Setiap tekanan melahirkan gaya balik. Itu hukum alam, prinsip fisika. Archimedes yang hidup 2 abad sebelum Isa adalah orang pertama yang berteori perihal itu. Tekanan untuk membuktikan keaslian mahkota emas milik Raja Hieron II membuat Archimedes berfikir keras. Karena tidak juga menemukan jawaban, Archimedes yang letih mencoba mengobati kelelahannya dengan menceburkan dirinya dalam bak mandi penuh air. Dari situ ia justru mendapatkan jawaban. Memperhatikan air yang tumpah ke lantai dari dalam bak, ia justru bisa menciptakan hukum Archimedes yang terkenal itu. Dan semuanya muncul dari kondisi yang mendesak, yang melahirkan keberanian untuk bertindak. Seperti Archimedes pula, ancaman akan hilangnya identitas bersama sebagai sebuah bangsa, hilangnya identitas yang terbangun dari sejarah ribuan tahun telah menggugah kesadaran Sjafruddin dan Natsir, dan akhirnya melahirkan PDRI. KBBI menguraikan kata ‘darurat’ sebagai: keadaan yang sukar, yang tidak dapat disangka-sangka; keadaan terpaksa; keadaan sementara. Berangkat dari situ, kita bisa melihat PDRI sebagai sebuah pemerintahan yang diciptakan oleh situasi yang mendesak, menekan. Namun PDRI adalah gambaran nyata perihal keberanian mempertahankan negara kebangsaan. Pada saat yang sama kita mungkin perlu pula mengingat bahwa keberanian itu bukan saja berasal dari beberapa tokoh belaka. Tanpa mengurangi rasa hormat kita pada Syafrudin Prawiranegara, Mohammad Natsir dan lain-lain, kita juga harus mengingat betapa beraninya rakyat Sumatera Tengah menerima peran itu. Sebuah peranan, yang pada waktu itu berpotensi membuat wilayah mereka, kampuang halaman mereka menjadi sasaran serangan Belanda. Pada titik ini kita boleh meminjam refleksi seorang penyair dan dramawan Jerman, Bertholt Brecht, bahwa ketika kita mengingat Imam Bonjol, jangan lupakan ratusan jasad yang bergelimpangan di sepanjang jalan perjuangannya. Ketika kita mengingat Borobudur, jangan lupakan berjuta-juta jiwa yang ditumbalkan untuk menciptakan bangunan agung itu. Sebuah pikiran sederhana tentang Indonesia yang terbagi-bagi, agar dapat menjadi republik-republik mandiri yang relatif lebih mudah dikelola, tentulah merupakan godaan yang dapat menerpa siapa saja akhir-akhir ini, di tengah riuh-rendahnya persoalan berbangsa. Namun kita tentu dapat belajar banyak dari Uni Soviet dan Yugoslavia, bahwa republik-republik kecil yang berbasiskan kesadaran etnosentris itu tidak pernah bisa melampui negara besar yang pernah menaungi mereka. Jika Amerika Serikat, sebuah negara bangsa yang dibangun dari ratusan etnik berbeda, belasan ras dan religi berlainan saja dapat memiliki banyangan tentang persatuan mereka sebagai sebuah bangsa, mengapa kita tidak.
