PDRI, Kekuatan dari Bangsa ‘Yang Terbayangkan’ (3)


Sebuah ujar-ujar usang bisa digunakan untuk memaknai PDRI secara sederhana, bahwa: “meraih sesuatu itu tidak mudah dan butuh perjuangan, namun mempertahankan apa yang telah diraih, jauh lebih sukar dan butuh perjuangan lebih keras.” PDRI adalah bukti dari upaya mempertahankan ‘apa yang telah diraih’ itu. Namun apakah sesungguhnya yang telah diraih dan harus dipertahankan? Sebuah negara-kebangsaan yang baru berumur 3 tahun? Sebuah republik yang barangkali tidak terbayangkan bentuk keseluruhan wilayahnya di kepala Sjafruddin maupun Natsir karena –tidak  seperti kita sekarang—mereka tidak bisa memiliki ingatan bergambar (pictorial memory) tentang gugusan pulau-pulau yang membentuk Indonesia seperti dalam peta? 

Namun barangkali tidak sukar untuk membayangkan apa yang dipikirkan Syafrudin Prawiranegara ketika ia memilih untuk menjadi Ketua (baca: Presiden) PDRI. Demikian pula yang terfikirkan oleh Natsir ketika ia memutuskan pulang ke Sumatera untuk berdialog dengan Sjafruddin. Jelas, keduanya cukup paham resiko yang harus dihadapinya. Namun apakah kira-kira yang dipikirkan sang pemilik rumah yang kemudian menjadi markas besar PDRI di Bidar Alam? Atau pemilik rumah yang menjadi tempat perundingan Sjafrudin-Natsir di Padang Japang? Hal yang kira-kira terpikirkan oleh para gerilyawan yang bersabung nyawa menjaga tempat persinggahan para pimpinan PDRI itu? Yang kira-kira ada dalam benak penduduk nagari yang mereka singgahi? 


Sebenarnya kita dapat membaca bayangan tentang ‘hal yang diraih dan harus dipertahankan’ itu sejak M. Yamin dan para penulis sezamannya (antara lain Sanusi Pane) di tahun 1920-an menulis naskah drama perihal kejayaan kerajaan nusantara di masa lalu –antara lain melalui naskah drama Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (1932), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Kertajaya (1932), dan Sandhyakala Ning Majapahit (1933). Dari situ terbayang bahwa negara Indonesia merdeka yang tengah dibangun itu, yang tengah diperjuangkan itu, dibayangkan adalah negara-bangsa yang sama dengan negara yang coba dibangun wangsa-wangsa dari kerajaan-kerajaan kuat di kepulauan ini pada masalalu. Hal yang secara implisit terlihat pula dalam kumpulan sajak Indonesia, Tumpah Darahku (1928) –yang terbit bertepatan dengan Kongres Pemuda yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda— di mana Mohammad Yamin mengungkapkan kebesaran dan keagungan Nusantara itu melalui ungkapan tentang Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Samudra Pasai. Atas dasar itu kemudian ia katakan dalam salah satu sajaknya: “Kita Sedarah Sebangsa / Bertanah Air di Indonesia.”


Pernyataan yang merefleksikan keyakinan Yamin itu mengarahkan kita untuk berefleksi pada apa yang diketengahkan Ania Loomba –seorang teoritisi poskolonial— bahwa sejarah sebuah bangsa seringkali seolah-olah baru dimulai ketika kolonial datang dan merubah kebudayaan mereka. Demikian pula halnya dengan sejarah Indonesia. Seolah-olah kita baru menjadi sebuah entitas sebagai bangsa semata-mata karena memiliki sejarah yang sama: sama-sama pernah dijajah Belanda. Bayangkan, bahwa selama bertahun-tahun dengan yakin kita akui penjajahan itu pernah berlangsung selama tiga setengah abad. Sebuah keyakinan yang bukan saja secara berangsur melunturkan kepercayaan diri kita sebagai bangsa yang merdeka, namun membuktikan pula ketangguhan kolonialisme Belanda. Hal yang sama selanjutnya bukan tidak mungkin telah menjadi dalih dari kekacauan dalam negeri kita. Seolah-olah kita harus bermohon agar sebuah negeri adikuasa kembali menjajah dan membuat ketertiban (rush in order).


