Teater dan Dimensi Sosialnya; Beberapa 'Kacamata'

(Awalan untuk bicara Teater Sumatera Barat Masa Kini)


Beberapa saat yang lalu, saya tergoda untuk memasang satu widget di blog ini, yang memungkinkan saya untuk berkomunikasi dengan sesama pengamat, penggiat dan penonton teater Sumatera Barat. Dengan ‘sombong’ saya menamakannya “Memesan Tema Artikel” seperti yang terlihat di bagian bawah blog ini (hehehehe). Tujuannya sederhana, agar saya tahu perihal apa yang ‘menarik’ untuk dibicarakan bersama-sama saat ini.


Akhirnya, saya dapatkan satu tema, dari teman-teman. Terimakasih karena sudah mengusulkan. “Bagaimanakan Teater Sumatera Barat Hari Ini?”, demikian kira-kira tema yang diusulkan tersebut. Hingga sekarang ada 6 suara yang menyetujui, dan saya kira sudah cukup alasan untuk meresponnya. Tentu saja, ini bukan satu-satunya jawaban atas hal tersebut, bahkan barangkali hanya sebuah ‘awalan’ atau ‘hantaran' menuju sebuah pembicaraan yang lebih kualitatif...
.



Teater dan Sosial; Masih Adakah ? 
Masakini, tentulah tidak terlalu menarik lagi untuk melanjutkan perdebatan tentang posisi kesenian, termasuk teater, dalam konstalasi sosial. Perdebatan usang, semacam perdebatan antara Trotsky dan kaum formalis Rusia di tahun 1920-an. Pun juga, lebih khusus di teater, perdebatan tentang pilihan estetika, semacam perdebatan Meyerhold dengan Proletkult (Lembaga Kebudayaan Rakyat Rusia). Perdebatan serupa, yang telah pula melahirkan ‘prahara budaya’ (meminjam istilah Taufik Ismail) di Indonesia pada dekade 60-an, antara seniman ‘kiri’ dengan ‘manikebu’.

Sebuah ‘generalisasi’ bahwa dominasi negara dan politik ‘modal’ terhadap kesenian saat ini begitu kuat, cukup untuk membuat perdebatan itu menjadi ‘basi’. Sebab, jika demikian, maka pilihan mana pun yang diambil, pada dasarnya tidak mengubah kenyataan, bahwa kesenian hari ini adalah ‘komoditi’ dagang belaka. Persoalannya tinggal siapa yang membeli. Bisa Negara, bisa funding, LSM, partai politik, atau bisa juga ‘mata’ masyarakat banyak. Pasarnya, bisa dipilih di antara: festifal, proyek LSM, Kampanye Caleg, Release Partai Baru, Program Televisi, dan seterusnya, dan sebagainya.

Kendati demikian, kita harus tetap percaya bahwa tetap saja ada sebagian orang (penggiat teater terutama) yang tetap menyenangi tema basi itu? Istilah ‘Teater Sumatera Barat’ misalnya, bukankah mengindikasikan ada pengandaian bahwa konstalasi sosial, relasi kemasyarakatan yang khas, tetap mempengaruhi ‘gerak’ dan diagram proses berkesenian, juga berteater, di berbagai tempat. Sama halnya dengan istilah ‘Teater Indonesia’, ‘Teater Modern’ atau ‘Teater Etnik Anu’. Sebab jika tidak, tentulah kita hanya membutuhkan istilah ‘teater’ saja, yang sudah mewakili satu entitas (jika memang entitas ?, hehehe) di dunia, yang keadaannya pada satu waktu tertentu, bisa disamakan saja di semua tempat.