Memahami sejarah dan drama bangsa-bangsa di kawasan yang dinamakan Dr. Douwes Dekker sebagai insulinde ini, kita akan menemukan bahwa kondisi ‘darurat’ akan selalu ada. Namun kita harus bisa pula berteriak seperti Archimedes; “Eureka! Eureka!” (“Telah Kutemukan! Telah Kutemukan!”). Setiap saat kita harus bisa menemukan jawaban atas suatu kondisi darurat yang mengancam identitas dan hubungan sejarah sebuah bangsa besar: Indonesia. Sebuah bangsa yang diyakini memiliki nenek moyang yang sama, yang datang bertahun lalu melalui semenanjung, berjuang untuk menyatukan dirinya dengan manusia purba di tanah yang didatanginya. Sebuah bangsa yang gigih, yang melintasi ribuan kilometer atau bertahan dan bersikap terhadap berbagai kedatangan, untuk membangun sebuah peradaban di atas tanah yang kaya dan indah. Sebuah bangsa yang dibangun dari nenek moyang yang tangguh. Yang melewati silih berganti perang, untuk menciptakan peradaban yang lebih baik. Sebuah bangsa yang telah dibayangkan sebagai sebuah bangsa besar sejak beribu tahun lalu. Bayangan yang telah mendorong Gadjahmada melahirkan Sumpah Palapanya yang terkenal itu. Bayangan yang sama pula yang mendorong Sumpah Pemuda dan Proklamasi 1945 berabad-abad setelahnya. Bayangan yang sama yang melahirkan PDRI. Merawat Indonesia (yang) Darurat Jika sebuah negara bangsa yang baru didirikan beberapa tahun saja punya makna melebihi nyawa bagi Syafrudin, Natsir, dan rakyat Sumatera Tengah, bagaimana mungkin kita menganggap Republik yang tengah mendekati umurnya yang ke 70 ini tidak terlalu penting? Bayang-bayang –meminjam istilah yang makin populer digunakan— etno-nasionalisme mungkin kini akan mulai menghantui. Kondisi kekinian bangsa ini memang harus kita akui sedikit banyak membuat teriakan Sjahrir tentang Republik Indonesia Serikat seperti bergaung pelan. Begitupun dengan jargon Tan Malaka tentang sovyet Indonesia. Namun kita harus ingat bahwa betapapun negara federasi yang diusulkan Sjahrir atau sovyet-nya Tan Malaka tetaplah mengandung makna “Indonesia” yang utuh, segugusan pulau di nusantara ini tanpa kecuali. Dan bukannya serpihan-serpihan bangsa-bangsa kecil. “Salah satu tes sejati dari kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengenali masalah sebelum menjadi keadaan darurat,” kata Arnold Glasow, seorang humoris berkebangsaan Amerika. Tapi membuat prediksi membutuhkan kepekaan tertentu. Orang tidak akan pernah selalu waspada jika ia tidak menciptakan kesadaran dalam dirinya bahwa tidak ada yang benar-benar aman, selain dari menjaga kewaspadaan itu sendiri. Kita bisa merefleksikan kata-kata ini menjadi lebih luas, bahwa bangsa yang besar harusnya memiliki kepekaan akan kondisi darurat ini. Di satu sisi, bolehlah kita katakan bahwa semangat sebagai bangsa yang sama-sama tengah dijajah pernah menjadi perekat yang kuat di masa lalu, dan menjadi stimulus bagi perjuangan bersama di masa pergerakan kebangsaan. Namun di masa sekarang, ikatan sebagai sebuah bangsa besar yang setiap saat terancam dapat berubah menjadi kepingan-kepingan kecil harus dipelihara. Agar kita selalu waspada. Selalu siap untuk kondisi darurat.
Kita harus mulai menghargai ribuan tahun perjalanan bangsa ini. Sejarah sebuah bangsa besar yang telah sanggup menggerakkan Sjafrudin, Natsir dan masyarakat Sumatera Tengah untuk menginisiasi PDRI. Sejarah panjang yang selalu dapat kita pertimbangkan: apakah setimbang untuk diruntuhkan untuk kepentingan-kepentingan sesaat? Sehingga banyak orang dari bangsa ini akan memiliki etos untuk bertindak menyelamatkan nilai sejarah itu. Apalagi, PDRI telah pula memberi pelajaran bahwa: pertama, bangsa ini tidak tergantung pada figur tertentu. Siapapun dapat dibesarkan oleh momentum darurat untuk menjadi figur penting; Kedua, negara kebangsaan ini, akan tetap utuh meski hanya diperjuangkan oleh sedikit orang saja. Sedikit orang yang memahami sejarah segugusan pulau-pulau di nusantara ini. Krisis kepemimpinan kita, krisis keteladanan yang dialami bangsa ini, boleh jadi bersumber dari semakin minimnya orang yang memiliki kepekaan akan kedaruratan, akan krisis. Padahal, pembelajaran berharga dari sejarah nusantara adalah bahwa bangsa ini dibangun dan dibangunkan selalu melalui suatu situasi darurat. Bahwa identitas