Etos Kebangsaan, Perang Padri, PDRI dan PRRI (2)


Sejarawan Mestika Zed dengan jenial menghubungkan dua momentum penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia, yang kebetulan terjadi di ruang sosial-kultural yang relatif sama, yaitu daerah yang kini dinamakan Sumatera Barat, yang mayoritas dihuni oleh penduduk yang menyebut dirinya sebagai urang (orang) Minangkabau. Dua kejadian penting yang dialami oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat dalam sejarahnya dengan negara kebangsaan Republik Indonesia itu ialah: pertama, peristiwa PDRI, yang di atas telah digambarkan; dan kedua, PRRI, yang berlangsung satu dekade kemudian. Dalam buku sejarah resmi, kedua kejadian itu seolah-olah berdiri pada dua titik berlawanan dari satu garis kesejarahan yang sama, sebagai penyelamat kedaulatan republik di satu titik, dan sebaliknya, sebagai perongrong kedaulatan republik di titik lain.

Lebih satu abad sebelum peristiwa PDRI dan kemudian PRRI, urang Minang telah terlibat dalam peristiwa dramatik “perang padri”, di mana sejarah umumnya mencatat mereka– dalam hal ini berarti para penganut adat— justru sebagai pihak antagonis yang layak dipersalahkan atas prahara itu. Urang Minang –yang datang untuk meminta pertolongan kampeni dagang Belanda di Padang, terdiri atas belasan datuak yang mewakili otoritas adat Minangkabau— dianggap telah memberi jalan kepada marsose Belanda untuk menerobos masuk ke pedalaman Minangkabau, dan selanjutnya menancapkan kuku-kuku kolonialismenya di jantung Sumatera. 


Namun bolehlah kiranya kita memandang pula “perang padri” dari sudut yang berbeda. Perang yang berlangsung selama hampir 35 tahun itu dapat dilihat pula sebagai bentuk upaya mempertahankan kedaulatan republik-republik kecil yang dinamakan nagari dari rongrongan sebuah gerakan yang berniat menghapuskan berbagai budaya dan tradisi. Kebiasaan-kebiasaan yang sekian lama telah menjadi lembaga sosial, yang selain dapat dilihat sebagai ‘kesenangan’ belaka –atau bid’ah dalam terminologi kaum paderi— sebenarnya juga telah menjadi ruang-ruang komunikasi dan sosialisasi. Ruang-ruang dengan mana satu nagari menjalin saling pengertiannya dengan nagari yang lain, melalui orang-orang yang hadir di ruang itu, dan merepresentasikan nagari-nya masing-masing. Artinya, tindakan kaum adat dalam perang paderi juga dapat dilihat  sebagai upaya untuk mempertahankan sebuah undang-undang bernama adat-istiadat, dari serangan pihak lain. 


Labih jauh, ada fakta yang lebih menarik perihal perang paderi ini. Common enemies telah membuat ratusan nagari yang relatif berdiri secara otonom mendapatkan stimulan untuk membaca ulang identitasnya. Atas dasar itu, identitas yang salingkuang nagari (selingkung negeri) berubah menjadi lebih besar, hingga mereka merasa memiliki identitas yang sama, identitas sebagai bangsa Minangkabau. Tiba-tiba tercipta sebuah federasi antar nagari, untuk melawan kekuatan besar yang tengah mengancam, yaitu kaum paderi dengan ideologi wahabbi-nya. Sebuah ideologi yang dipandang mengancam toleransi dan saling pengertian di antara berbagai pihak di ranah Minangkabau. Namun tidak berhenti sampai di sana, identitas itu bahkan kemudian meluas, hingga mempersatukan pula berbagai kelompok yang tadinya bersengketa, untuk merasa memiliki persamaan nasib sebagai yang sedang terancam kolonialisasi. Kaum paderi dan kaum adat kemudian berbalik arah, bahu-membahu memerangi Belanda. 


