Syuhendri (Sutradara Teater, KSST Noktah)


Jika mencoba mencari sutradara teater di Sumatera Barat yang setia untuk melakukan studi atas teks drama, saya selalu teringat Syuhendri, sutradara komunitas seni Noktah. Seturut pengamatan saya, selain selalu mementaskan pertunjukan teater, dengan terlebih dahulu melakukan studi atas teks dramanya, Syuhendri juga cukup 'bersikeras' untuk membawa teman-teman satu komunitasnya untuk melakukan studi atas 'seni berperan'. Dua studi yang berjalan secara sinergis itu, kemudian termanifestasikan dalam bentuk karya-karya drama miliknya sendiri, yang tidak saja memperlihatkan hasil studi atas dramatika, namun juga studi atas potensi para aktor di komunitas Noktah sendiri. 
Syuhendri, yang dilahirkan di Balingka, Kabupaten Agam, pada tanggal 10 Mei 1968, dari pasangan Syamsir St. Sati (Lahir 1934 ) dan Yusrida (Lahir 1944). Ayah Syuhendri yang ‘perantau’, seringkali harus pergi meninggalkan rumah dalam waktu yang lama. Karena itu, Syuhendri lebih banyak menghabiskan masa kecilnya bersama sang Ibu saja. Dari sang ibulah, ia pertama kali mendengarkan cerita-cerita kaba, dan mulai tertarik dengan dunia cerita. Tidak saja itu, cerita-cerita itu juga membuatnya tertarik dengan randai dan pencak silat. Sehingga jika di kampung adanya acara, seperti jika habis panen, di mana ada permainan silat atau randai, ia selalu hadir untuk menonton. Sejak kecil itu pula, ia telah mendapatkan pendidikan tentang ‘adat’ Minangkabau dari orang-orang tua di lingkungan keluarganya. 
Saat mengikuti pendidikan di SD Inpres Balingka Agam, Syuhendri lalu berkenalan dengan sandiwara di sekolahnya. Ia kemudian turut terlibat sebagai pemain. Yang paling dia ingat, adalah ketika ia bermain dalam sebuah sandiwara berjudul “SALAH MENCURAHKAN KASIH”, karya Anis Rasyid. Waktu itu, ia memerankan tokoh Ayah. Syuhendri ikut bermain beberapa kali dengan sandiwara sekolahnya itu, dan bahkan dipanggil sebagai Hen “Ayah” di kampungnya. Permainannya dalam sandiwara sekolah itu, tidak saja membuatnya mengenal dunia seni peran, namun juga mengetahui beberapa sejarah sandiwara dari orang-orang tua di kampungnya, salah satunya yang berhubungan dengan Dardanella.
Bermain sandiwara pula yang kemudian membuat Syuhendri kecil bisa melihat kota Padang, ibukota Provinsi, untuk pertamakalinya. Itu terjadi saat ia duduk di bangku kelas VI SD. Ketika itu, sandiwara sekolahnya mengikuti PORSENI tingkat Provinsi, di Padang, dan ia terpilih menjadi salah seorang pemain. Syuhendri lalu menamatkan pendidikannya di SD Inpres Balingka Agam pada tahun 1981, dan melanjutkan ke SMP N IV Koto Agam, yang ditamatkannya pada tahun 1984. Setelah menamatkan pendidikan di SMAN IV Koto Agam (1987), Syuhendri lalu memutuskan melanjutkan pendidikannya ke IKIP Padang. Pilihan itu, diambilnya dengan pertimbangan agar cepat bekerja, karena ia sadar bahwa ia harus segera mandiri, dan tidak membebani orang tua lebih lama. Pada waktu itu, lulusan IKIP masih dengan mudah mendapatkan pekerjaan menjadi guru.
Sejak menamatkan pendidikan SD, Syuhendri tidak pernah bermain sandiwara lagi. Sehingga, ketika mengikuti Ujian SIPENMARU, ia mengambil jurusan Sejarah sebagai pilihan pertama. Jurusan sendratasik, ia letakkan sebagai pilihan kedua, hanya untuk ‘jaga-jaga’ kalau-kalau ia tidak lulus di pilihan utama. Itu pun, karena ia senang bermain musik, bukan karena ia ingin belajar sandiwara. Namun ternyata ‘nasib’ berkata lain. Syuhendri justru lulus SIPENMARU untuk pilihannya yang kedua. Maka, hijrahlah Syuhendri dari kampung kecil bernama Balingka, menuju kota Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat, pada tahun 1988, untuk menjadi mahasiswa IKIP.
Di Jurusan Sendratasik IKIP Padang, Syuhendri ternyata tidak menemukan apa yang pernah ia bayangkan. Alih-alih bermain band seperti yang ia harapkan, pilihan minat utama musik yang dipilihnya, menghadapkannya pada sesuatu yang matematis, yang sebenarnya ingin dihindarinya. Hal itu sempat membuatnya kecewa, hingga akhirnya sebuah kejadian merubah motivasinya. Terdorong oleh pengalaman masa kecilnya dengan sandiwara, Syuhendri secara tak sengaja memberi komentar pada sebuah latihan sandiwara mahasiswa di kampusnya. Siapa sangka, hal itu justru membuat Deslenda (sekarang koreografer) sang sutradara, tertarik mengajaknya ikut bermain. Maka, terlibatlah Syuhendri sebagai pemain Teater Kampus Selatan (nama grup teater Sendratasik IKIP waktu itu), pada sebuah festival Teater yang diadakan oleh KOSGORO dan Taman Budaya Sumatera Barat di tahun 1989.