Padahal jika kita membaca lebih jauh temuan-temuan arkeologis dan kesejarahan perihal Nusantara, kita akan menemukan banyak bukti bahwa bangsa ini telah dipersatukan oleh berbagai irisan, jauh sebelum bangsa Eropa mengenalinya. Bukan saja berkaitan dengan keberhasilan Sriwijaya, Majapahit, Melayu dan Samudra Pasai dalam menguasai dan mempersatukan sebagian besar wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia, namun juga gambaran-gambaran peradaban sebelum itu. Catatan-catatan perjalanan bangsa Tionghoa sejak berabad lalu yang menyebutkan sebuah kawasan bernama Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan), catatan kuno bangsa India mengenai ‘Dwipantara’ (Kepulauan Tanah Seberang), atau kawasan yang dinamakan oleh bangsa Arab sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa), tidak lain adalah bangsa yang tinggal di gugusan pulau ini. 


Risalah-risalah itu, yang telah menjadi penunjuk arah bagi bangsa-bangsa Eropa untuk menemukan daerah yang mereka namakan ‘Hindia Belakang’ –karena mereka cenderung mempersamakan Asia dengan Hindia, secara tidak langsung membuktikan, bahwa negeri kepulauan yang dikenal dengan berbagai julukan ini –antara lain “kepulauan Hindia” (Indian Archipelago), “Hindia Timur” (East Indies), dan “Kepulauan Melayu” (Malay Archipelago) telah diidentifikasi sebagai sebuah kesatuan sejak berabad-abad silam oleh berbagai bangsa di dunia. Hikmah itulah yang ditangkap oleh kolonial Belanda ketika mencantumkan nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda), yang diikuti oleh pemerintah pendudukan Jepang dengan memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Tanah air yang sama, yang didiami oleh bangsa yang sama pulalah yang kemudian dinamakan Eduard Douwes Dekker secara spesifik sebagai ‘Insulinde’ (Kepulauan Hindia). Sebuah daerah yang kemudian diperkenalkan oleh James Logan dan George Earl dengan perkataan ‘Indunesia’ (kepulauan hindia). Dan mudah diduga, hikmah itu pula yang dimaknai para founding father Republik ini ketika memilih bentuk negara kesatuan.
 

Baik Earl maupun Logan, barangkali tidak menyadari bahwa mereka telah menyumbangkan sebuah identitas bersama bagi penduduk kepulauan nusantara, yang bertahan selama puluhan tahun kemudian. “Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi ‘Orang Indunesia’ atau ‘Orang Malayunesia,” kata mereka. Perkataan yang kemudian melahirkan istilah ‘Indonesia’ itu, dikukuhkan Adolf Bastian (1826-1905) melalui lima volume buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu)-nya itu. Sebuah identitas yang kemudian disadari oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), hingga ia memproklamirkan dirinya sebagai warga Indonesia, saat dibuang ke negeri Belanda tahun 1913. Sejak itu, nama Indonesisch (Indonesia) mulai digunakan menggantikan Indisch (Hindia) dan inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesier (orang Indonesia).
 

Untuk kepentingan identitas itu, ada baiknya memikirkan kemungkinan kebenaran teori Prof. Santos tentang kemungkinan lokasi Atlantis di Nusantara. Sebuah kepulauan yang peradabannya telah dibangun selama ribuan tahun, sejak kedatangan –sebagaimana teori Franz dan Paul Sarasin— populasi orang-orang Vedda yang berbaur dengan orang-orang asli yang tersebar di seantero kepulauan. Bersama para imigran Vedda ini, penduduk asli nusantara yang menurut Vlekke hidup di masa mesolitik (zaman batu) diperkirakan telah ada sejak sekitar 15.000 tahun lalu. Mereka kemudian berinteraksi pula dengan dua gelombang manusia yang datang ke nusantara lebih kemudian, yaitu Proto-Melayu dan Deutero-Melayu (Palaemongoliden atau Monggol-Tua). Mereka yang datang belakangan ini diyakini berimigrasi sekitar tahun 3.000 SM, dari wilayah Cina Selatan (sekarang Provinsi Yunan) melewati semenanjung Indochina dan Siam, sampai kemudian masuk ke pulau-pulau di nusantara. Sementara itu, orang-orang Papua yang diklasifikasikan oleh Julles d’Urville sebagai orang Melanesia, telah dengan kokoh pula mendiami pulau Papua dan sekitarnya semenjak beribu-ribu tahun yang lalu.
 