Indonesia yang besar itu adalah akumulasi dari identitas ribuan tahun sejarah migrasi, adaptasi, resistensi dan jatuh-bangun berbagai rezim. Bangsa Indonesia, atau sekumpulan suku bangsa yang berdiam dalam wilayah kepulauan ini sejak awal sejarahnya telah dipertautkan oleh beragam kesamaan yang setimbang dengan keberagamannya. Karena itu, kita harus mulai percaya bahwa berbagai situasi darurat yang dilalui bangsa ini adalah laksana bata-bata yang telah menyusun sebuah bangunan kebangsaan. Semakin banyak, semakin teratasi, ia akan menjadi jaminan bagi kebesaran bangsa ini. Ia akan menambahkan kekokohan dan ketangguhan kita sebagai sebuah bangsa. Artinya, kita harus merawat ketegangan (kesadaran dramatik) dalam diri masing-masing, bahwa Indonesia sebagai komunitas dan identitas bersama, senantiasa dapat berada adalam kondisi yang darurat. Melalui kepekaan atas Indonesia (yang) darurat itu, kita bisa pula memaknai terus menerus ikhwal kebangsaan kita. Bukan berarti kita mengharapkan kedaruratan itu muncul dari persitegangan antar etnik, golongan dan agama, terus menerus. Bukan pula berarti kita akan membuat pemaafan (jalan melarikan diri) dengan mengatakan bahwa perseteruan adalah lumrah. Tapi dengan memahami bahwa negara-bangsa ini memang tidak dibangun atas fondasi agama tertentu ataupun kesukuan tertentu. Melainkan oleh toleransi dan kebanggaan akan identitas bersama: sebuah bangsa besar bernama Indonesia. Lagi pula, bukankan sifat alam adalah dialektik? Kedaruratan akan selalu ditimbulkan oleh alam. Sebagai sebuah bangsa kita masih menghadapi pemanasan global, imperialisme budaya, dan perdagangan bebas. Semua itu harus selalu dimaknai sebagai kondisi yang darurat. Semua orang harus bersiap berdiri di barisan paling depan. Menjadi Syafrudin Prawiranegara, Mohammad Natsir, rakyat Sumatera Tengah, dan PDRI untuk menghadapi semua itu. Setiap saat, Indonesia adalah Indonesia yang darurat, dan PDRI untuk bangsa ini harus terus siaga dan diperbaharui!
Sebuah ujar-ujar usang bisa digunakan untuk memaknai PDRI secara sederhana, bahwa: “meraih sesuatu itu tidak mudah dan butuh perjuangan, namun mempertahankan apa yang telah diraih, jauh lebih sukar dan butuh perjuangan lebih keras.” PDRI adalah bukti dari upaya mempertahankan ‘apa yang telah diraih’ itu. Namun apakah sesungguhnya yang telah diraih dan harus dipertahankan? Sebuah negara-kebangsaan yang baru berumur 3 tahun? Sebuah republik yang barangkali tidak terbayangkan bentuk keseluruhan wilayahnya di kepala Sjafruddin maupun Natsir karena –tidak seperti kita sekarang—mereka tidak bisa memiliki ingatan bergambar (pictorial memory) tentang gugusan pulau-pulau yang membentuk Indonesia seperti dalam peta? Namun barangkali tidak sukar untuk membayangkan apa yang dipikirkan Syafrudin Prawiranegara ketika ia memilih untuk menjadi Ketua (baca: Presiden) PDRI. Demikian pula yang terfikirkan oleh Natsir ketika ia memutuskan pulang ke Sumatera untuk berdialog dengan Sjafruddin. Jelas, keduanya cukup paham resiko yang harus dihadapinya. Namun apakah kira-kira yang dipikirkan sang pemilik rumah yang kemudian menjadi markas besar PDRI di Bidar Alam? Atau pemilik rumah yang menjadi tempat perundingan Sjafrudin-Natsir di Padang Japang? Hal yang kira-kira terpikirkan oleh para gerilyawan yang bersabung nyawa menjaga tempat persinggahan para pimpinan PDRI itu? Yang kira-kira ada dalam benak penduduk nagari yang mereka singgahi? Sebenarnya kita dapat membaca bayangan tentang ‘hal yang diraih dan harus dipertahankan’ itu sejak M. Yamin dan para penulis sezamannya (antara lain Sanusi Pane) di tahun 1920-an menulis naskah drama perihal kejayaan kerajaan nusantara di masa lalu –antara lain melalui naskah drama Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (1932), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Kertajaya (1932), dan Sandhyakala Ning Majapahit (1933). Dari situ terbayang bahwa negara Indonesia merdeka yang tengah dibangun itu, yang tengah diperjuangkan itu, dibayangkan adalah negara-bangsa yang sama dengan negara yang coba dibangun wangsa-wangsa dari kerajaan-kerajaan kuat di kepulauan ini pada masalalu. Hal yang secara implisit terlihat pula dalam kumpulan sajak Indonesia, Tumpah Darahku (1928) –yang terbit bertepatan