa lalu, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Hal tersebut, dapat dilihat dari pakaian (kostum) yang dikenakan, latar (setting) yang dipilih, juga perkataan (dialog) yang digunakan pada poster-poster wajah tersebut.

Dengan mudah, dapat ditemukan pada rata-rata ‘poster caleg’, orang-orang yang mengenakan jas. Agaknya, ‘citra’ modern dan intelektual yang ditimbulkan pakaian ini, yang notabene adalah ‘pencitraan’ peninggalan Belanda, tidak mudah ditinggalkan. Tidak saja itu, pakaian yang satu itu juga masih diasosiasikan dengan kegagahan, kewibawaan, dan bahkan kemakmuran. Tentu karakter-karakter yang disebutkan belakangan ini juga diperlukan seseorang yang tengah mempromosikan dirinya untuk menjadi ‘wakil’ orang banyak. Sebagian lainnya, memakai baju koko dan teluk belanga. Barangkali dipandang dapat menimbulkan kesan agamis dan ‘lokal genial’. Sementara kaum perempuan, rata-rata mengenakan baju kebaya, baju kurung dan berjilbab, yang secara lansung berasosiasi dengan ‘keibuan’, nasionalisme, dan agamis.

Lalu, ‘pencitraan’ tersebut juga dilakukan dengan penulisan nama sang ‘wajah’. Meletakkan sederet gelar akademis, adalah hal yang lazim dilakukan. Selain itu, meletakkan gelar haji, ustad, buya dan lain-lain yang dipandang bisa meyakinkan sebagai ‘seorang’ yang taat beragama. Tidak ketinggalan, meletakkan gelar adat di belakang nama untuk menunjukkan karakter ‘berbudaya’. Yang terakhir, adalah membuat afiliasi kekeluargaan dengan seorang tokoh yang dikenal masyarakat. Sehingga kalau bisa, ‘wajah-wajah’ pada poster itu memiliki nama dengan pola yang kira-kira berbunyi: “Prof. Dr. Drs. Ir. H. Polan anak Pulin. MA. MSc. Dt. Pulan (Kemenakan si Polon, Cucu si Pulun)”. Beruntunglah ‘wajah’ yang bisa meletakkan kesemua gelar tersebut di samping fotonya pada poster tersebut.

Tidak cukup dengan itu, ‘kesan’ itu kemudian dikuatkan dengan memberi latar gambar yang ‘stigmatik’. Dua ikon (tanda) yang secara gampang akan ditemui dalam ‘poster’ caleg adalah rumah gadang dan masjid. Sebuah ‘penekanan’ tentang kesan agamis dan ‘berbudaya’. Kenyataan, bahwa dua ikon itu telah ‘kehilangan’ vitalitasnya dalam kehidupan sehari-hari, dan tinggal sebagai simbol, semakin di pertegas oleh keberadaannya dalam poster kampanye tersebut. Hal lain yang dilakukan, adalah memberi warna merah putih, untuk memberi kesan nasionalis. Lalu di imbuhi pula dengan jargon, slogan, semboyan. Dan dapat diduga, semua menuju ‘pembaruan’, ‘perbaikan’, dan ‘kesejahteraan’.

Sudah barang tentu, kesan pemandangan tersebut sejatinya berbanding terbalik dengan tujuan sesungguhnya dari pemasangan poster-poster wajah itu. Di baliknya, sebenarnya ada sebuah ketegangan dan persaingan. Ketegangan, yang mungkin akan semakin meningkat, sejalan dengan semakin dekatnya hari “H” pemilu. Suatu ketegangan, yang tercipta dari sebuah persaingan untuk meraih simpati, mendapat dukungan, dan akhirnya mengumpulkan ‘suara’ sebanyak-banyaknya. Semuanya, ditujukan untuk meraih ‘kursi’ di lembaga legislatif. Sebuah pekerjaan, juga sebuah kedudukan sosial yang dipandang ‘terhormat’. Bahkan, beberapa media massa, mulai mengistilahkannya sebagai ‘lapangan kerja baru’, di tengah semakin sedikitnya kesempatan kerja.

Akan tetapi, tentu saja ketegangan dan persaingan itu pun hanyalah suatu efek, dari suatu motivasi (dorongan), yang sepertinya sudah menjadi ‘rahasia umum. Motivasi inilah, yang mendorong orang-orang pemilik ‘wajah-wajah’ tersebut, merasa berhak untuk melakukan penetrasi (tekanan) ke ruang-ruang umum (publik), seperti jalan-jalan raya itu. Tidak saja ke sana, ‘wajah-wajah’ itu kemudian juga mendesak masuk ke dalam rumah-rumah milik pribadi, dinding dan ruang kendaraan bermesin, bahkan kalau perlu ke kamar tidur. Tidak cukup dengan poster, spanduk, dan famlet, ‘wajah-wajah’ itu juga mendesak masuk ke dalam ‘ruang’ paling pribadi bernama dompet, dalam bentuk kartu-kartu nama. Seperti tak cukup berkata: “Ini wajah saya, mohon dihapal dan selalu diingat …”.

Padahal, kecendrungan untuk memperkenalkan diri lewat foto saja, sebenarnya sudah memantulkan ketidak-percayaan diri. Bukankah hal itu tidak terlalu ‘penting’ (bukan tidak penting sama sekali), jika sang pemilik foto yakin bahwa ‘pikiran’ dan ‘citra diri’-nya populis di tengah masyarakat? Karena itu sebenarnya tidak mengherankan jika dalam sebuah iklan, seorang caleg berfoto dengan ikon yang campur baur. Misalkan, menggunakan busana bernuansa agamis, padahal ia berfoto dengan latar belakang warna, atau partai yang ditenggarai berideologi ‘kerakyatan’, atau sebaliknya. Sebab, ini memang bukan soal ‘citra-partai’ lagi, bukan pula soal cita-cita atau ideologi yang dipersonifikasikan oleh seorang caleg. Akan tetapi, (cuma) soal mempopulerkan ‘wajah’ saja atau semacam kontes memperkenalkan diri.

Lebih tepat, ini semua, soal ‘keaktoran’ di depan kamera foto, yang kemudian termanipulasi oleh kemampuan tekhnologi editing foto. Sebuah drama, yang tak ubahnya seperti berbagai kompetisi ‘idol-idol’-an di televisi. Karena itu, mungkin akan lebih populer sang ‘wajah’, dan pada saat yang sama akan lebih banyak ‘mendulang’ simpati, jika dia menuliskan pula sedikit cerita (selain wajahnya), tentang hidupnya yang ‘heroik-romantik’ pada poster. Misalnya, kisah hidup sebagai anak petani yang merangkak memperjuangkan hidup, anak dusun yang berjuang untuk bisa sekolah, atau cerita lainnya (referensinya bisa novel-novel stensilan). Sebab, berdasarkan pengamatan terhadap selera masyarakat Indonesia hari ini, ketika mereka memilih pemenang dari sebuah kontes yang tersebar banyak versi di televisi itu, maka lebih melankolik seorang kontestan, akan lebih dipilih.