Darurat, Kata Kunci PDRI: Merawat Indonesia (yang) Darurat 4


Setiap tekanan melahirkan gaya balik. Itu hukum alam, prinsip fisika. Archimedes yang hidup 2 abad sebelum Isa adalah orang pertama yang berteori perihal itu. Tekanan untuk membuktikan keaslian mahkota emas milik Raja Hieron II membuat Archimedes berfikir keras. Karena tidak juga menemukan jawaban, Archimedes yang letih mencoba mengobati kelelahannya dengan menceburkan dirinya dalam bak mandi  penuh air. Dari situ ia justru mendapatkan jawaban. Memperhatikan air yang tumpah ke lantai dari dalam bak, ia justru bisa menciptakan hukum Archimedes yang terkenal itu. Dan semuanya muncul dari kondisi yang mendesak, yang melahirkan keberanian untuk bertindak. Seperti Archimedes pula, ancaman akan hilangnya identitas bersama sebagai sebuah bangsa, hilangnya identitas yang terbangun dari sejarah ribuan tahun telah menggugah kesadaran Sjafruddin dan Natsir, dan akhirnya melahirkan PDRI.

KBBI menguraikan kata ‘darurat’ sebagai: keadaan yang sukar, yang tidak dapat disangka-sangka; keadaan terpaksa; keadaan sementara. Berangkat dari situ, kita bisa melihat PDRI sebagai sebuah pemerintahan yang diciptakan oleh situasi yang mendesak, menekan. Namun PDRI adalah gambaran nyata perihal keberanian mempertahankan negara kebangsaan. Pada saat yang sama kita mungkin perlu pula mengingat bahwa keberanian itu bukan saja berasal dari beberapa tokoh belaka. Tanpa mengurangi rasa hormat kita pada Syafrudin Prawiranegara, Mohammad Natsir dan lain-lain, kita juga harus mengingat betapa beraninya rakyat Sumatera Tengah menerima peran itu. Sebuah peranan, yang pada waktu itu berpotensi membuat wilayah mereka, kampuang halaman mereka menjadi sasaran serangan Belanda. Pada titik ini kita boleh meminjam refleksi seorang penyair dan dramawan Jerman, Bertholt Brecht, bahwa ketika kita mengingat Imam Bonjol, jangan lupakan ratusan jasad yang bergelimpangan di sepanjang jalan perjuangannya. Ketika kita mengingat Borobudur, jangan lupakan berjuta-juta jiwa yang ditumbalkan untuk menciptakan bangunan agung itu. 


Sebuah pikiran sederhana tentang Indonesia yang terbagi-bagi, agar dapat menjadi republik-republik mandiri yang relatif lebih mudah dikelola, tentulah merupakan godaan yang dapat menerpa siapa saja akhir-akhir ini, di tengah riuh-rendahnya persoalan berbangsa. Namun kita tentu dapat belajar banyak dari Uni Soviet dan Yugoslavia, bahwa republik-republik kecil yang berbasiskan kesadaran etnosentris itu tidak pernah bisa melampui negara besar yang pernah menaungi mereka. Jika Amerika Serikat, sebuah negara bangsa yang dibangun dari ratusan etnik berbeda, belasan ras dan religi berlainan saja dapat memiliki banyangan tentang persatuan mereka sebagai sebuah bangsa, mengapa kita tidak.
 

Memahami sejarah dan drama bangsa-bangsa di kawasan yang dinamakan Dr. Douwes Dekker sebagai insulinde ini, kita akan menemukan bahwa kondisi ‘darurat’ akan selalu ada. Namun kita harus bisa pula berteriak seperti Archimedes; “Eureka! Eureka!” (“Telah Kutemukan! Telah Kutemukan!”). Setiap saat kita harus bisa menemukan jawaban atas suatu kondisi darurat yang mengancam identitas dan hubungan sejarah sebuah bangsa besar: Indonesia. Sebuah bangsa yang diyakini memiliki nenek moyang yang sama, yang datang bertahun lalu melalui semenanjung, berjuang untuk menyatukan dirinya dengan manusia purba di tanah yang didatanginya. Sebuah bangsa yang gigih, yang melintasi ribuan kilometer atau bertahan dan bersikap terhadap berbagai kedatangan, untuk membangun sebuah peradaban di atas tanah yang kaya dan indah. Sebuah bangsa yang dibangun dari nenek moyang yang tangguh. Yang melewati silih berganti perang, untuk menciptakan peradaban yang lebih baik. Sebuah bangsa yang telah dibayangkan sebagai sebuah bangsa besar sejak beribu tahun lalu. Bayangan yang telah mendorong Gadjahmada melahirkan Sumpah Palapanya yang terkenal itu. Bayangan yang sama pula yang mendorong Sumpah Pemuda dan Proklamasi 1945 berabad-abad setelahnya. Bayangan yang sama yang melahirkan PDRI.