dengan Kongres Pemuda yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda— di mana Mohammad Yamin mengungkapkan kebesaran dan keagungan Nusantara itu melalui ungkapan tentang Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Samudra Pasai. Atas dasar itu kemudian ia katakan dalam salah satu sajaknya: “Kita Sedarah Sebangsa / Bertanah Air di Indonesia.” Pernyataan yang merefleksikan keyakinan Yamin itu mengarahkan kita untuk berefleksi pada apa yang diketengahkan Ania Loomba –seorang teoritisi poskolonial— bahwa sejarah sebuah bangsa seringkali seolah-olah baru dimulai ketika kolonial datang dan merubah kebudayaan mereka. Demikian pula halnya dengan sejarah Indonesia. Seolah-olah kita baru menjadi sebuah entitas sebagai bangsa semata-mata karena memiliki sejarah yang sama: sama-sama pernah dijajah Belanda. Bayangkan, bahwa selama bertahun-tahun dengan yakin kita akui penjajahan itu pernah berlangsung selama tiga setengah abad. Sebuah keyakinan yang bukan saja secara berangsur melunturkan kepercayaan diri kita sebagai bangsa yang merdeka, namun membuktikan pula ketangguhan kolonialisme Belanda. Hal yang sama selanjutnya bukan tidak mungkin telah menjadi dalih dari kekacauan dalam negeri kita. Seolah-olah kita harus bermohon agar sebuah negeri adikuasa kembali menjajah dan membuat ketertiban (rush in order). Padahal jika kita membaca lebih jauh temuan-temuan arkeologis dan kesejarahan perihal Nusantara, kita akan menemukan banyak bukti bahwa bangsa ini telah dipersatukan oleh berbagai irisan, jauh sebelum bangsa Eropa mengenalinya. Bukan saja berkaitan dengan keberhasilan Sriwijaya, Majapahit, Melayu dan Samudra Pasai dalam menguasai dan mempersatukan sebagian besar wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia, namun juga gambaran-gambaran peradaban sebelum itu. Catatan-catatan perjalanan bangsa Tionghoa sejak berabad lalu yang menyebutkan sebuah kawasan bernama Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan), catatan kuno bangsa India mengenai ‘Dwipantara’ (Kepulauan Tanah Seberang), atau kawasan yang dinamakan oleh bangsa Arab sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa), tidak lain adalah bangsa yang tinggal di gugusan pulau ini. Risalah-risalah itu, yang telah menjadi penunjuk arah bagi bangsa-bangsa Eropa untuk menemukan daerah yang mereka namakan ‘Hindia Belakang’ –karena mereka cenderung mempersamakan Asia dengan Hindia, secara tidak langsung membuktikan, bahwa negeri kepulauan yang dikenal dengan berbagai julukan ini –antara lain “kepulauan Hindia” (Indian Archipelago), “Hindia Timur” (East Indies), dan “Kepulauan Melayu” (Malay Archipelago) telah diidentifikasi sebagai sebuah kesatuan sejak berabad-abad silam oleh berbagai bangsa di dunia. Hikmah itulah yang ditangkap oleh kolonial Belanda ketika mencantumkan nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda), yang diikuti oleh pemerintah pendudukan Jepang dengan memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Tanah air yang sama, yang didiami oleh bangsa yang sama pulalah yang kemudian dinamakan Eduard Douwes Dekker secara spesifik sebagai ‘Insulinde’ (Kepulauan Hindia). Sebuah daerah yang kemudian diperkenalkan oleh James Logan dan George Earl dengan perkataan ‘Indunesia’ (kepulauan hindia). Dan mudah diduga, hikmah itu pula yang dimaknai para founding father Republik ini ketika memilih bentuk negara kesatuan.
Baik Earl maupun Logan, barangkali tidak menyadari bahwa mereka telah menyumbangkan sebuah identitas bersama bagi penduduk kepulauan nusantara, yang bertahan selama puluhan tahun kemudian. “Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi ‘Orang Indunesia’ atau ‘Orang Malayunesia,” kata mereka. Perkataan yang kemudian melahirkan istilah ‘Indonesia’ itu, dikukuhkan Adolf Bastian (1826-1905) melalui lima volume buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu)-nya itu. Sebuah identitas yang kemudian disadari oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), hingga ia memproklamirkan dirinya sebagai warga Indonesia, saat dibuang ke negeri Belanda tahun 1913. Sejak itu, nama Indonesisch (Indonesia) mulai digunakan menggantikan Indisch (Hindia) dan inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesier (orang Indonesia).
