PDRI, Drama dan Sejarah: Merawat Indonesia (yang) Darurat (1)

 

Melalui agresi militer ke-II, Belanda berhasil menawan Soekarno dan Hatta, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Republik muda berusia tiga tahunan itu berada dalam kondisi genting. Untunglah, ketika kabar itu sampai ke segala penjuru negeri, Mr. Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Rakyat RI yang kebetulan sedang berada di Sumatera, berani mengambil inisiatif untuk membentuk pemerintahan darurat. Melalui rapat bertanggal 19 Desember 1948, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama beberapa tokoh republik lainnya memproklamirkan PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Bukittinggi, di tengah ancaman serangan Militer Belanda. Tiga hari kemudian, di antara desing peluru dan serangan udara, PDRI mengumumkan kabinetnya dari Halaban, Limapuluh Kota, dan membuktikan kepada dunia bahwa RI masih ada. Selama 207 hari kemudian (19 Desember 1948-13 Juli 1949) PDRI menjalankan pemerintahan RI secara gerilya, hingga akhirnya hasil perundingan Roem-Royen ditandatangani dan Soekarno-Hatta dibebaskan Belanda. Pada 13 Juli 1949, secara patriotik PDRI menyerahkan kembali mandatnya kepada pemerintah RI.

Gambaran dari beberapa adegan operetta –di Indonesia lebih dikenal sebagai ‘operet’— yang digarap sutradara Afrizal Harun di atas, dipentaskan untuk memperingati peristiwa PDRI di Balai Sidang Bung Hatta Bukittinggi,  sekaligus untuk merayakan pencanangan “Hari Bela Negara”, pada bulan Desember 2007 lalu. Setelah sekian tahun seolah dikaburkan dan dikuburkan dari teks sejarah bangsa, PDRI kemudian ‘bangkit dari kematian’ dan memaksa SBY sebagai presiden RI untuk mengenangnya dan melahirkan keppres No. 28/2006, untuk menetapkan tanggal 19 Desember sebagai “Hari Bela Negara”. Segera, ingatan kolektif bangsa diperbaiki. Orang segera mengingat kembali sebuah peristiwa, yang telah mengaitkan sejarah sebuah negara-bangsa, Indonesia. Sebuah peristiwa yang menjamin berlanjutnya sejarah sebuah republik yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, di atas sebuah pertiwi yang sejak berabad-abad sebelumnya dikenal sebagai Dwipantara, Kepulauan Melayu, Nusantara, Insulinde, Hindia, dan akhirnya Indonesia.


Kita tentu tidak perlu mengulas lebih lanjut perihal pengaburan dan penguburan yang pernah dilakukan atas momentum sejarah bernama PDRI itu. Juga tidak dengan bagaimana politik ingatan dilakukan atasnya. Sebuah pencanangan ‘hari bela negara’ telah cukup kuat diguratkan pada kalender-kelender kebangsaan kita, dan tentunya dalam ingatan segenap warga negara-bangsa ini, betapa pun itu hanya akan tersegarkan kembali pada setiap tanggal 19 Desember, ketika mereka harus melakukan upacara bendera.  Demikian pula sebuah monumen yang didirikan untuk menandai PDRI –betapa pun kurang pentingnya— cukuplah untuk menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar, yang mengenang dengan baik sejarah perjuangan bangsanya. 


Sejarah sebuah bangsa tentu saja tidak sesederhana pementasan drama (baca: teater), sebagaimana yang dipantulkan melalui operetta di Balai Sidang Bung Hatta itu. Kisah PDRI apalagi. Ada banyak kontroversi, ketegangan, tarik-ulur, dan diskursus atasnya, baik perihal apa yang sesungguhnya terjadi pada masa itu, maupun perihal signifikansi kedudukannya dalam perjalanan kebangsaan di kemudian hari, yang tentulah jauh lebih rumit dari sekadar urutan plot drama. Namun demikian, berbagai ketegangan internal PDRI serta yang kemudian ditinggalkannya hingga bertahun-tahun setelahnya, justru menambahkan sifat kedramaan atasnya. Demikian kuatnya, sehingga sukar untuk mengatakan bahwa perjalanan itu tidak dramatik, terutama jika dihubungkan dengan diskursus ‘kebangsaan’.
 

Bukan rahasia pula kiranya bahwa realitas abstrak yang bernama ‘bangsa’ beserta ‘rasa’ yang menyertainya, kerapkali justru dibangunkan kembali oleh sebuah situasi dramatik semacam itu. ‘Fear and pity’ (kecemasan dan keprihatinan), demikian Eric Bentley, seorang kritikus seni menyimpulkan kondisi yang dramatik itu. Kondisi yang hadir di panggung-panggung teater, yang kerapkali juga hadir di pangung-panggung sejarah. Kondisi yang dicetuskan –misalnya— dari kecemasan beriring keprihatinan yang timbul dalam duaratus juta dada mereka yang mengaku ‘orang Indonesia’ ketika Ligitan, Sipadan, dan Ambalat diperebutkan. Kecemasan beriring keprihatinan yang meledak jika Bambang Pamungkas cs dicurangi kesebelasan nasional lain. Kecemasan beriring keprihatinan yang timbul jika batik, reog, dan randang diaku sebagai warisan budaya negeri tetangga. Semuanya dramatik. Semuanya dapat menjadi pemantik bagi terciptanya penyikapan, perbuatan, tindakan. Laku manusiawi (aksi/action), dalam bentuk doa paling tidak.

Namun kita boleh bertanya ke mana perginya kecemasan dan keprihatinan, beserta stimulan aksi yang dibawanya itu dalam situasi internal kita sendiri sebagai sebuah bangsa di masa kini. Apa yang terjadi di Mesuji, Sampang, Sidoarjo, Lampung Selatan dan berbagai tempat lain tidak sedikit pun menunjukkan kepekaan dramatik itu. Apalagi menunjukkan kemampuan untuk mengambil hikmah, pembelajaran atasnya. Menemukan khatarsis, kesucian hati kembali, kata Aristoteles 24 abad lalu. Belum lagi tawuran pelajar, bentrok antar gang, ledakan bom, dan segerobak benturan-benturan antar anak bangsa lainnya, seolah-olah menunjukkan bahwa kita sebagai sebuah bangsa tidak pernah memiliki kemampuan untuk meraih suluah jo palito (suluh dan pelita) dari pelajaran sejarah kita. Atau malah, menunjukkan bahwa kesadaran itu baru datang jika berhadapan dengan –yang dipandang sebagai— bangsa lain belaka, tapi tidak dengan bangsa sendiri. Atau mungkin pemaknaan atas ‘bangsa sendiri’ dan ‘bangsa lain’ itu telah bergeser sedemikian rupa, hingga mereka yang diperangi itu kini bahkan bisa jadi hanya penduduk desa tetangga, warga gang sebelah, pelajar sekolah lain, dan seterusnya.
 

Tulisan ini barangkali tidak akan melihat secara seksama dan dalam apa yang terjadi dengan keprihatinan dan kecemasan itu, dengan kesadaran dramatik itu. Kesadaran dramatik yang –salah satunya— telah melahirkan PDRI, yang telah menjadi ‘jembatan penyelamat’bagi republik ini, setelah sebelumnya melahirkan Budi Utomo, Sumpah Pemuda dan tentu saja Proklamasi RI. Tulisan ini mungkin hanya untuk mencoba melihat satu saja hikmah dari peristiwa PDRI, yang mudah-mudahan bisa kita gunakan untuk menemukan pula hikmah-hikmah lain dalam kehidupan kita sebagai sebuah bangsa dewasa ini.