Dari Wacana Hingga Konsep Budaya tentang Otoda


“Otonomi hanya akan melahirkan ‘raja-raja kecil,’ dan tidak akan menghasilkan yang lain selain potensi disintegrasi.” Ungkapan serupa itu telah sering terdengar dari seantero negeri sejak pertama kali wacana otonomi daerah (otoda) digulirkan di Indonesia, pada tahun 1999 –itu jika UU RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dapat dipandang sebagai indikasi awal dari diterapkannya otoda dewasa ini. Tidak terkecuali di Sumatera Barat, banyak orang yang pada mulanya mengungkapkan bahwa otoda hanya akan berakibat “baganti cigak jo baruak” (berganti monyet dengan beruk). Artinya, ada sebagian orang yang meyakini bahwa otoda tidak akan secara efektif bisa mengubah sentralisme dan konsentrasialisme yang telah berurat-berakar di negeri ini.

Ungkapan bernada sinis dan pesimistik itu sebenarnya merefleksikan satu sikap budaya, yakni ambivalensi terhadap konsep sentralisasi dan konsentrasi yang pernah diterapkan di negeri ini. Di satu sisi, kita merasa bahwa penerapan dua konsep itu selama masa Orde Baru adalah sesuatu yang merugikan banyak anak bangsa, karena potensi daerahnya masing-masing tidak bisa digunakan secara optimal untuk pembangunan daerah yang bersangkutan. Sementara di sisi lain, sebagian dari kita tetap memandang bahwa konsep sentralisasi dan konsentrasi telah menjadikan pembangunan secara umum bisa dikontrol dan, karenanya, dikatrol dengan lebih mudah dan lebih baik. 

Faktanya, selama pemerintahan Orde Baru, pembangunan nasional Indonesia berjalan cukup mulus dan secara gradual meningkat. Hal itu tercermin dari pencapaian indeks penghasilan per kapita (PDB) Indonesia yang mencapai 919 dolar per kapita per tahun, dengan pertumbuhan ekonomi (PNB) yang mencapai 7,34% pada tahun 1993. Dibandingkan dengan keadaan sebelumnya di masa Orde Lama, di mana selama tahun 1964-1966 terjadi hiperinflasi di Indonesia, yang hampir melumpuhkan total perekonomian, tentulah pencapaian pemerintah Orde Baru tersebut patut diacungi jempol. Namun kita tidak boleh lupa bahwa pemerintahan yang dijalankan dengan konsep sentralisasi dan konsentrasi, yang cukup sukses di bidang perekonomian tersebut, tidaklah berimbang dengan pembangunan sosial-budaya. Sebaliknya, pemerintahan tersebut telah menimbulkan beberapa persoalan budaya yang signifikan, yang bahkan hingga kini –hampir 15 tahun terhitung sejak tahun 1998— tetap menjadi ‘hutang’ bagi anak bangsa untuk menyelesaikannya. 

Persoalan budaya signifikan yang ditimbulkan dari penerapan konsep sentralisme dan konsentrasialisme di masa Orde Baru, yang disinggung pada alinea di atas, setidaknya ada tiga. Pertama, sentralisasi dan konsentrasi telah menghasilkan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang ‘maya’, dan cenderung tidak ‘berkeadilan’. Di atas kertas, perekonomian nasional Indonesia meningkat, namun faktanya di tingkatan ‘akar rumput’, banyak masyarakat kita yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan itu tidak saja secara ekonomi, tapi juga secara moral dan budaya, karena berbagai daerah menjadi daerah konflik berkepanjangan. Ironisnya, daerah-daerah ini adalah daerah yang justru memberi sumbangan banyak kepada PDB Indonesia. Kedua, sentralisme dan konsentralisme telah menimbulkan ‘jurang’ yang semakin hari semakin dalam antara pembangunan daerah dan pusat. Bukan rahasia lagi, bahwa di masa lalu, pulau Jawa adalah representasi pembangunan Indonesia. Keberhasilan pembangunan Indonesia, seringkali hanya diukur melalui ukuran-ukuran keberhasilan peningkatan infra struktur di pulau Jawa. Jalan tol, alat transportasi, sarana hiburan, sarana olah raga dan sarana kesenian bertumpuk-tumpuk dibangun di pulau Jawa, sementara di daerah banyak jalanan yang rusak berat dan banyak sekolah dijalankan di tempat-tempat darurat. Ketiga, sekaligus yang paling penting dalam perspektif budaya, sentralisasi dan konsentrasi telah menimbulkan ‘budaya bungkam’ (silent culture) yang kian hari semakin akut, dan alih-alih menghasilkan masyarakat demokratis dan mandiri, malah justru akan menghasilkan masyarakat yang vakum dan ‘manja.’ 

