Urgensi Lembaga Kebudayaan di Daerah dalam era Otoda


Mencermati beragam persoalan sosio-kultural yang kini dialami daerah Sumatera Barat, kiranya berdirinya lembaga kebudayaan lokal dipandang menjadi mendesak dan penting. Prototipenya lembaga semacam ini sebenarnya sudah mulai bermunculan, misalnya Lembaga Kebudayaan Betawi di Jakarta. Harus diakui, tidak ada yang lebih dikorbankan dalam eforia politik demokrasi saat ini, selain sektor kebudayaan. Potensi pertikaian antar anak bangsa, yang di Sumatera Barat sempat muncul dalam bentuk benturan antar warga ‘bekas’ desa, atau antar beberapa keluarga dalam satu nagari, jelas akan dapat merusak nilai-nilai budaya kehidupan bersama, dan akhirnya juga akal budi bangsa. Singkatnya, dapat merusak semua sendi kebudayaan, secara lokal maupun pada tataran kehidupan berbangsa. Cukup disayangkan pula, sejarah tentang pengelolaan kebudayaan kita menunjukkan bahwa negara lebih sering absen sebagai penginisiasi kebudayaan, sehingga kian hari persoalan kebudayaan dikelola semakin parsial, alih-alih menjadi integral sebagai kebudayaan sebuah bangsa besar.

Lembaga Kerapatan Adat Minangkabu (LKAM) yang telah berdiri dan sempat berfungsi sebagai badan koordinasi antar KAN, barangkali dapat lebih jauh didorong untuk menjadi Lembaga Kebudayaan Daerah Sumatera Barat. Konsep budaya lokal masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat sebenarnya cukup terbuka bagi perubahan dan perbaikan, seperti dinyatakan sebuah adagium lokal, bahwa: “Baju dipakai usang, Adat dipakai baru.” Namun tentunya yang segera diperlukan adalah regulasi, agar Lembaga Kebudayaan Daerah tersebut memiliki kekuatan yuridis dan konsitusional. Sebuah peluang untuk mengelola kebudayaan daerah secara menyeluruh, sebenarnya telah menjadi agenda yang diperjuangkan melalui otoda, sebagaimana tampak dalam pernyataan Isran Noor, bahwa:

... Segenap pe¬rundang-undangan serta peraturan pelaksanaanya harus memperkokoh desentralisasi politik, desentralisasi politik, desentralisasi ekonomi, juga desentralisasi fiskal.
Pernyataan tersebut tampak telah memuat butir-butir yang hakikatnya merupakan aspek-aspek integral dari keseluruhan kebudayaan, sehingga tentunya dapat pula diartikan sebagai ‘desentralisasi kebijakan budaya’. Mengutip Lono Simatupang dalam ulasannya tentang kebijakan kebudayaan di masa Otoda, kebudayaan harus segera diartikan sebagai keseluruhan peri-kehidupan masyarakat, termasuk adat istiadat, bahasa, kekerabatan, pengetahuan lokal, sistem pendidikan, politik, kesenian, dan juga perekonomian. Pemahaman serupa ini tentunya akan membawa konsekuensi yang cukup besar, bahwa pengelolaan secara parsial terhadap aspek-aspek kebudayaan, tidak akan menghasilkan jalan keluar yang efektif. Kebudayaan, yakni totalitas kehidupan suatu masyarakat, harus dilihat sebagai sebuah keutuhan. Keberadaan lembaga kebudayaan daerah, di Sumatera Barat dalam konteks ini, akan dapat menjadi ruang komunikasi lintas sektor, yang dapat melihat hubungan, misalnya, antara persoalan agraria dengan nilai-nilai budaya matrilineal.

