Lasuang Tatingga: Menarikan Nostalgia Emri


Mungkin karena kecendrungan saya sendiri, atau karena saya (juga) terbawa nostalgia, saya tidak bisa menghindar dari menafsir koreografi Lasuang Tatingga, yang dikerjakan Emri itu sebagai sebuah pergelaran dramatik. Lelaki (dibawakan langsung oleh Emri) yang membuka narasi di panggung itu, yang tubuhnya mengkilat dan memperlihatkan urat dan otot, serta kulit yang terbakar itu, tetap saja saya maknai sebagai para peladang yang mudah kita temui di antara pepohonan dan tetumbuhan palawija di lereng-lereng Merapi dan Singgalang.

Bercermin pada peluh di tubuhnya, saya sesaat terlupa bahwa tubuh itu adalah tubuh yang menari di pentas arena, dalam ruang Auditorium Boestanul Arifin Adam ISI Padangpanjang. Saat si Lelaki terengah mendorong potongan-potongan kayu, saya merasa terbawa menuju masa silamnya yang kemudian muncul di panggung belakang, di balik rumpun batuang yang terpancang di kiri-kanan prosenium, seperti hendak menggantikan side-wing panggung yang absen malam itu. Kesan itu semakin mencekam saya, saat si lelaki tertidur lelah, bak lalok sabanta siang hari, saat mimpi buruk seringkali datang.


Seorang Ibu dan tiga gadis kecil itu, yang perlahan muncul di atas prosenium, di balik rimbun batuang, bagi saya tak ubahnya gambaran tentang masa lalu Emri, si Lelaki itu. Sebentar, saya merasa berada di Sungai Pua, nagari di kaki Merapi itu, 30 tahun yang lalu. Kemudian seorang anak laki-laki datang mendorong oto-oto dari rautan batuang, yang rasanya tak mungkin lagi dimainkan anak lelaki di masa sekarang. Oto-oto batuang yang didorongnya hilir mudik, saya peralat untuk mengingat pisau dapur, tangan yang teriris sembilu, atau pertandingan main kajai yang harus dimenangkan, untuk bisa membuat oto-oto itu, di masa saya kecil dulu.



Ketika Sang Ibu (dibawakan oleh Ernawita) berdendang sambil menari dengan nyiru di tangan, narasi tentang lasuang (lesung) yang kini tak lagi digunakan sebagai piranti penumbuk padi dan beras mengemuka. Apalagi, di salah satu sudut panggung belakang, sebuah kotak dengan sisi-sisi dari palupuah, yang tak mungkin lain daripada bangunan rangkiang yang hendak runtuh itu, membawa saya pada pemandangan di sepanjang jalan Sungai Pua, di mana kini. Pemandangan, di mana rumah gadang dan rangkiang dikepung bangunan beton bergaya eropa. Yusril (skenografer) yang menata panggung itu untuk Emri, saya kira juga tengah bernostalgia, kalau bukan berparodi dengan membangun rangkiang yang tersudut itu.

Sejauh itu, saya masih melihat gerak-gerak yang ‘mengikuti kata hati’ (meminjam istilah Elma Hawkins) saja. Tapi mungkin di sana pula koreografi ini menemukan penjelasan epistemologisnya. Tidak sukar untuk menemukan gerak-gerak yang bertenaga, tapi terkesan tanpa desain semacam itu dalam tarian tradisional Minangkabau. Bedanya sekarang, yang menarikannya adalah Emri, seorang calon Magister Penciptaan Seni Tari. Tapi saya segera teringat pula, bahwa mungkin sosiolog seni semacam Arnold Hauser benar ketika berpendapat bahwa dalam kesenian (dalam hal ini tarian) semacam apapun, sesuatu yang terjadi ‘tanpa rencana’ tidak ada urusannya sama sekali.

Jadi saya patahkan sendiri anggapan bahwa gerak-gerak tari tradisional Minangkabau, yang jelas terlihat sebagai sumber dari koreografi Lasuang Tatingga ini adalah ekspresi dari kenaifan belaka. Karena itu, gerakan pembuka yang diperagakan Emri, yang terkesan tanpa desain pendahuluan itu pun, hakikatnya adalah hasil dari sebuah rancangan. Meski rancangan itu lebih terlihat sebagai respon atas skenografi, yang bersumber dari gerak-gerak silek, yang terendap dalam kesadaran Emri, sebagai ‘kecendrungan’, atau bahkan habitus (meminjam konsep Bourdieu) Emri.