Itulah pertamakalinya Syuhendri, bersentuhan lagi dengan dunia seni peran, setelah sekian lama. Kenyataan itu, memberinya kesadaran, bahwa ternyata ‘sandiwara’ adalah dunia yang sebenarnya tetap terendap dalam dirinya, sebagai ‘bakat alam’. Syuhendri lalu mulai melanjutkan kuliahnya, dengan motivasi lebih banyak belajar tentang seluk-beluk ‘sandiwara’, yang kini ia sebut drama. Dan benar saja, hanya Mata Kuliah Drama yang ia selesaikan dengan nilai A, selebihnya tidak. Kendati begitu, Syuhendri tetap bertekad menyelesaikan kuliahnya di Sendratasik, karena tidak mengecewakan orang tuanya. Pendidikan di Program D-3 Jurusan Sendratasik IKIP Padang itu, diselesaikannya pada tahun 1991.
Pertemuan dengan Deslenda, kemudian membawa Syuhendri berkenalan dengan Hardian Radjab, sutradara TEATER PADANG. Dari perkenalan itu, Syuhendri kemudian menjadi anggota TEATER PADANG, sejak 1988 hingga 1990an awal, dan terlibat dalam 7 produksi. Keputusan untuk terlibat lebih jauh dengan teater itu, tidak saja membuatnya memasuki kembali secara intens ‘dunia seni peran’, namun juga cukup bisa menyelamatkan kehidupannya di Padang. Sebab, selama kuliah di Sendratasik IKIP, ia memutuskan untuk tidak pernah kos, karena kondisi ekonomi keluarganya yang tergolong miskin. Demikianlah, akhirnya teater menjadi tidak saja ‘hobbi’, namun memberinya ‘kehidupan’.
Kenyataan itu semakin jelas, ketika ia ternyata akhirnya tidak bekerja sebagai guru, seperti yang pernah ia rencanakan. Syuhendri malah di terima menjadi salah satu staf di Taman Budaya Sumatera Barat. Kenyataan itu, diterimanya sebagai sebuah ‘garis nasib’, dan membuat kesimpulan bahwa ‘kesenian’ memang adalah dunia yang dipilihkan untuknya. Pekerjaan ini, membuatnya semakin dekat dengan ‘orang-orang’ teater, yang pada waktu itu ramai berkegiatan di Taman Budaya. Tidak saja itu, bekerja di Taman Budaya lah, yang telah memberinya kesempatan untuk akhirnya menyelesaikan Program S-1 Jurusan Sendratasik IKIP Padang pada tahun 1999.
Intensitas dengan ‘dunia teater’ itu memberi Syuhendri kesempatan untuk berkenalan, bahkan kemudian terlibat sebagai pemain dari banyak sutradara teater, di antaranya BHR Tanjung, A. Alin De, Wisran Hadi dan juga Muhammad Ibrahim Ilyas. Namun karena merasa kecewa dengan lingkungannya, Syuhendri memutuskan untuk membuat kelompok sendiri. Bersama Yusrizal KW dan Yurmailis, Syuhendri akhirnya mendirikan KSST NOKTAH pada tahun 1993. Di kelompok inilah, cita-citanya untuk mempelajari teater lebih dalam, kemudian mendapatkan saluran. Tidak saja itu, dalam intensitas dengan KSST NOKTAH itu, Syuhendri dan Zurmailis (lahir 3 Maret 1965) menemukan ‘kecocokan’, dan kemudian memutuskan menikah.
Pada tahun 2007, Syuhendri mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannnya ke Jurusan Penciptaan Seni, Minat Utama Teater, Pasca Sarjana ISI Yogyakarta, yang diselesaikannya pada tahun 2009. Bersama KSST Noktah, Syuhendri, yang merupakan anggota Komite Teater Dewan Kesenian Sumatera Barat (Periode 2001–2004) ini telah menghasilkan: “INTEROGASI”(1994), “ORKES MADUN” (1995), “UMANG-UMANG” (1995), “KUCAK-KACIK” (1996), “KISAH CINTA DAN LAIN-LAIN” (1997), “KAPAI-KAPAI” (1999), “TARIK BALAS” (1999), “PADA SUATU HARI” (2002),“PAGI BENING” (2001),“NEGRI YANG TERKUBUR” (2003),“OEDIPUS” (2004),“THE POLICE” (2005), “PEREMPUAN ITU BERSAMA SABAI” (2005), dan “RUMAH JANTAN” (2009).
Saat ini, Syuhendri bekerja sebagai Komite Teater Taman Budaya Sumatera Barat, dan tinggal di rumahnya di Jl. Purus III No. 30 e Padang, Sumatera Barat, bersama istrinya Zurmailis, dan ketiga anaknya Aura Damira (21 Maret 1995), Khaira Damira (18 Juli 1998), dan Azzura Fathanul Umara (23 Oktober 2000). (Dede Pramayoza)

Catatan: Tulisan ini sebagian besarnya pernah dikirimkan sebagai laporan penelitian kecil kepada Yayasan Kelola, Jakarta. Karena itu, sebagian atau seluruhnya mungkin juga dimuat di website Yayasan Kelola.