Tentunya, dengan suatu catatan, bahwa kondisi dasar (basis) dari masyarakat Indonesia, atau bahkan dunia ketiga pada umumnya, tetaplah sama. Masyarakat pasca-kolonial, yang tengah ‘dipaksa’ untuk memasuki ‘industrialisasi-global’, dan diprovokasi dengan berbagai ‘godaan’ untuk mempersiapkan kondisi material bagi terlaksananya ‘industrialisasi’ tersebut di negara, provinsi, bahkan kota atau nagari masing-masing. Yang membedakan, hanyalah ‘kadar’ ketercapaiannya saja.

Teater dan Sosial; Beberapa Perbandingan
Oleh sebab itu, saya tetap memilih untuk memulai ulasan ini dengan ‘mengintip’ beberapa kategori teater, berdasarkan posisi yang diambilnya terhadap keadaan sosial, yang pernah tercatat dalam sejarah. Tentu saja, hal ini tidak dimaksudkan untuk tiba-tiba ‘meniru’ keadaan dan praktik tersebut. Hanya saja, juga tidak mudah untuk melanjutkan ulasan ini tanpa terlebih dahulu membuat suatu ‘posisi’ sebagai pembanding.

Pertama, teater ‘populis’ dan teater ‘murni’. Dua kategori ini saya deduksikan ­--sekedar untuk memudahkan--, dari perdebatan antara Trotsky dan Shklovky di Rusia pada tahun 1923. Masing-masing, mewakili penganut “realisme-sosial” dan penganut “futurisme”. Akar perdebatan tersebut adalah tentang posisi kesenian terhadap masyarakatnya. Bagi Trotsky, kesenian, suka atau tidak suka, di sadari atau tidak adalah suatu ‘pantulan’ keadaan material masyarakat. Meski tidak menolak bahwa ‘kesenian’ tidak harus ‘semena-mena’ mengabdi pada revolusi (sesuatu yang seperti “agama” pada saat itu di Rusia), namun Trotsky tetap menekankan pentingnya ‘impuls kesejarahan’ dalam produk seni. Lebih jauh, agar seniman mempertimbangkan ekspresi kolektif, sehingga produk seni menjadi bentuk akumulasi dari ‘perasaan-perasaan’ yang kompleks, yang mewakili orang banyak. Hal inilah yang ditentang Shklovsky, yang ingin ‘kesenian menjadi sesuatu yang bebas dan liar, bahkan kalau perlu subjektif.

Perdebatan tersebut, berlanjut dan pada saat yang sama meluas. Pada genre teater, perdebatan tersebut terjadi antara Meyerhold dengan Proletkult, yang pada waktu itu didukung Krupskaya, sang ibu negara. Meyerhold ‘diserang’, karena dianggap menghasilkan ‘produk’ teater yang terlampau rumit, yang ‘dituduh’ Krupskaya sebagai pertunjukan yang ‘membingungkan’ rakyat yang menontonnya. Lebih dari itu, ekprerimentasi Meyerhold, dipandang ‘membelakangi’ tradisi drama dan opera Rusia, yang dianggap lebih merakyat. Seperti kita tahu, sebelum Meyerhold, ada Stanislavsky yang briliant, yang meletakkan dasar-dasar praktik bahkan operasional bagi ‘realisme’. Dan Meyerhold sendiri, adalah murid sang ‘Stanis’, bahkan sering dicap sebagai ‘yang terbaik’. Tradisi 'stanislavsky-an inilah yang dipandang pada waktu itu lebih 'baik', dan karenanya harus dipertahankan.

Namun, demikianlah, kekuasaan negara, kemudian ‘memasuki’ ranah praktik teater, dan Meyerhold harus membayar mahal keinginannya yang sesungguhnya ‘revolusioner’ tersebut. Keinginan Meyerhold, untuk mendorong teater menjadi lebih ‘ilmiah’, dengan ukuran-ukuran yang akurat terhadap tubuh aktor, untuk menciptakan ‘mesin tontonan’ di atas panggung, harus di bayar dengan ‘keluar’ dari proletkult, dan akhirnya dengan ‘nyawa’nya sendiri. Proletkult, yang menginginkan teater sebagai bentuk pantulan apa-adanya dari kondisi riil masyarakat (realistik), memenangkan pertarungannya melawan Meyerhold. Meyerhold, yang justru menginginkan teater menjadi impuls yang menggambarkan sekaligus mendorong terjadinya suatu ‘gerakan massa’ yang gegap gempita, harus melanjutkan usahanya, di luar badan kesenian yang didirikan negara, bernama Proletkult itu.