Meski teori serupa yang sebenarnya telah dikemukakan oleh para ilmuwan Belanda (Prof. Dr. H. Kern dan Van Heine Geldern) kemudian ditentang oleh Prof. Mohammad Yamin, yang menyangkal bahwa orang Indonesia berasal dari luar kepulauan Indonesia, namun  identitas sebagai satu bangsa sejak beribu tahun lalu tetap tak terbantahkan. Yamin berkeyakinan bahwa orang Indonesia adalah asli berasal dari wilayah Indonesia sendiri. Bahkan, kata Yamin, bukan tidak mungkin bangsa inilah yang telah berdiaspora dan membentuk berbagai suku di luar Indonesia. Yamin melandaskan keyakinannya pada fakta bahwa fosil dan artefak yang ditemukan di Indonesia –misalnya fosil Homo Soloensis dan Homo Wajakensis yang tak ditemukan di daerah manapun di dunia ini—jauh lebih banyak dan lengkap daripada daerah di Asia lainnya.
 

Terlepas dari benar-tidaknya teori Yamin, namun kita bisa memahami upayanya untuk membangun identitas yang membanggakan bagi penduduk kepulauan ini. Sebuah identitas yang dibayangkan berhulu pada keaslian, sehingga benar, bahwa “Kita adalah pemilik sah republik ini,” seperti kata Chairil Anwar. Jika pun teori yang lain lebih benar, bayangan tentang nenek-moyang kita yang mengarungi samudra ratusan kilometer dengan perahu-perahu bercadik menuju kepulauan Indonesia, ataupun berjalan kaki berbulan-bulan –sebagaimana teori Geldern yang didukung oleh penemuan sejumlah artefak perwujudan budaya yang ditemukan di Indonesia yang mempunyai banyak kesamaan dengan yang ditemukan di daratan Asia— tetaplah membangun identitas sebagai satu bangsa yang tak kurang membanggakannya.
 

Yang jelas, segala risalah-risalah itu membuktikan bahwa bangsa ini memang dipersatukan dan dipertautkan oleh kesamaan sejarah. Namun bukan sejarah yang menyatakan persamaan nasib sebagai etnik-etnik yang pernah dibawah kolonialisme Belanda semata, namun lebih jauh, sebuah sejarah tentang hubungan dialektik ribuan tahun sebagai sebuah nusantara. Sebuah hubungan saling menghormati antara kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat. Sebuah kawasan sekaligus peradaban di mana berbagai suku-bangsa menjaga kedamaian dan ketentraman demi kemakmuran bersama berbagai suku bangsa. Artinya, bayangan tentang  Indonesia sebagai satu ‘bangsa’ ini telah diwariskan turun temurun. Boleh jadi melalui bayangan sebagai anak-cucu Alexander Agung, sebagaimana diyakini urang Minang dan para pembangun Sriwijaya. Yang jelas, Indonesia memang selalu dibayangkan adalah satu, sebagai apa yang dinamakan Benedict Anderson sebagai ‘komunitas terbayang’ (imagined comunity) atau oleh Radhar Panca Dahana dinamakan ‘Identitas Terbayang’. Sebagai satu bangsa: bangsa Indonesia. Harga sebagai bangsa besar itulah, yang dibayarkan tunai oleh masyarakat Padang Japang dan Bidar Alam ketika menerima Natsir dan Sjafrudin bersama PDRI-nya, demikian pula oleh para gerilyawan yang bersabung nyawa menjaga tempat persinggahan para pimpinan PDRI itu.