Hal itu segera tampak saat si Lelaki merubuhkan pohon-pohon di sekitarnya, lalu mengubahnya menjadi lesung-lesung baru. Mustahil, Emri melakukannya tanpa rencana. Apalagi ia kemudian menumbuk di dalam lubang lesung baru itu, dalam ritme yang menghasilkan irama tertentu dalam ingatan saya. Melalui suara tumbukkan alu di lesung-lesung itu, Si Lelaki seperti mengajak penonton berkendara menuju masa lalu masing-masing. Mungkin itulah sebabnya Emri memilih menggunakan dua panggung sekaligus, arena dan prosenium di belakangnya. Masa kini, dan masa lalu diperhadap-hadapkan dalam satu gelanggang.

Suara tumbukkan alu di lesung-lesung itu pula yang mengingatkan saya bahwa perkariban Emri dengan Susandra Jaya, sang komposer, malam itu menjadi kekuatan tersendiri. Musik yang dibuat Susandra Jaya, yang juga menjadi narasi yang kuat lewat vokal pendendang, menjadi suasana-suasana bagi koreografi Lasuang Tatingga, layaknya gurindam dalam randai. Saat itu saya menyadari kenapa musik menjadi ‘karib’ atas tari. Narasi dari tarian dan musik itu pula yang membuat saya meyakini, bahwa kekuatan narasi dalam alam tari kita di Minangkabau adalah sulit tergantikan. Kekuatan narasi yang terus-menerus mengalirkan repertoar-repertoar tari baru itu.

Paling tidak, Lasung Tatingga yang menjadi pergelaran terakhir dari rentang Ujian Akhir Penciptaan Seni Program Pasca Sarjana ISI Padangpanjang ini menjadi indikasi yang kuat akan hal itu. Sukar untuk mengharapkan koreografi yang lahir dari tubuh semata-mata, sebab narasi itu mengalir deras di sepanjang urat dan nadi orang Minang. Dan Emri sudah membuktikan, bahwa di samping kekuatan teknik dan karakter, kita tidak kekurangan ‘perspektif’, seperti yang pernah dituduhkan Afrizal Malna beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah diskusi di auditorium yang sama.

Tak kuasa pula saya untuk tidak menghubungkan Lasuang Tatingga ini dengan apa yang pernah diisyaratkan oleh Antonin Artaud, bahwa kekuatan teater (bisa diartikan sebagai seni pergelaran secara luas) di ‘timur’ adalah tubuh yang bercerita. Baik Ernawita maupun Emri, membuktikan prototipe penari (atau bahkan performer) Minang yang menggabungkan secara baik kemampuan tubuh, wajah, suara, dan musikalitas dalam pergelarannya. Kemampuan ‘total teater’ yang pernah disinyalir Umar Yunus sebagai ciri unikum pertunjukan Minangkabau, yang kini terancam menjadi semacam nostalgia saja.

Nostalgia itu pula yang segera saya baca seperti menyindir Jurusan Tari ISI Padangpanjang, yang kini memasuki usianya yang mendekati setengah abad. Terlibatnya Emri sebagai penari dalam koreografinya, (sebagaimana sebelumnya juga dilakukan pula Yan Stevenson) seperti mengartikulasikan ketidak percayaan koreografer terhadap para penari laki-laki yang kini ada. Mungkinkah ketajaman, ketegasan, yang diamanatkan silek dalam gerak-gerak tarian itu tidak mungkin lagi dibawakan para penari Minang masa kini, di saat Olga Saputra dan Ruben Onsu adalah hegemoni yang sukar ditawar? Atau mungkin inilah manifestasi dari teori A.A. Navis (1986), bahwa tarian, sebagaimana kesenian lain, bagi orang Minang adalah medium untuk menyampaikan otokritik, saat keluhan dan kegelisahan tidak lagi termediasi lewat corong formal?

Nostalgia juga agaknya yang menjadi pemantik dramaturgi bagi Grafity Toilet (koreografer: Fitra Airiansyah), Balabeh (koreografer: Rahmad Dhani), Laki-Laki (koreografer: Yan stevenson), yang berpentas lebih dulu dalam rentang Ujian Akhir Penciptaan Seni Program Pasca Sarjana ISI Padangpanjang ini. Mungkin kita bisa membaca ‘gejala keminangkabauan’ (istilah yang digunakan Taufik Abdullah) masa kini dari karya-karya tari itu. Selain kecendrungan naratif, kita (urang minang) memang sedang tenggelam dalam beribu nostalgia. Nostalgia akan Minangkabau (fisik), yang diramalkan Wisran Hadi (2002) suatu ketika kelak akan hilang juga di telan zaman. 