Untuk kepentingan identitas itu, ada baiknya memikirkan kemungkinan kebenaran teori Prof. Santos tentang kemungkinan lokasi Atlantis di Nusantara. Sebuah kepulauan yang peradabannya telah dibangun selama ribuan tahun, sejak kedatangan –sebagaimana teori Franz dan Paul Sarasin— populasi orang-orang Vedda yang berbaur dengan orang-orang asli yang tersebar di seantero kepulauan. Bersama para imigran Vedda ini, penduduk asli nusantara yang menurut Vlekke hidup di masa mesolitik (zaman batu) diperkirakan telah ada sejak sekitar 15.000 tahun lalu. Mereka kemudian berinteraksi pula dengan dua gelombang manusia yang datang ke nusantara lebih kemudian, yaitu Proto-Melayu dan Deutero-Melayu (Palaemongoliden atau Monggol-Tua). Mereka yang datang belakangan ini diyakini berimigrasi sekitar tahun 3.000 SM, dari wilayah Cina Selatan (sekarang Provinsi Yunan) melewati semenanjung Indochina dan Siam, sampai kemudian masuk ke pulau-pulau di nusantara. Sementara itu, orang-orang Papua yang diklasifikasikan oleh Julles d’Urville sebagai orang Melanesia, telah dengan kokoh pula mendiami pulau Papua dan sekitarnya semenjak beribu-ribu tahun yang lalu.
Meski teori serupa yang sebenarnya telah dikemukakan oleh para ilmuwan Belanda (Prof. Dr. H. Kern dan Van Heine Geldern) kemudian ditentang oleh Prof. Mohammad Yamin, yang menyangkal bahwa orang Indonesia berasal dari luar kepulauan Indonesia, namun identitas sebagai satu bangsa sejak beribu tahun lalu tetap tak terbantahkan. Yamin berkeyakinan bahwa orang Indonesia adalah asli berasal dari wilayah Indonesia sendiri. Bahkan, kata Yamin, bukan tidak mungkin bangsa inilah yang telah berdiaspora dan membentuk berbagai suku di luar Indonesia. Yamin melandaskan keyakinannya pada fakta bahwa fosil dan artefak yang ditemukan di Indonesia –misalnya fosil Homo Soloensis dan Homo Wajakensis yang tak ditemukan di daerah manapun di dunia ini—jauh lebih banyak dan lengkap daripada daerah di Asia lainnya.
Terlepas dari benar-tidaknya teori Yamin, namun kita bisa memahami upayanya untuk membangun identitas yang membanggakan bagi penduduk kepulauan ini. Sebuah identitas yang dibayangkan berhulu pada keaslian, sehingga benar, bahwa “Kita adalah pemilik sah republik ini,” seperti kata Chairil Anwar. Jika pun teori yang lain lebih benar, bayangan tentang nenek-moyang kita yang mengarungi samudra ratusan kilometer dengan perahu-perahu bercadik menuju kepulauan Indonesia, ataupun berjalan kaki berbulan-bulan –sebagaimana teori Geldern yang didukung oleh penemuan sejumlah artefak perwujudan budaya yang ditemukan di Indonesia yang mempunyai banyak kesamaan dengan yang ditemukan di daratan Asia— tetaplah membangun identitas sebagai satu bangsa yang tak kurang membanggakannya.
Yang jelas, segala risalah-risalah itu membuktikan bahwa bangsa ini memang dipersatukan dan dipertautkan oleh kesamaan sejarah. Namun bukan sejarah yang menyatakan persamaan nasib sebagai etnik-etnik yang pernah dibawah kolonialisme Belanda semata, namun lebih jauh, sebuah sejarah tentang hubungan dialektik ribuan tahun sebagai sebuah nusantara. Sebuah hubungan saling menghormati antara kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat. Sebuah kawasan sekaligus peradaban di mana berbagai suku-bangsa menjaga kedamaian dan ketentraman demi kemakmuran bersama berbagai suku bangsa. Artinya, bayangan tentang Indonesia sebagai satu ‘bangsa’ ini telah diwariskan turun temurun. Boleh jadi melalui bayangan sebagai anak-cucu Alexander Agung, sebagaimana diyakini urang Minang dan para pembangun Sriwijaya. Yang jelas, Indonesia memang selalu dibayangkan adalah satu, sebagai apa yang dinamakan Benedict Anderson sebagai ‘komunitas terbayang’ (imagined comunity) atau oleh Radhar Panca Dahana dinamakan ‘Identitas Terbayang’. Sebagai satu bangsa: bangsa Indonesia. Harga sebagai bangsa besar itulah, yang dibayarkan tunai oleh masyarakat Padang Japang dan Bidar Alam ketika menerima Natsir dan Sjafrudin bersama PDRI-nya, demikian pula oleh para gerilyawan yang bersabung nyawa menjaga tempat persinggahan para pimpinan PDRI itu.
Selamat datang di weblog saya, Dede Pramayoza. Blog ini didedikasikan untuk Teater Indonesia, terutama yang tumbuh, hidup dan berkembang di kawasan Sumatera Barat.
Read More