Penanda paling tegas dari tercapainya otonomi daerah di Indonesia, tentulah pemilihan kepala daerah langsung. Betapapun masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam proses pemilihan langsung tersebut, namun keterlibatan rakyat dalam pemilihan kepala daerahnya sendiri, merupakan satu instrumen penting dalam proses membudayakan demokrasi. Kenyataannya, kepala-kepala daerah yang bermunculan dalam era otoda, di Sumatera Barat misalnya, sungguh pun masih dengan berbagai kekurangan di sana-sini, telah merepresentasikan dengan baik sumber daya manusia terbaik yang dimiliki masing-masing daerah. Demikian pula, meski kenyataannya hingga kini masih terdapat beberapa kabupaten yang belum berhasil dengan baik dalam memajukan daerahnya, namun tentu saja hal itu tidak perlu membuat orang kehilangan objektivitas, untuk mengakui bahwa tidak sedikit daerah yang telah berhasil mengembangkan potensi daerahnya untuk sebanyak mungkin meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dilihat dari perspektif budaya lokal Sumatera Barat, yang secara mayoritas dihuni oleh masyarakat Minangkabau, pemilihan kepala daerah langsung serupa ini relatif lebih mudah diterima dan relefan dengan konsep pemilihan pimpinan dalam tradisi dan adat Minangkabau itu sendiri. Sejak zaman dulu, masyarakat Minangkabau terbiasa memilih pimpinan adatnya, yang lazimnya dinamakan pangulu atau datuak, melalui mekanisme dan prinsip-prinsip yang demokratis. Oleh sebab itu, pemilihan kepala daerah langsung di masa otoda, sejatinya bagi masyarakat Sumatera Barat adalah proses revitalilasi prinsip-prinsip demokrasi lokal dan egalitarianisme yang cukup lama tervakumkan.
Melalui kesempatan yang diberikan oleh pelaksanaan otoda pula, kini masyarakat Sumatera Barat dapat mengembangkan sistem pemerintahan daerahnya menjadi berbasis pada kesatuan sub-budaya. Pengembangan wilayah kabupaten, atau yang lazim dinamakan sebagai ‘pemekaran wilayah’ sejatinya telah terjadi menurut alua jo patuik (alur dan patut) budaya lokal. Jika pada masa orde baru, provinsi Sumatera Barat memiliki 14 wilayah tingkat II, maka kini terdapat tambahan 4 kabupaten baru, yakni: Pasaman Barat, Kepulauan Mentawai, Dharmasraya, dan Solok Selatan. Selain karena alasan wilayah yang terlalu luas, perbedaan karakter sosio-budaya, mungkin tanpa disadari, telah melandasi kebutuhan pemekaran wilayah ini. Kepulauan Mentawai yang semula berada di bawah kesatuan wilayah Kabupaten Padang Pariaman misalnya, memiliki budaya yang jauh berbeda dari masyarakat Minangkabau pesisiran Sumatera Barat di Pariaman. Oleh sebab itu, berdirinya Kepulauan Mentawai sebagai kabupaten yang otonom, secara signifikan akan memberi kesempatan kepada masyarakat setempat untuk mengelola sumber daya manusia, alam, dan budayanya sendiri. Demikian pula halnya dengan kabupaten-kabupaten baru di Sumatera Barat lainnya.
Sebagai turunannya, di Era Otoda pula Sumatera Barat kembali dapat merevitalisasi kepemerintahan nagari yang dipimpin oleh seorang wali nagari. Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan terkecil dalam masyarakat Minangkabau ini sempat divakumkan melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1979, yang diturunkan melalui Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Barat No. 13 tahun 1983, tentang berlakunya sistem pemerintahan desa di Sumatera Barat. Hal ini merupakan implikasi dari program Orde Baru untuk menerapkan sistem kepemerintahan desa terhadap seluruh wilayah Indonesia, dengan kata lain membuat penyeragaman sistem pemerintahan.
Pemberlakuan sistem pemerintahan desa di Sumatera Barat ini, di masa lalu telah menimbulkan berbagai persoalan sosial-budaya. Peraturan ini telah mempersempit peranan tokoh-tokoh masyarakat dalam adat Minangkabau. Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang sebelumnya memegang peranan penting dalam kepemerintahan nagari, di masa itu hanya diakui sebatas pada penerapan hukum adat tertentu. Di atas kertas, KAN memang masih diberi kewenangan yang cukup ideal, antara lain: (1) mengurus dan mengolah hal-hal yang berkaitan dengan adat sehubungan dengan sako dan pusako; (2) menyelesaikan perkara-perkara adat dan istiadat; (3) mengusahakan perdamaian dam memberikan kekuatan hukum terhadap anggota masyarakat yang bersengketa serta memberikan kekuatan hukum menurut adat; (4) mengembangkan kebudayaan masyarakat nagari dalam upaya melestarikan kebudayaan daerah; (5) menginventaris, menjaga, memelihara, serta memanfaatkan kekayaan nagari guna mensejahterakan kehidupan masyarakat nagari; (6) membina dan mengkoordinir masyarakat hukum adat dalam rangka meningkatkan kesadaran sosial dan semangat gotong royong; (7) mewakili nagari dan bertindak atas nama dan untuk nagari dalam segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan untuk kepentingan dan atau hal-hal yang menyangkut dengan hak dan harta kekayaan milik nagari.