Sementara itu, lembaga kebudayaan daerah juga akan dapat berfungsi sebagai instrumen pencapaian budaya demokrasi dan demokratisasi budaya, yang merupakan fondasi di balik pelaksanaan otoda. Mustahil membudayakan dan menciptakan masyarakat yang mandiri dan demokratis, tanpa mengubah terlebih dahulu ranah yang menjadi ‘dapur’ bagi produksi, distribusi dan konsumsi nilai-nilai tersebut, yakni kebudayaan itu sendiri. Pada tataran ini, kita harus bicara perihal pendidikan, yang menjadi instrumen dalam membudayakan berbagai nilai. Oleh negara, setelah sempat dijadikan satu departemen dengan pariwisata, kini pendidikan kembali diletakkan bersama kebudayaan. Logika yang terakhir ini jelas lebih tepat, sebab pada dasarnya kebudayaan adalah hasil pendidikan, pembiasaan, internalisasi, dan akhirnya etos. Sayangnya, orientasi pendidikan kebudayaan dalam wacana itu masih hanya dimaksudkan sebagai pendidikan legal formal. Aneka pendidikan kebudayaan yang berbasiskan budaya lokal, yang hidup secara tradisional tidak terintegrasikan ke dalam sistem yang harusnya mengelola semua ranah produksi kebudayaan itu. Namun bagaimana pun konsep ‘pendidikan dan kebudayaan’ itu tetap lebih baik ketimbang menggabungkan kebudayaan dengan pariwisata, yang membuat pengertian kebudayaan menjadi sempit, yaitu sebagai seni hiburan, benda kerajinan, souvenir, atau singkatnya sebagai artefak dan komoditas belaka.

Berkembangnya berbagai bentuk pendidikan lokal, yang tentunya memuat ‘local genius’ atau kearifan lokal masing-masing daerah, akan memperkaya sistem pendidikan nasional. Kontestasi berbagai konsep pendidikan lokal, dapat menjadi laboratorium bagi penemuan sistem pendidikan nasional, yang dapat menghasilkan manusia-manusia bekarakter sesuai yang diamanatkan Undang Undang tentang pendidikan nasional, yakni manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lagi-lagi, yang diperlukan adalah regulasi, tentang sejauh mana daerah dapat mencangkokkan pendidikan budayanya ke dalam sistem pendidikan nasional, dan bagaimana sistem perimbangan muatan-muatan pembelajaran dapat dibuat antara strandarisasi nasional dengan muatan budaya lokal.

Regulasi otonomi daerah di bidang pendidi¬kan, menurut Isran Noor, memungkinkan pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan dengan berbasis keunggulan lokal. Meski orientasi dan kebijakannya tetap harus merujuk pada arah pendidikan nasional, yakni pembangunan karakter yang bermuara pada mewujudnya karakter bangsa, namun daerah sejatinya dapat mengembang¬kan berbagai ‘proyek rintisan’ untuk menemukan format pendidikan karakter, sesuai karakter budaya masing-masing, karena:

Secara konseptual desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak semata-mata merupakan desentralisasi administratif yang terbatas pada opera-sionalisasi serta fasilitasi kebijakan nasional di bidang pendidikan, akan tetapi juga harus meliputi desentralisasi kewenangan di bidang kebijakan pendidikan lokal.
Kita dapat mencatat bahwa urgensi mempertimbangkan konsep-konsep pendidikan budaya lokal dalam dunia pendidikan nasional merupakan bagian dari upaya pengembangan pendidikan efektif berbasis kebutuhan lokal. Dengan cara itu, produk-produk pendidikan diharapkan tidak lagi teralineasi dari masyarakatnya sendiri, dan sebaliknya, menjadi produk yang relevan dengan kebutuhan daerahnya, karena dididik dalam sistem yang berbasis pada kompetensi daerah bersangkutan. Artinya, desentralisasi pendidikan dapat dan perlu dimafaatkan untuk mengoptimalisasikan pembangunan daerah. Dan lembaga kebudayaan daerah lah yang dapat menjadi generator bagi terlaksananya sistem pendidikan yang berkompetensi daerah tersebut. Sebab, hanya sebuah lembaga kebudayaan yang dapat mengetahui hubungan antara berbagai peri-kehidupan suatu masyarakat. Bagi daerah Sumatera Barat, misalnya, Lembaga Kebudayaan setempatlah yang dapat membaca bahwa selain terdapat hubungan erat antara persoalan agraria yang terjadi di Sumatera Barat dengan nilai-nilai budaya matrilineal yang dijalankan sebagian besar penduduknya, terdapat pula kaitan antara persoalan itu dengan macetnya daur penerapan konsep pendidikan budaya lokal.