Merawat Indonesia (yang) Darurat
Jika sebuah negara bangsa yang baru didirikan beberapa tahun saja punya makna melebihi nyawa bagi Syafrudin, Natsir, dan rakyat Sumatera Tengah, bagaimana mungkin kita menganggap Republik yang tengah mendekati umurnya yang ke 70 ini tidak terlalu penting? Bayang-bayang –meminjam istilah yang makin populer digunakan— etno-nasionalisme mungkin kini akan mulai menghantui. Kondisi kekinian bangsa ini memang harus kita akui sedikit banyak membuat teriakan Sjahrir tentang Republik Indonesia Serikat seperti bergaung pelan. Begitupun dengan jargon Tan Malaka tentang sovyet Indonesia. Namun kita harus ingat bahwa betapapun negara federasi yang diusulkan Sjahrir atau sovyet-nya Tan Malaka tetaplah mengandung makna “Indonesia” yang utuh, segugusan pulau di nusantara ini tanpa kecuali. Dan bukannya serpihan-serpihan bangsa-bangsa kecil. 


“Salah satu tes sejati dari kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengenali masalah sebelum menjadi keadaan darurat,” kata Arnold Glasow, seorang humoris berkebangsaan Amerika. Tapi membuat prediksi membutuhkan kepekaan tertentu. Orang tidak akan pernah selalu waspada jika ia tidak menciptakan kesadaran dalam dirinya bahwa tidak ada yang benar-benar aman, selain dari menjaga kewaspadaan itu sendiri. Kita bisa merefleksikan kata-kata ini menjadi lebih luas, bahwa bangsa yang besar harusnya memiliki kepekaan akan kondisi darurat ini. Di satu sisi, bolehlah kita katakan bahwa semangat sebagai bangsa yang sama-sama tengah dijajah pernah menjadi perekat yang kuat di masa lalu, dan menjadi stimulus bagi perjuangan bersama di masa pergerakan kebangsaan. Namun di masa sekarang, ikatan sebagai sebuah bangsa besar yang setiap saat terancam dapat berubah menjadi kepingan-kepingan kecil harus dipelihara. Agar kita selalu waspada. Selalu siap untuk kondisi darurat.
 

Kita harus mulai menghargai ribuan tahun perjalanan bangsa ini. Sejarah sebuah bangsa besar yang telah sanggup menggerakkan Sjafrudin, Natsir dan masyarakat Sumatera Tengah untuk menginisiasi PDRI. Sejarah panjang yang selalu dapat kita pertimbangkan: apakah setimbang untuk diruntuhkan untuk kepentingan-kepentingan sesaat? Sehingga banyak orang dari bangsa ini akan memiliki etos untuk bertindak menyelamatkan nilai sejarah itu. Apalagi, PDRI telah pula memberi pelajaran bahwa: pertama, bangsa ini tidak tergantung pada figur tertentu. Siapapun dapat dibesarkan oleh momentum darurat untuk menjadi figur penting; Kedua, negara kebangsaan ini, akan tetap utuh meski hanya diperjuangkan oleh sedikit orang saja. Sedikit orang yang memahami sejarah segugusan pulau-pulau di nusantara ini. 

Krisis kepemimpinan kita, krisis keteladanan yang dialami bangsa ini, boleh jadi bersumber dari semakin minimnya orang yang memiliki kepekaan akan kedaruratan, akan krisis. Padahal, pembelajaran berharga dari sejarah nusantara adalah bahwa bangsa ini dibangun dan dibangunkan selalu melalui suatu situasi darurat. Bahwa identitas Indonesia yang besar itu adalah akumulasi dari identitas ribuan tahun sejarah migrasi, adaptasi, resistensi dan jatuh-bangun berbagai rezim. Bangsa Indonesia, atau sekumpulan suku bangsa yang berdiam dalam wilayah kepulauan ini sejak awal sejarahnya telah dipertautkan oleh beragam kesamaan yang setimbang dengan keberagamannya. Karena itu, kita harus mulai percaya bahwa berbagai situasi darurat yang dilalui bangsa ini adalah laksana bata-bata yang telah menyusun sebuah bangunan kebangsaan. Semakin banyak, semakin teratasi, ia akan menjadi jaminan bagi kebesaran bangsa ini. Ia akan menambahkan kekokohan dan ketangguhan kita sebagai sebuah bangsa.


Artinya, kita harus merawat ketegangan (kesadaran dramatik) dalam diri masing-masing, bahwa Indonesia sebagai komunitas dan identitas bersama, senantiasa dapat berada adalam kondisi yang darurat. Melalui kepekaan atas Indonesia (yang) darurat itu, kita bisa pula memaknai terus menerus ikhwal kebangsaan kita. Bukan berarti kita mengharapkan kedaruratan itu muncul dari persitegangan antar etnik, golongan dan agama, terus menerus. Bukan pula berarti kita akan membuat pemaafan (jalan melarikan diri) dengan mengatakan bahwa perseteruan adalah lumrah. Tapi dengan memahami bahwa negara-bangsa ini memang tidak dibangun atas fondasi agama tertentu ataupun kesukuan tertentu. Melainkan oleh toleransi dan kebanggaan akan identitas bersama: sebuah bangsa besar bernama Indonesia. Lagi pula, bukankan sifat alam adalah dialektik? Kedaruratan akan selalu ditimbulkan oleh alam. Sebagai sebuah bangsa kita masih menghadapi pemanasan global, imperialisme budaya, dan perdagangan bebas. Semua itu harus selalu dimaknai sebagai kondisi yang darurat. Semua orang harus bersiap berdiri di barisan paling depan. Menjadi Syafrudin Prawiranegara, Mohammad Natsir, rakyat Sumatera Tengah, dan PDRI untuk menghadapi semua itu. Setiap saat, Indonesia adalah Indonesia yang darurat, dan PDRI untuk bangsa ini harus terus siaga dan diperbaharui!