Meski ketiga dampak tersebut di atas berkaitan erat satu sama lain, namun pada tulisan ini pembahasan perihal dua hal pertama tidak akan dilanjutkan. Pembahasan akan difokuskan pada akibat sentralisasi dan konsentrasi pada bidang kebudayaan, dan potensi otoda sebagai solusi dalam pengembangan budaya, demokrasi, dan terutama bagi pembangunan budaya lokal yang mandiri, progresif dan dinamis. Satu hal yang jelas dari uraian di atas, ialah bahwa otonomi daerah sejatinya adalah pilihan yang historis, yang menyejarah. Tidak ada jalan keluar lain yang lebih masuk akal dari persoalan sentralisasi dan konsentrasi, selain desentralisasi dan dekonsentrasi. Otonomi Daerah yang seluas-luasnya adalah manifestasi dari desakan kesejarahan tersebut. Berpijak pada UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999, kedua konsep tersebut dapat dipahami sebagai berikut. 

(7) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (8) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 

Dengan pemahaman tersebut, kini dengan otoda setiap anak bangsa Indonesia dapat memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi diri dan daerahnya. Secara ontologis, tidak ada yang lebih manusiawi, daripada kebijakan untuk memberikan kesempatan kepada setiap manusia untuk memimpin dirinya sendiri, dan selanjutnya menentukan pemimpin untuk dirinya masing-masing. Dilihat dari perspektif budaya, otoda seharusnya, dapat pula menghasilkan kebebasan untuk mengatur mekanisme pemilihan pimpinan daerah, sesuai karakter budaya daerah masing-masing, selama masih berada dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 

Dilihat dari ‘kacamata’ ini, kasus-kasus daerah yang memiliki mekanisme ‘khusus’ dalam pemilihan kepala daerahnya harus dapat dilihat sebagai manifestasi dari keberagaman kebudayaan daerah di Indonesia. Konsensus masyarakat wilayah tertentu untuk memiliki pimpinan daerah tanpa pemilu, serta aspirasi rakyat wilayah tertentu untuk memiliki partai sendiri, mau tidak mau, harus dihormati dan dilindungi oleh undang-undang, demi menjaga keutuhan NKRI. Kekhawatiran akan munculnya kasus serupa dari wilayah lain seharusnya tidak perlu ada, sebab wilayah-wilayah ‘khusus’ ini sejatinya memiliki landasan sosio-kultural-historis yang berbeda dengan wilayah lain. Jika budaya adalah kebiasaan dan pembiasaan nilai-nilai, maka jelas kasus-kasus tersebut berakar dari budaya lokal, dari nilai-nilai lokal yang telah tertanam kuat dalam memori kolektif masyarakat daerah bersangkutan selama berabad-abad. Percobaan untuk menyeragamkan wilayah ‘khusus’ ini dengan wilayah lainnya secara segera, sejatinya adalah ‘pengkhianatan’ terhadap konsep otoda itu sendiri. 

Namun sejarah akan membuktikan bahwa seiring waktu dan dengan semakin cerdasnya masyarakat, di mana konsep otoda punya peranan penting di dalamnya, budaya lokal akan berubah pula. Seperti halnya otoda, nilai-nilai demokrasi dan egalitarianisme bukanlah konsep yang muncul melalui paksaan, melainkan sebagai keniscayaan sejarah. Percepatan pembangunan dan pemerataan serta kemajuan yang berkeadilan yang dicapai berbagai wilayah di Indonesia dalam kerangka otoda, suatu ketika akan ‘membuka mata’ banyak pihak, bahwa suatu masyarakat yang maju harus dikelola secara demokratis dan inklusif. Setiap orang harus memiliki kesempatan untuk memimpin, dan sebaliknya, dipimpin. Budaya kritis serupa ini, diyakini dapat ditimbulkan melalui pelaksanaan otoda secara konsekuen dan gradual. Para konseptor otoda harus dengan sabar melihat bahwa ‘budaya bungkam’ dan masyarakat vakum yang telah berlangsung bertahun-tahun, membutuhkan waktu untuk berdaur menuju masyarakat yang demokratis dan mandiri, sebagaimana yang dicita-citakan melalui pelaksanaan otoda.