Cukup disayangkan, meski pada tataran konseptual kewenangan KAN tersebut masih meliputi banyak aspek ideal, namun dari aspek sosio-budaya, kebijakan untuk memberlakukan pemerintahan Desa di masa Orde Baru telah membuat KAN menjadi tidak efektif. Persoalannya, kewenangan–kewenangan ideal KAN tersebut pada dasarnya terkait erat dengan efektifnya pemerintahan nagari, yang notabene di masa Orde Baru tidak lagi difungsikan. Sebaliknya, di Sumatera Barat pada waktu itu justru terjadi benturan-benturan antara kebijakan KAN yang menggunakan perspektif sosio-kultural, dengan kebijakan Desa yang administratif. Benturan-benturan itu semakin meluas seiring dengan melemahkan tatanan adat dan semakin rendahnya wibawa dari lembaga adat masyarakat Minangkabau tersebut. Akibatnya, keterikatan antara anggota kaum dan pimpinan kaum, kerukunan antara kaum (suku) yang semula begitu kental dalam masyarakat Minangkabau akhirnya ikut melemah dan mengalami perubahan yang cukup mendasar. Kenyataan Masyarakat Minangkabau di masa Orde Baru itu, seolah menjadi bukti dari teori M. Munandar Soelaiman, bahwa penyeragaman sistem pemerintahan Desa di masa Orde Baru telah menimbulkan tidak saja perubahan struktur, namun ternyata juga perubahan kultur dan interaksi sosial dalam masyarakat.
Mengingat apa yang terjadi dengan KAN di masa Orde Baru itu, maka bukan sesuatu yang mengagetkan bila Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi dengan kasus agraria tertinggi di Indonesia. Menurut data BPN yang dilansir harian Haluan, di tahun 2010 kasus sengketa lahan di Sumatera Barat mencapai 883 kasus. Persoalannya berakar pada sistem pengelolaan dan kepemilikan tanah pusako (pusaka) yang secara kultural dalam masyarakat Minangkabau dilakukan secara kolektif berdasarkan ketentuan adat. Kepemilikan secara pribadi atas suatu lahan, adalah hal yang harus dilakukan atas suatu mekanisme tertentu yang diatur pula secara adat. Hal inilah yang seringkali ‘dilangkahi’ dalam masa-masa Orde Baru, seiring dengan melemahnya fungsi-fungsi KAN. Bahkan lebih jauh, penetrasi negara dalam urusan pemilikan tanah masyarakat Minangkabau di masa Orde Baru, yang sebagian besarnya demi logika-logika kapitalisme yakni mendapatkan tanah bagi perluasan bisnis perkebunan, menyisakan persoalan yang berpotensi konflik horizontal sekaligus vertikal.
Persoalan-persoalan yang tidak semata persoalan agraria melainkan juga persoalan sosio-kultural tersebut hingga kini banyak yang belum terselesaikan. Faktor penghambatnya sebenarnya karena persoalan-persoalan itu melulu didekati secara administrasi negara dan hukum positif, tanpa menimbang peran vital perspektif kultural. Kembalinya pemerintahan nagari di Sumatera Barat pada masa otoda dewasa ini, ternyata juga tidak serta merta membuat berbagai persoalan budaya lokal masyarakat Minangkabau tersebut dapat segera terselesaikan. Persoalannya untuk meengefektifkan kembali peranan nagari secara sosio-kultural dan sekaligus secara administratif, bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Demikian pula untuk mengefektifkan kembali peranan KAN. Setelah sekian lama vakum, kedua lembaga dalam budaya Masyarakat Minangkabau tersebut praktis juga telah mengalami keterputusan tradisi dan generasi. Akibatnya, nagari tetap dikelola layaknya pemerintahan desa, sementara KAN dikelola seperti ormas politik. Proses transformasi menuju bentuk pemerintahan nagari di Sumatera Barat pun semakin diperburuk dengan ‘logika’ umum yang menjadi bagian dari euforia otoda, yang membuat jabatan Wali Nagari menjadi jabatan politik yang diperebutkan. Alih-alih menjadi jalan keluar dari sentralisasi dan konsentrasi, program “kembali ke nagari” malah menimbulkan masalah baru, yakni gesekan antar kekuatan politik lokal Sumatera Barat.
Salah satu jalan keluar tentunya adalah adanya regulasi tentang nagari-nagari di Sumatera Barat, yang dapat menjamin efektifitasnya sebagai sistem pemerintahan, baik secara kultural, sekaligus secara administratif kenegaraan. Beberapa harapan tampaknya ada, antara lain RUU tentang Desa yang sedang diperjuangkan oleh Asosiasi Pemerintah Daerah Seluruh Indonesia (APKASI), yang diproyeksikan akan mengatur tentang: (1) pembentukan, penggabungan, penghapusan dan perubahan status desa; (2) kewenangan desa; (3) keuangan desa. Demikian pula dengan Perda tentang nagari dan tanah ulayat yang telah dikeluarkan oleh provinsi Sumatera Barat, bahkan telah diturunkan dalam bentuk perda kabupaten.