Kedua, teater ‘profesional’ dan teater ‘eksperimental’. Kedua kategori ini dipetakan oleh Eugenio Barba, seorang teaterawan asal Norwegia. Ia sendiri, melakukan kategorisasi ini, untuk merekomendasikan sesuatu yang disebutnya sebagai ‘teater ketiga’. Secara sederhana, Teater profesional dipahami sebagai teater yang berorientasi profit, dan teater ekpresimental adalah teater yang berorientasi ‘estetis’. Tentu saja tidak bisa semutlak itu untuk meng-kategorisasikannya, tapi dapat dilakukan berdasarkan ‘motif’ utama dari produksi yang dilakukan sebuah grup teater.

Bagi ‘teater profesional, tentunya yang terpenting adalah memberikan pelayanan atau produksi ‘jasa’. Dengan demikian, mereka menjadi dekat dengan masyarakat dalam pengertian sebagai ‘pedagang’ dan pembeli. Setiap produksi, akan memerlukan seorang ‘dramaturg’ (istilah keren untuk analis drama), yang dengan jeli membaca keinginan penonton, untuk kemudian meletakkannya dalam sebuah rancangan ‘produksi’ yang terukur. Dengan cara itu, ‘produksi’ teater yang bersangkutan, memperoleh ‘jaminan’ akan laku di pasar penonton. Kelompok-kelompok teater di negara maju, di mana teater sudah jadi ‘fabrik’ tontonan, dalam bayangan saya, akan lebih banyak memilih bentuk produksi ini.

Selanjutnya, ‘teater eksperimental’, yang menekankan produksinya pada pencarian bentuk-bentuk ungkapan baru, atau bahkan estetika baru. Grup teater semacam ini, berproses untuk terus-menerus menggali potensi estetis dari aktor, penataan panggung, dan elemen pertunjukan lainnya. Seringkali pula, grup teater semacam ini tidak punya target pentas dari produksinya, karena tolak ukur mereka adalah ‘kristalisasi’ gagasan, dan menciptakan kebaruan-kebaruan. Kebaruan tersebut, dapat berupa: tehnik pelatihan keaktoran, metode ‘penciptaan’ (istilah ini terkait dengan premis ‘kebaruan’ tadi), pendekatan terhadap naskah, sistematika produksi, dan lain-lain.

“Laboratorium Teater Polandia” (Polish Theatre Laboratory), yang dikelola Grotowsky, mungkin dapat digolongkan pada kelompok ini. Atau bahkan juga, grupnya Meyerhold yang bernama “Teater No 1 RSFSR” (RSFSR Theatre No.1), yang dianggap sebagai Teater Negara Sovyet Rusia pada waktu itu. Pasalnya, dengan jaminan pembiayaan dari Negara dan Funding (Lembaga-lembaga Pendonor), tugas Meyerhold dan Grotowsky adalah berproses setiap waktu, hanya ‘teaterologi’ untuk teater. Pembacaan terhadap keadaan sosial, dan pikiran tentang kesejahteraan aktor, atau biaya yang harus dikeluarkan untuk berproses, sudah diselesaikan dengan jaminan dari negara dan funding.