Boleh jadi terdapat motivasi yang sedikit berbeda di antara kedua kaum dalam masyarakat Minangkabau tempo dulu itu. Bagi kaum paderi, perang itu adalah bagian dari tugas menegakkan kalimatullah dan haq, sedang bagi kaum adat, perang itu merupakan bagian dari tugas membela tanah ulayat, tanah pusako niniak-moyang. Namun yang jelas, sebuah situasi yang mengancam, yang mendesak, yang genting, telah mendorong kedua pihak untuk menemukan irisan kepentingan, dan akhirnya membangun front perjuangan bersama. Lebih jauh, membangun identitas bersama, sebagai sebuah bangsa yang tengah terancam oleh kedatangan kolonial di tanah airnya. Perbedaan ideologis yang lebih sempit dilupakan, demi persamaan ideologis yang lebih luas. Ideologi sebuah bangsa yang berdaulat. 


Dilihat dari latar belakang perang paderi itu, maka kehadiran PDRI di Sumatera Tengah lebih satu abad kemudian adalah sesuatu yang lumrah, mengingat etos perlawanan dan persatuan itu sudah mendarah daging bagi masyarakat di daerah ini. Etos yang dengan segera dapat muncul dari setiap ancaman, setiap keadaan terdesak, yang dapat dengan segera pula menghilangkan beraneka perbedaan, dan mencuatkan irisan kepentingan serta solidaritas. Solidaritas sebagai ‘ satu bangsa’. 


Namun ada pula hal yang menarik lainnya dari dua peristiwa berikutnya, yakni PDRI dan PRRI. Selain kesamaan lokasi geografis, PDRI dan PRRI juga dipertautkan oleh kesamaan beberapa tokohnya yang terlibat. Syafrudin Prawiranegara dan Mohammad Natsir, dua tokoh PDRI adalah juga dua orang yang dihubung-hubungkan dengan PRRI. Cukup impresif, bahwa orang yang sama, yang telah mempertaruhkan kehidupannya untuk memelihara Republik ini, satu dekade kemudian terlibat dalam satu gerakan yang dalam buku sejarah resmi dinamakan ‘pemberontakan’ PRRI, atau oleh masyarakat setempat dikenang sebagai peri-peri. PDRI sendiri dalam salah-satu versi cenderung dipandang sebagai ‘kudeta’ oleh Syafruddin Prawiranegara, sebab mandat Presiden Soekarno kepadanya lewat telegram tidak pernah sampai ke tangannya. Apalagi kewenangan yang agak ‘cacat administratif’ itu kemudian menimbulkan sejumlah friksi, antara lain perihal kelanjutan perang gerilya dan pilihan perjuangan diplomatik. Friksi antar elit politik dan militer yang memiliki konsekuensi besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. 


Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Mohammad Natsir, dua di antara tokoh PDRI ini kemudian hari memang sama-sama bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), sebuah gerakan di daerah Sumatera Tengah yang muncul sebagai bentuk protes terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno. Akibatnya, Mr Sjafruddin kemudian dipenjara selama 3,5 tahun oleh rezim Soekarno tanpa proses pengadilan, sementara Natsir kemudian dikenakan tahanan kota selama 2 tahun. Menariknya lagi, mereka berdua sama-sama dikenal sebagai tokoh yang begitu mencintai ‘republik’ ini. Jika Sjafrudin membuktikannya dengan menjadi inisiator dan ‘presiden PDRI’, maka Natsir adalah orang yang menentang bentuk negara serikat, dan memperjuangkan kembalinya Indonesia ke dalam bentuk negara kesatuan di tahun 1950, hingga kemudian ia diangkat menjadi perdana mentri oleh Soekarno. Natsir pulalah yang konon meyakinkan Sjafruddin untuk mengembalikan mandat PDRI kepada Soekarno-Hatta.


Tapi mengapa kedua orang ini kemudian sama-sama pula terhubung dengan PRRI? Jika kita dapat mengandaikan jawaban yang seharusnya sama dengan yang melatar belakangi mereka di masa PDRI, maka tentulah hal itu terjadi karena mereka merasa ada situasi yang mengancam Republik. Republik Indonesia yang mereka cintai itu. Mengancam ‘rasa’ persatuan dan kebersatuan nasib dan sejarah sebagai sebuah bangsa.