Namun demikian, tetap saja berbagai regulasi tersebut belum secara signifikan dapat menyelesaikan berbagai persoalan budaya di Sumatera Barat, yang terjadi akibat transformasi sosial yang tengah terjadi dalam kerangka otoda. Kenyataannya penetapan berbagai regulasi tersebut belum diikuti dengan perubahan paradigma masyarakat Sumatera Barat itu sendiri tentang nagari. Eksistensi nagari dewasa ini di Sumatera Barat baru pada tataran perubahan nama satuan pemerintahan terkecil belaka, belum pada perubahan fungsi yang signifikan. Nagari baru otonom dalam pengertian pengelolaan terhadap anggaran, yang notabene datang dari satuan pemerintahan yang setingkat di atasnya, namun belum pada kemampuan inisiatoris untuk mengelola sumber daya alam, manusia, apalagi budayanya masing-masing.
Hal yang cukup mengkhawatirkan pula sebenarnya adalah kemampuan para kepala daerah ‘baru’ untuk memahami konsep-konsep kebudayaan lokal, dan akhirnya menciptakan konsep yang tepat dalam pengelolaannya. Contoh paling dekat tampak dalam pemilukada kota Padangpanjang tahun 2013 ini. Dari lima pasang calon wako-wawako yang lolos verifikasi, tidak ada satu pasangan calon pun yang memajukan kebudayaan dalam agenda program pembangunannya. Pada tataran daerah tingkat satu, kondisinya ternyata tidak jauh lebih baik. Data yang dilansir Bappeda Sumatera Barat menunjukkan bahwa konsep kebudayaan lokal Sumatera Barat dipahami hanya meliputi pelaksanaan adagium “Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah” (ABS-SBK). Sungguhpun pelaksanaan hal itu pada prinsipnya telah mengedepankan salah satu ciri budaya lokal, namun terlalu sedikit untuk merepresentasikan kebudayaan daerah Sumatera Barat secara umum. Apalagi ketika diturunkan dalam bentuk program yang terkait dengan penggunaan anggaran daerah, pelaksanaan ABS-SBK itu pun hanya mengambil 5% saja dari keseluruhan APBD Sumatera Barat pada tahun 2012, dan kemudian turun pula menjadi hanya 1% pada tahun 2013.
Belum lagi jika mengingat bahwa dunia pendidikan, di mana paradigma masyarakat dapat diubah, dan nilai-nilai terbaik dari kebudayaan dapat diinternalisasi dan dienkulturasikan kepada generasi yang lebih muda, belum mengalami perubahan yang berarti. Bahkan boleh dikatakan, bahwa penerapan otoda di Sumatera Barat, yang salah satunya ditandai dengan kembali diaktifkannya pemerintahan nagari, belum mengambil tindakan berkearifan lokal apa pun terhadap dunia pendidikan. Ambil contoh dua protipe pendidikan tertua di Sumatera Barat, yakni INS Kayutanam dan Thawalib Padangpanjang, yang sebenarnya merupakan bukti keberhasilan para konseptor pendidikan Sumatera Barat di masa lalu untuk menggabungkan budaya lokal dengan modernitas dan religiusitas. Kedua lembaga itu kini mengalami masa-masa sulit, mulai dari kesulitan keuangan hingga kesulitan dalam mencari format pengelolaan yang selain mempertahankan filosofi pendidikannya, juga dapat menjawab kebutuhan ‘dunia baru’. Intervensi pemerintah daerah yang diharapkan dapat menyelamatkan nilai sejarah dan budaya yang dimiliki kedua lembaga pendidikan tersebut, hingga kini tampaknya belum juga datang.
Padahal, kedua lembaga pendidikan ini telah terbukti telah melahirkan banyak SDM berkualitas di masa lalu. Konsep pendidikannya yang berangkat atas kepekaan kebutuhan kekinian di zamannya, yang terintegrasi dengan kesadaran akan nilai-nilai budaya lokal, jelas merupakan aset berharga yang tidak boleh begitu saja hilang dari ingatan kolektif masyarakat Sumatera Barat sendiri. Terdapat dua konsep lokal, yakni rantau dan surau yang diterjemahkan ke dalam bentuk pendidikan modern di kedua lembaga ini. Konsep pendidikan surau, yang menjadikan tempat ibadah bukan sekadar tempat mencari ilmu akhirat, namun juga ilmu dunia, tampak diimplementasikan di Thawalib Padangpanjang. Sementara itu, hakikan merantau, yakni menjelajahi dan memahami alam pemikiran berbagai bangsa di dunia, diterapkan dengan subtil oleh INS Kayutanam. Sayangnya, alih-alih mengoptimalkan potensi itu, pemerintah daerah tampak belum melihat bahwa kedua lembaga pendidikan tersebut kini “berada di ujung tanduk”.
Urgensi Lembaga Kebudayaan di Daerah dalam era Otoda