Kebudayaan adalah semua hal yang merefleksikan akal budi manusia, yang harus dibaca secara komprehensif, sebagai sebuah jejaring budaya. Karenanya, inilah waktunya negara Indonesia mengambil tanggung jawabnya atas kebudayaan bangsa, dan pemerintah daerah dapat menjadi pelopornya. Sudah saatnya Indonesia memiliki Lembaga Kebudayaan, dimulai dengan Lembaga Kebudayaan Daerah, sebuah organisasi pemerintah non-departemen, yang dapat tumbuh sesuai karakter budaya di berbagai daerah. Kepemimpinan Lembaga kebudayaan itu sebaiknya tidak dipimpin sebagai jabatan politik, sehingga lembaga itu bisa tetap independen memandang dinamika politik sebagai bagian dari kebudayaan. Cukup menggembirakan, sejak tahun 2011 pemerintah RI telah mencoba menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) RI tentang Kebudayaan.

Sembari menunggu RUU tersebut disahkan, Lembaga Kebudayaan Daerah akan dapat menjadi ruang tempat semua sektor kehidupan masyarakat dikaji secara integratif. Agamawan, pakar ilmu sosial, psikolog, serta seniman-budayawan bisa bersama-sama mengembangkan studi interpretif terhadap semua sisi kebudayaan, dan menyumbangkan pertimbangan atau rekomendasi bagi pemerintah, dalam membuat kebijakan kebudayaan. Lembaga Kebudayaan Daerah akan membuka peluang untuk mencari akar dari persoalan moralitas, karakter, dan etos masyarakat di daerah, lebih jauh bahkan dalam kehidupan berbangsa. Lembaga kebudayaan daerah dapat didorong untuk merumuskan kebijakan budaya di daerah, salah satunya, sebagaimana disarankan Baha’ Uddin adalah dengan merumuskan Rencana Induk Pengembangan Kebudayaan (RIPK), yang memuat: (1) aturan-aturan penyelenggaraan kegiatan kebudayaan; (2) gambaran menyeluruh atas aspek-aspek kebudayaan, termasuk upaya pelestarian, pengembangan, serta pemanfaatannya; (3) penyedian media lintas sektoral; dan (4) upaya-upaya pelibatan seluruh masyarakat dalam pengelolaan kebudayaan.

Menatap lebih jauh ke depan, , Lembaga Kebudayaan Daerah dapat berperan penting dalam memajukan kebudayaan daerah, yang merupakan modal penting bagi eksistensi NKRI. Karena sebaliknya, carut-marut kebudayaan daerah pada hakikatnya adalah ancaman bagi kelangsungan negara yang secara menyejarah telah memilih bersama untuk bersatu di bawah bendera Negara Kesatuan ini. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang justru menjadi ciri utamanya. Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan atas dasar cita-cita mulia, yaitu untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan budaya anak bangsa yang berbeda-beda itu, lalu mengaturnya dalam suatu tatanan yang harmonis sekaligus dinamis. Dikatakan demikian, karena logika Negara Kesatuan adalah pengakuan atas ke “Bhineka Tunggal Ika”an kita, sebagaimana ditegaskan oleh Penjelasan Pasal 32 UUD 1945, bahwa:

Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa

Penghargaan terhadap kebudayaan daerah, dengan demikian, adalah modal penting dalam menjaga NKRI. Hanya dengan cara itu, berbagai budaya suku bangsa yang berbeda-beda di Indonesia akan merasa yakin, bahwa berada di bawah payung NKRI adalah jaminan bagi keutuhan dan keberlangsungan budaya lokal mereka masing-masing. Dan sebaliknya, kemajuan berbagai kebudayaan lokal, akan menjadi modal penting bagi berlanjutnya NKRI sebagai sebuah negara bangsa yang berkebudayaan kaya, laksana ‘mozaik’ penuh warna namun satu jua, selamanya. Dalam kerangka pemahaman itu pula, kemajuan berbagai budaya daerah di Indonesia melalui terciptanya lembaga-lembaga kebudayaan daerah yang kompeten, pada prinsipnya koheren dengan kemajuan kebudayaan NKRI itu sendiri. Semangat dan etos otoda yang dewasa ini kian terasa manfaatnya bagi kehidupan berbangsa, tentunya adalah suatu modal sekaligus momentum penting yang harus segera direproduksi dalam mewujudkan Lembaga-Lembaga Kebudayaan Daerah. Eksistensi lembaga-lembaga itu, kelak akan berfungsi laksana ‘batu-batu bata’ dalam menyusun bangunan peradaban Indonesia yang kita cita-citakan bersama.


Referensi

Aris Munandar, “Pembangunan Nasional, Keadilan Sosial, dan Pemberdayaan Masyarakat”, Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 1, September 2002: 12-24.
UU RI No. 32 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1.
Bappeda Provinsi Sumatera Barat, Kiprah Pembangunan Sumatera Barat (Padang: Bappeda Sumatera Barat, 1996), 7-8.
M. Munandar Soelaiman, Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 114-115.
Haluan, “Konflik Agraria Sumbar Tertinggi”, Kamis 7 Maret 2013, Hal 2.
Lihat: Afrizal, “Negara dan Konflik Agraria: Studi Kasus pada Komunitas Pusat Perkebunan Kelapa Sawit Berskala Besar di Sumatera Barat” Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Tahun XX, No. 3, Juli-September 2007.
Isran Noor, Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI (Tanpa Nama Kota: Seven Strategic Studies, 2012), 83-84.
Perda Propinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari; Perda Propinsi Sumatera Barat No. 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya.
Misalnya: Perda Kabupaten Agam No. 12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari; dan Perda Kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 Tentang Nagari.
Bappeda Provinsi Sumatera Barat, “Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam Urusan Kebudayaan dalam Era Otonomi Daerah”, makalah dalam Workshop Kebijakan-Kebijakan Kebudayaan Dalam Era Otonomi Daerah Di Indonesia, LPPM UGM dan LPPMPP ISI Padangpanjang, Padangpanjang 20 Mei 2013.
Sekadar menyebutkan contoh, dari INS Kayutanam, lahir Bustanul Arifin, Abdul Latief, dan A.A Navis, sementara dari Thawalib lahir Buya HAMKA.
Isran Noor (2012), 9.
Lono Lastoro Simatupang, “Kebijakan Kebudayaan di Era Otonomi Daerah”, makalah dalam Workshop Kebijakan-Kebijakan Kebudayaan Dalam Era Otonomi Daerah Di Indonesia, LPPM UGM dan LPPMPP ISI Padangpanjang, Padangpanjang 20 Mei 2013.
UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
Isran Noor (2012), 28.
Ibid., 31.
Ibid., 32.
Baha’ Uddin, “Kebijakan dan Pelestarian Warisan Budaya Pada Era Otonomi Daerah di Indonesia”, makalah dalam Workshop Kebijakan-Kebijakan Kebudayaan Dalam Era Otonomi Daerah Di Indonesia, LPPM UGM dan LPPMPP ISI Padangpanjang, Padangpanjang 20 Mei 2013.
UUD Negara RI Tahun 1945, Penjelasan Pasal 32.