Saya sempat menduga, bahwa nostalgia Emri saat ia menari dengan Alu akan berhenti menjadi miliknya sendiri, semacam subjektifitas yang ‘dinikmati’ sendiri. Sukurlah, dugaan saya salah, sebab segera setelahnya, Emri membagi ‘kenikmatan’ itu dengan para penari di panggung belakang. Para penari (lima orang perempuan) itu lalu bersitungkin pula menari dengan alu di tangan. Andai para penari juga dibiarkan menikmati hal itu dengan emosi dari nostalgia masing-masing, bagian ini pasti akan terasa lebih puitik, menyadarkan penonton tentang waktu yang laksana pedang. Namun malam itu (Selasa, 21 Februari 2012, pukul 20.00 WIB), para penari masih saja ‘terkurung’ dalam gerak rampak.

Saya teringat Zapin Neo Zapin yang digarap Tom Ibnur (yang kebetulan juga menjadi pembimbing Emri dalam karya akhirnya ini), yang juga mengunakan benda-benda untuk menstimulasi para pemain melahirkan geraknya. Mungkin inilah salah satu metode penciptaan tari yang pantas dipertimbangkan, di saat silek yang hegemonik itu, seolah tidak mungkin melahirkan gerak-gerak baru. Situasi yang dilahirkan oleh benda-benda yang melingkupi para penari, akan ‘memaksa’ mereka meresponsnya dengan cara basilek yang berbeda.

Menonton Lasuang Tatingga saya dibuat mengimani apa yang digambarkan Saini K.M. (1988), bahwa teater (sekali lagi juga berarti tari, drama-tari, dan pergelaran lainnya) adalah ritus, peristiwa bersama, di mana ‘ingatan’ banyak orang dipertautkan kembali. Dan pada tataran ini pula ontologi seni pergelaran dipertaruhkan, pikiran-perasaan yang meruang dan mewaktu, ‘kini di sini’ dari Lasuang Tatingga tidak akan pernah saya alami kembali. Pengalaman ‘dramatik’ yang tidak akan saya rasakan, jika saya menontonnya melalui video, tekhnologi yang konon mengancam keberlangsungan seni pergelaran itu.

Ontologi itu pula agaknya yang membuat saya percaya, bahwa ketika Emri tiba-tiba hilang dalam gelap, lalu muncul membawa dua buah alu, dan memainkan irama dari suara tumbukan antara alu dan lesung, ia sedang pergi mencari alu. Adegan itu seolah mewakili kekinian yang memicu nostalgia ini, bahwa kenyataan keseharian kita, adalah kecepatan tekhnologis yang sukar ‘dinikmati’. Dan saat itu kita membutuhkan puitika dari ‘ingatan bersama’ kita, dari kenangan. Tapi siapa pula yang akan bernostalgia dengan lasuang duapuluh tahun lagi? Saat tak seorang pun memiliki ingatan fotografis tentang menumbuk padi dengan lesung, sebagaimana yang dimiliki Emri, yang ia gunakan untuk melahirkan tari Lasuang Tatingga ini?

Sepertinya tarian itu telah berakhir menjadi nostalgia yang dibiarkan tetap bertendum di jantung penonton, ketika secarik sinar biru dari parcan 32 itu membiaskan tepung yang turun dari langit, mengisi lesung tua yang diratapi Emri.

Namun lagi-lagi saya salah duga, karena sesudah itu Emri menghambur-hamburkan padi dari dalam sebuah katidiang, seolah memaksa kita menggunakan lesung lagi untuk menumbuk padi. Padahal, suara mesin yang muncul sebelumnya, sudah mengisyaratkan dengan jelas, bahwa Lasuang Tatingga hanyalah (tinggal) nostalgia.

Tapi tentu saja penonton berharap, karya ini tidak akan menjadi (hanya) nostalgia pula. Bagaimana pun nostalgia ini (seharusnya) hanyalah awalan bagi Emri, seorang Magister Penciptaan Tari, untuk melahirkan karya-karya berikutnya. Selamat untuk itu. Dan memandang jauh ke depan, seperti kata Wisran Hadi, ucapkanlah Bismillah...

Dimuat di Padang Ekspres Edisi Minggu, 11/03/2012