Produksi teater semacam ini, mungkin juga tidak akan populis di mata masyarakat banyak, apalagi populer. Pertama, karena memang prosesnya cenderung terjadi dalam suatu ruang yang eksklusif (berjarak dengan kehidupan sehari-hari), atau bisa dibayangkan terjadi dalam sebuah padepokan atau bahkan sebuah laboratorium yang tertutup. Kedua, karena produksinya tidak dilandaskan pada pembacaan terhadap ‘keadaan sehari-hari’ tersebut. Maksudnya, prosesnya justru diawali dengan pembacaan terhadap keadaan terakhir dari dalam ‘teater’ itu sendiri. Misalkan, pembacaan, terhadap capaian terakhir di bidang keaktoran, penyutradaraan, artistik dan lain-lain.

‘Teater ketiga’, yang direkomendasikan Barba, mencoba untuk menjadi sintesa atas teater profesional dan teater eksperimental. Barangkali, ia membayangkan, bahwa pada suatu kondisi, maka ‘anasir’ bagi terciptanya kedua bentuk teater pertama dan kedua tidak akan tersedia. Misalnya, di negara-negara dunia ketiga, di mana teater belum bisa ‘dijual’ di gedung-gedung pertunjukan berkelas dengan fasilitas pentas muthakhir (yang memang tidak ada). Sementara di sisi lain, funding dan negara juga belum bisa diharapkan terlalu banyak. Maka dalam keadaan semacam itu, grup-grup teater, menurut Barba, berada dalam kondisi yang merupakan ‘prasyarat’ bagi ‘teater ketiga’ yang dimaksudkannya.

Misalkan, yang dilakukan Barba dalam kontek ISTA-nya (International School for Theatre Anthropology), adalah membuat jaringan aktor dan grup. Setiap grup, bergantian menonton pertunjukan kelompok lain, atau yang diistilahkannya sebagai ‘barter artistik’. Dengan cara itu, sebuah grup dapat mengatasi soal artistik, semisal kekurangan aktor, dan sebagainya. Pada bagian lain, dengan cara itu, sebuah grup dapat pula mengatasi biaya produksinya. Sebab, grup yang menjadi ‘tuan rumah’nya akan mengorganisasikan pula biaya pentas, sekaligus penonton bagi pertunjukan. Kendati demikian, pembiayaan proses produksi tetap harus ditanggulangi oleh grup yang memproduksi pertunjukan tersebut.

Catatan Akhir Tentang Teater dan Sosial
Sudah barang tentu, semua uraian di atas hanyalah sebuah cermin, untuk kemudian melihat ‘Teater Sumatera Barat’ yang kita harapkan tersebut terpantul sebagai bayangannya. Secara tak terhindarkan, uraian di atas tak akan berlaku sama terhadap kehidupan sosial Sumatera Barat masakini, apalagi masyarakat Minangkabau sebagai geo-budaya. Dialektikanya akan sangat berbeda. Di samping ruang waktu, ruang sosio-antropologinya juga berbeda.

Namun demikian, uraian kasus-kasus sebagai perbandingan saya anggap penting, untuk menjadi pijakan. Setelah itu, kita bisa bicara perihal, perbedaan dan persamaan, maupun perubahan, pergeseran, stagnasi, kemajuan ataupun bukan mustahil kemunduran, berdasarkan ‘titik’ yang kita pilih sebagai pembanding tersebut.

Uraian saya ini, mungkin hanya salah satu pembanding, di mana pengamat, penggiat dan penonton teater Sumatera Barat lainnya juga berhak untuk mengetengahkannya. Sebenarnya akan jauh lebih menarik untuk melihat lebih banyak lagi kasus teater, apalagi yang terjadi di amerika latin, asia timur, afrika dan eropa timur, yang tentunya memiliki lebih banyak kesamaan kondisi dengan sosiologi makro Indonesia, maupun mikro Sumatera Barat. Akan tetapi, kenyataannya, tidak mudah untuk mendapatkan berbagai bacaan dan gambaran perihal itu. Satu-satunya yang cukup banyak diketahui, adalah Gerakan Teater Augosto Boal di Brasil, yang akan saya coba uraikan pada kesempatan selanjutnya…

(Dede Pramayoza)